TINDAK
TUTUR MENURUT AUSTIN DAN SEARLE
A.
SEJARAH
TINDAK TUTUR
Pada awalnya ide Austin dalam
How to Do Things with Words (1962)
membedakan tuturan deskriptif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif. Saat
itu Austin berpendapat bahwa tuturan konstatif dapat dievaluasi dari segi
benar-salah yang tradisional (dengan menggunkan pengetahuan tentang dunia),
sedangkan performatif tidak dievaluasi sebagai benar-salah yang tradisional
tetapi sebagai tepat atau tidak tepat (dengan prinsip kesahihan). Austin (1962:
26-36) mengemukakan adanya empat syarat kesahihan, yaitu: (1) harus ada
prosedur konvensional yang mempunyai efek konvensional dan prosedur itu harus
mencakupi pengujaran kata-kata tertentu oleh orang-orang tertentu pada
peristiwa tertentu, (2) orang-orang dan peristiwa tertentu di dalam kasus
tertentu harus berkelayakan atau yang patut melaksanakan prosedur itu, (3)
prosedur itu harus dilaksanakan oleh para peserta secara benar, dan (4)
prosedur itu harus dilaksanakan oleh para peserta secara lengkap.
Menurut Austin semua tuturan
adalah performatif dalam arti bahwa semua tuturan merupakan sebuah bentuk
tindakan dan tidak sekadar mengatakan sesuatu. Kemudian Austin ke pemikiran
berikutnya (1962: 109) yaitu, Austin membedakan antara tindak lokusi (tindak
ini kurang-lebih dapat disamakan dengan sebuah tuturan kalimat yang mengandung
makna dan acuan) dengan tindak ilokusi (tuturan yang mempunyai daya
konvensional tertentu). Kemudian Austin melengkapi kategori-kategori ini dengan
menambah kategori ‘tindak perlokusi’ (tindak yang mengacu pada apa yang kita
hasilkan atau kita capai dengan mengatakan sesuatu). Namun ide yang mendorong
Austin untuk kemudian membuat klasifikasi mengenai tindak-tindak ilokusi ialah
asumsinya bahwa performatif merupakan batu ujian yang eksplisit buat semua
ilokusi.
Ketika Searle mengemukakan
klasifikasi yang serupa dalam ‘A Taxonomy
of Illocutionary Acts’, ia sengaja memisahkan diri dari asumsi Austin tadi,
yaitu yang mengatakan bahwa terdapat kesepadanan antara verba dan tindak ujar.
Searle berpendapat bahwa: ‘perbedaan-perbedaan yang ada antara verba-verba
ilokusi merupakan pedoman yang baik tetapi sama sekali bukan pedoman yang pasti
untuk membedakan tindak-tindak ilokusi’ (defferences
in illocutionary verb are a good guide, but by no means a sure guide to
defferences in illocutionary acts).
Walaupun begitu, cukup jelas bahwa dasar pemikiran Searle ini bertolak
dari verba ilokusi. Kita memang harus mengakui taksonomi Searle lebih berhasil
dan lebih sistematis daripada taksonomi Austin, namun kita dapat mengamati
bahwa Searle pun lagi-lagi menyebut performatif eksplisit yang terdapat pada
masing-masing kategori ini. Searle tidak berusaha mengemukakan dasar-dasar
prