Sabtu, 14 September 2013

Orang Bilang Apalah Arti Sebuah Nama



Orang Bilang Apalah Arti Sebuah Nama

Sekolah tempat kerja yang baru, bertemu murid yang baru. Tahun ajaran baru, bertemu murid yang baru juga. Banyak murid datang dan pergi silih berganti. Hal ini menyebabkan beberapa guru menjadi kurang hafal dengan murid-muridnya.
Banyak orang bilang ‘apalah arti sebuah nama’.  Namun menurut beberapa guru, menghafal nama setiap murid adalah salah satu nilai lebih baginya. Saya termasuk sependapat dengan hal tersebut.
Ingin mendapatkan nilai lebih tersebut, saya berusaha keras untuk menghafal dan mengenali setiap anak didik saya. Ternyata melakukan pekarjaan ini bukanlah hal yang mudah. Butuh waktu lama untuk menghafal nama-nama mereka yang susah dieja dan asing di telinga. Ditambah lagi nama sapaan yang jauh berbeda dengan nama asli mereka.
Setengah mati saya mengucapkan nama mereka ketika mengecek kehadiran siswa. Lidah saya sering terpeleset untuk mengucapkan nama-nama yang asing bagi saya. Lihat saja beberapa nama dalam gambar ini.


Tak hanya itu, ada yang membuat saya lebih bingung lagi. Banyak dari mereka mempunyai nama panggilan yang jauh berbeda dengan nama panjang mereka. Sebagai contoh nih:
Maria Oktaviani Dawung, panggilan Olva. Wasenslaus Janu panggilan Rensis. Susana Dawut panggilan Santi. Dionisius Afri Amboi panggilan Adven.
Nah lho… Bingung kan? Padahal menurut saya panggilan Okta, Janu, Susan dan Afri lebih nyambung sebagai nama panggilan mereka. Entahlah, mungkin di balik nama panggilan yang mereka pilih itu mempunyai makna lain.
Untuk mengatasi kesulitan saya ini, saya mempunyai catatan tersendiri untuk menulis nama lengkap mereka beserta nama panggilannya. Bahkan karena takut salah, seringkali saya mengabsen mereka hanya dengan menyebut nama panggilan. Cara ini sebenarnya saya gunakan untuk mengelabuhi bahwa lidah saya yang sering terpeleset apalagi mengucapkan nama-nama yang bagi saya mirip nama orang luar negeri. Hhe…
Awalnya merasa kewalahan, namun lama-lama wajah, nama, beserta sapaan mereka bisa melekat juga di hati dan pikiran saya. Lama kelamaan juga saya tidak canggung untuk menyebutkan nama lengkap mereka.
Baca selengkapnya...

Tangan yang Saling Berjabat



Tangan yang Saling Berjabat

Berjabat tangan sepertinya sudah menjadi tradisi dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan bisa dipastikan bahwa semua orang di dunia ini pasti pernah berjabat tangan. Berjabat tangan saat bertemu, berjabat tangan saat berpisah, berjabat tangan saat berkenalan, berjabat tangan bentuk kesepakatan, berjabat tangan tanda maaf, dan lain sebagainya.
Di rumah, ketika saya masih bersekolah, hampir setiap pagi saat berpamitan berangkat ke sekolah saya selalu berjabat tangan dengan ibu, dibarengi mencium punggung tangannya sebagai bentuk rasa sayang dan hormat. Bahkan ketika saya lupa karena terburu-buru berangkat, tak jarang ayah menegur, “Nah tho, pamit dulu sana.” Berpamitan di sini tentunya dalam artian sambil berjabat tangan. Ketika pulang dari sekolah pun demikian, masuk rumah sambil mengucapkan salam dan berjabat tangan. Hal ini kami lakukan hampir setiap hari. Meskipun sekarang sudah tidak bersekolah, hal serupa tetap saya lakukan, terutama ketika akan keluar rumah untuk sekadar pergi belanja atau bermain ke rumah teman.
Di sekolah, pagi-pagi sekali bapak ibu guru sudah berjajar di halaman menyambut siswa-siswanya. “Selamat pagi”, begitu kami saling menyapa sambil berjabat tangan diiringi dengan percakapan singkat sebelum masuk ke kelas masing-masing. Di kelaspun,  saya dan teman-teman juga mempunyai kebiasaan serupa. Satu per satu teman-teman berdatangan, tak langsung menuju bangkunya, namun berjabat tangan terlebih dahulu dengan teman-teman lain yang sudah terlebih dahulu hadir. Kami berjabat tangan ala muda-muda, beberapa menggunakan fariasi gaya salaman alay khas genk mereka. Seusai jam pelajaran, siswa-siswa berhamburan menuju gerbang sekolah diantar bapak ibu guru yang sudah berjajar di halaman. “Selamat siang”, begitu ujar mereka saat berjabat tangan yang biasanya diiringi pesan hati-hati di jalan. Hal ini kami lakukan hampir setiap hari.
Saat berkunjung ke rumah orang, hal pertama yang dilakukan setelah mengucap salam, pastilah berjabat tangan dengan tuan rumah. Begitu pun ketika akan berpamitan pulang, selalu ditutup dengan berjabat tangan pula. Hal ini selalu dilakukan pada waktu kapan pun dan saat berkunjung di rumah siapa pun.
Di masjid, seusai salat berjamaah kami selalu berjabat tangan. Sore hari menjelang magrib juga terlihat anak-anak mengantri berjabat tangan kepada ustadz sebagai bentuk terima kasih dan penghormatan karena sudah mengajari mereka mengaji.
Berjabat tangan juga sering dilakukan saat memberi ucapan selamat. Selamat ulang tahun, selamat menempuh hidup baru, selamat atas prestasi yang di raih, atau pun ucapan selamat hari raya. Nah ini nih, saat umat muslim merayakan hari raya Idul Fitri, mereka akan saling berjabat tangan. Berjabat tangan saat Idul Fitri diartikan sebagai tindakan saling memaafkan, biasanya disertai dengan kata-kata maaf untuk mempertegas maksud itu.
Banyak sekali momen yang memungkinkan dua orang saling berjabat tangan. Itu tadi kebiasaan berjabat tangan yang sering saya temui dan alami di Jawa. Berbeda lagi kebiasaan berjabat tangan yang saya temui di Manggarai.
Kegiatan berjabat tangan di Manggarai hanya dilakukan pada saat-saat tertentu saja, terutama saat pertama kali bertemu. Kami berjabat tangan sambil berkenalan mengucapkan nama masing-masing. Jabat tangan juga dilakukan saat akan berpisah untuk waktu yang relatif lama dan pemberian ucapan selamat.
Saya ceritakan saat pertama kali saya berangkat ke sekolah baru saya, SMPK Sinar Ponggeok. Masuk ruang guru untuk yang pertama kali, tentunya belum saling kenal, maka kami berjabat tangan sembari berkenalan. Ini hal biasa. Hal yang tidak biasa adalah ketika akan pulang sekolah. Lonceng jam pelajaran terakhir sudah berbunyi, itu artinya kami para guru dan siswa-siswa yang tidak tinggal di asrama akan pulang ke rumah masing-masing. Sambil berkelakar, kami menuju keluar ruangan. Saya sempat menyodorkan tangan saya kepada salah satu rekan guru yang akan pulang. Namun sepertinya guru tersebut tidak menyadari dan berlalu hanya dengan ucapan selamat siang. Dhinar, teman yang satu penempatan sepertinya menangkap niat saya mengajak berjabat tangan namun dicuekin begitu saja. Diapun berbisik lirih “Iki salaman ora tho?” berjabat tangan tidak ya, begitu tanyanya. Sama-sama belum tahu, kami pun tertawa bersama. Akhirnya kami mengamati satu per satu rekan guru yang meninggalkan kantor. Ternyata mereka saling berucap salam tanpa saling berjabat tangan. Oh, pertanyaan terjawab.
Ada lagi cerita ketika saya berkunjung ke rumah tetangga. Berjabat tangan di awal pertemuan itu biasa. Namun ketika berpamitan pulang sambil berjabat tangan, apa yang terjadi? Tuan rumah bertanya kepada kami dengan raut muka agak sedih “Tidak akan berkunjung ke sini lagi kah?” Oh, rupanya tuan rumah mengartikan jabat tangan kami sebagai tanda perpisahan. Seperti yang telah saya katakan, salah satu momen jabat tangan di Manggarai yaitu dilakukan saat akan berpisah untuk waktu yang relatif lama. Tidak ingin tuan rumah larut dalam salah paham, kami pun segera menjelaskan kebiasaan kami di Jawa, dan akhirnya tuan rumah mengerti. Kami pun pulang diantar dengan senyum ramah.
Jika ada dua atau beberapa orang Manggarai yang berpapasan di jalan kemudian mereka saling berjabat tangan, maka bisa ditebak, jika bukan pertama kali bertemu, dapat dipastikan bahwa itu adalah pertemuan pertama setelah sekian lama tidak bertemu.
Ya itulah kebiasaan yang bisa dikatakan sebagai tradisi. Masing-masing dari kita mempunyai tradisi yang unik, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menyesuaikan diri. Ada pepatah ‘di mana bumi di pijak, di situ langit di junjung’. Mudah-mudahan sesampainya saya di Jawa nanti, saya tidak lupa akan kebiasaan berjabat tangan yang hampir setiap hari dilakukan. Bisa-bisa saya dianggap sebagai anak yang kurang ajar jika saya keluar masuk rumah nyelonong begitu saja tanpa berjabat tangan dengan ayah dan ibu, atau ketika saya bludhas bludhus bertamu ke rumah orang tanpa berjabat tangan. Hehehe…
Baca selengkapnya...

Senin, 09 September 2013

Menunduk Mendangak

Menunduk Mendangak

Bingung awalnya. Biasanya kalau orang Jawa mengiyakan sesuatu, mereka akan menundukkan kepala. Begitu juga ketika ia berpapasan dengan orang ketika di jalan. Biasanya orang Jawa akan menunduk yang bisa dibarengi dengan saling menegur.

Lain halnya dengan orang Manggarai. Orang Manggarai akan mendongak, alias mengangkat wajahnya sedikit ke atas, kadang juga dibarengi dengan mengangkat alis, atau kadang bahkan hanya mengangkat alis.
Awalnya bingung sih, saya membutuhkan jawaban tetapi mereka malah hanya mengangkat alis, sampai kadang saya mengulangi pertanyaan beberapa kali.

Lama-kelamaan terbiasa juga. Takutnya nanti ketika kembali ke Jawa, kebiasaan ini masih terbawa.

Kalau digambarkan, kira-kira ya seperti ini lah... Hhe...


Baca selengkapnya...

Ini Mengagetkan Saya

Ini Mengagetkan Saya


Pertama kali masuk salah satu kelas di SMPK Sinar Ponggeok, saya ditugasi untuk mengawas Ujian Tengah Semester yang waktu itu baru berlangsung hari pertama.
Brak brak,” suara entah apa yang cukup keras itu disusul ucapan salam dari seluruh kelas, “Selamat pagi Bu!”
Semua mata tertuju pada saya, mereka tak henti-hentinya memandangi saya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Huh… Hampir-hampir saya merasa salah tingkah. Mereka bersikap begitu mungkin karena saya ini merupakan ‘barang’ baru bagi mereka. Hha… Ya iya lah, secara gitu baru pertama datang ke sekolah, tau-tau sudah masuk kelas dan berperan sebagai pengawas ujian tengah semester.
Setelah perkenalan singkat, saya langsung membagikan lembar soal dan lembar jawaban kepada mereka dan kemudian duduk di kursi pengawas. Kebanyakan dari mereka tidak langsung mengerjakan soal di hadapannya, tapi malah asyik memperhatikan saya. Ah, saya cuek saja dan pura-pura sibuk sendiri.
Sambil duduk, saya memperhatikan mereka satu persatu. Wajah mereka, rambut mereka, pakaian mereka, pokoknya semuanya dari mereka tak luput dari perhatian saya.
Sekitar 20 menit berlalu, suara itu terdengar lagi. Brak brak! Idih suara apa sih, saya cuek saja. Saya pikir itu suara gaduh yang dibuat oleh anak yang jahil. Tidak beberapa lama, suara itu terdengar lagi, brak brak! Kali ini lebih keras dan bertubi-tubi Brak brak! Brak brak! Saya mulai terganggu, sambil menyerngitkan kening saya memandang penjuru kelas. Merasa saya keheranan, salah satu anak berkata bahwa ada temannya yang ingin bertanya. Brak brak! Hah suara itu lagi. Setelah mencari sumber suara, akhirnya saya menemukan pelaku pemukulan meja itu. Hha… Merasa mata saya sudah tertuju padanya, tersangka pelaku pemukulan meja itu langsung mengajukan pertanyaan berkaitan dengan soal yang tidak dia pahami. Brak brak! Apaaa? Suara itu lagi!!! Tapi kali ini saya langsung bisa membidik pelakunya. Ternyata dia menambahi pertanyaan yang sudah temannya ajukan.
Oh ternyata.
Hingga sampai pada waktu ujian berakhir dan saya akan meninggalkan kelas, saya sempat tertahan oleh suara itu lagi. “Brak brak,” lalu salam dari seluruh kelas, “Selamat pagi Bu!”
* * *

Saya sempat heran. Padahal menurut saya, mereka cukup mengangkat tangan, atau cukup menyapa saja. Tapi kebiasaan memukul meja seperti itu berguna juga. Terutama ketika kelas sedang ramai, ketika ada yang memukul meja, anak-anak yang ramai langsung beralih perhatiannya ke pelaku pemukulan meja. Hha…
Sekarang sayapun sudah terbiasa dengan kebiasaan itu. Masuk kelas, sudah tidak kaget lagi. Keluar kelas juga tidak kaget lagi. Mau ada yang mengajukan pertanyaan, silakan. Mau ada yang menjawab pertanyaan, boleh. Paling seru kalau sedang diskusi terus berdebat. “Brak brak,” dari meja sana. “Brak brak,” dari meja sini. “Brak brak,” dari meja sana lagi. “Brak brak,” dari meja sini lagi. Hihihi….
Baca selengkapnya...

Dari Bahasa Menuju Matematika



Dari Bahasa Menuju Matematika


Hari Senin jam pertama selepas upacara bendera saya akan mengajarkan materi baru, membaca cepat 200 kata permenit.
Sebelum menuju ke kelas, saya pastikan bahwa hal-hal yang sudah saya siapkan tadi malam tidak ada yang terlewat. Saya sudah menyiapkan hal-hal yang menurut saya diperlukan, dari materi ajar, wacana yang akan dibaca siswa, daftar pertanyaan, serta kunci jawabannya. Tak lupa juga saya mengecek keberadaan aplikasi stopwatch di ponsel saya yang nantinya digunakan untuk mengetahui waktu membaca siswa.
Setelah dirasa siap, saya segera masuk ke kelas VIIB.
Brak brak,” suara meja yang dipukul oleh ketua kelas mengisyaratkan anak-anak lainnya untuk serentak memberi salam. “Selamat pagi Bu!” seluruh kelas menyapaku dengan penuh semangat.
Lalu seperti biasa, saya jawab salam itu dan saya lontarkan pertanyaan dengan nada penuh semangat pula, “Selamat pagi. Apa kabar?”
“Luaaar biasaaa!” anak-anak berseru.
“Bagaimana?” tanyaku lagi.
“Sukses belajarku! Yes yes yes!” anak-anak bersorai.
Begitulah kira-kira percakapan kami setiap kali mengawali pembelajaran. Sambutan semangat membara dari anak-anak tentu saja juga membakar semangat saya. Kemudian setelah bertanya jawab seputar kabar dan mengecek kehadiran siswa, saya mulai mengajak mereka pada materi pembelajaran hari ini.
“Anak-anak, pernahkah kalian membaca cepat?” tanya saya. Seketika keadaan kelas menjadi ramai. Anak-anak sibuk mencoba membaca dengan cepat apapun kalimat yang ada di sekitar mereka. “Bla bla bla bla….” suara gumaman anak-anak mendengung di tiap penjuru kelas. “Cukup cukup cukup,” saya mencoba menghentikan keributan itu.
Nampaknya mereka penasaran dengan materi pembelajaran kali ini. Selanjutnya saya menyampaikan bahwa anak-anak seusia mereka harus mampu membaca dengan cepat minimal 200 kata permenit.  Waaaaa…..” gumam anak-anak serentak. Tampak sekali ketakutan mereka, takut bahwa mereka tidak akan bisa mencapai target yang ditetapkan. Saya hanya tertawa. Seperti biasa, ketika saya melihat ketidakyakinan anak-anak akan suatu hal, saya langsung melontarkan pertanyaan “Apakah kalian bisa?” dan anak anak saya wajibkan menjawab “Pasti bisa!”
“Apakah kalian bisa?”
“Pasti bisa!”
“Apakah kalian bisa?”
“Pasti bisa!”
“Apakah kalian bisa?”
“Pasti bisa!”
Saya ulangi sampai mereka benar-benar yakin atas jawaban mereka. Anak-anakku, yakinlah bahwa kalian bisa! Kalian harus bisa! Dan kalian PASTI BISA! Pikir saya meyakinkan mereka dalam hati.
Baiklah saya segera menyampaikan materi, dan setelah dirasa cukup, saya membagikan wacana yang harus mereka baca. Saya jelaskan bahwa mereka harus memulai membaca setelah mendengar aba-aba dari saya, begitu juga untuk mengakhiri membaca. Ketika aba-aba dimulai, suasana kelas kembali menjadi seperti awal pertemuan tadi ketika saya mengajukan pertanyaan tentang pernahkah mereka membaca cepat. Huh… Suara gumaman mereka membahana memenuhi ruangan.  “Berhenti berhenti berhenti. Perhatikan!,” saya menghentikan aktivitas mereka dan perhatian anak-anak tertuju pada saya.
“Anak-anak, kan tadi sudah ibu sudah menjelaskan bahwa untuk bisa membaca lebih cepat dibandingkan dengan biasanya, kalian harus membaca dalam hati,” saya mengulangi materi yang tadi sudah saya sampaikan. Sambil bertanya jawab, saya yakinkan bahwa mereka harus memahami konsep dasar materi ini.
Nah, kalau sekarang saya yakin mereka sudah paham. Praktik membaca cepatpun dimulai. Mereka terlihat sangat berkonsentrasi. Setelah stopwatch di ponsel saya menunjukkan detik ke 60, saya menyuruh mereka untuk berhenti membaca dan memberi tanda pada kata terakhir yang mereka baca. Setelah itu saya menyuruh mereka untuk menghitung jumlah kata yang berhasil mereka baca dan menuliskannya di buku catatan. Kemudian saya memerintahkan mereka untuk menutup wacana yang baru saja mereka baca. Saya mengajak mereka untuk menjawab beberapa pertanyaan secara mencongak. Setelah selesai, kami memeriksa jawaban dengan cara saling tukar dengan teman sebangku.
Tak hanya bertugas menghitung jumlah jawaban benar, mereka juga saya tugasi untuk menghitung kecepatan membaca teman mereka dengan menggunakan rumus yang telah saya berikan, jumlah kata yang dibaca permenit dikalikan dengan jumlah jawaban benar dibagi jumlah soal.
Sambil menunggu mereka selesai menghitung, saya mengisi jurnal kelas. Bersama dengan selesainya mengisi jurnal kelas, saya bertanya kepada anak-anak, “Berapa kecepatan membaca teman kalian?”
“Belum, Buuu!” jawab mereka serentak. Ah, mereka selalu serentak.
Sambil menunggu lagi, saya melihat daftar absen, berusaha menghafal nama dengan wajah pemiliknya. Memperhatikan mereka sambil mengingat-ingat nama, saya melihat ada yang janggal pada mereka. Harusnya mereka asyik menghitung kecepatan membaca teman, tetapi kok malah mereka saling ribut.
“Sudah selesai?”
“Belum, Buuu!” jawaban yang masih sama dengan pertanyaan tadi.
Lama sekali, keluh saya dalam hati. Tak ingin berlarut dalam sebuah kejanggalan, saya beranjak menuju bangku terdekat. Saya melihat satu halaman buku anak itu menjadi ajang berhitung. Ya ampun, dari sekian banyak angka-angka yang ada, saya tak melihat ada hasil perhitungan yang tepat. Dengan penuh rasa heran, saya beralih ke bangku lainnya, hingga saya selesai melihat seluruh cara berhitung anak-anak saya di kelas ini.
Sekarang saya tahu jawabannya, mengapa mereka sungguh lama dalam menyelesaikan tugas yang saya berikan. Meskipun beberapa anak sudah berhasil mengetahui kecepatan membaca teman mereka, namun ternyata sebagian besar dari mereka kurang mahir dalam berhitung. Padahal saya pikir rumus menghitung kecepatan membaca ini masih dalam level dasar.
Hmmm… Tak ingin menyalahkan siapapun, saya kemudian berinisiatif untuk menerangkan kepada mereka tentang perkalian dan pembagian. Dimulai dari perkalian bersusun hingga penyederhanan pecahan.
Sedang asyik-asyiknya bermain dengan angka, lonceng tanda berakhirnya pembelajaran sudah berbunyi. Tanpa sempat menutup pembelajaran dengan sempurna, saya hanya mengakhiri dengan celetukan sederhana, “Besok kita belajar berhitung lagi yaaa…” dan anak-anak menjawab dengan riangmya, “Iya, Buuu…”
Dalam perjalanan menuju ruang guru, pikiran saya penuh tanda tanya disertai dengan rasa prihatin. Kalau keadaannya begini terus, bagaimana nasib mereka di mata pelajaran lain yang juga perlu hitung-menghitung. Bagaimana bisa mereka mengetahui percepatan maupun kecepatan suatu benda pada mata pelajaran fisika, atau bagaimana mereka bisa  mengetahui jumlah pajak yang harus dibayar pada mata pelajaran ekonomi, atau bagaimana mereka bisa menyelesaikan soal perkalian dan pembagian yang memang menjadi menu utama mata pelajaran matematika?
Ah, ini menjadi tugas kita bersama. Salam maju bersama!



Baca selengkapnya...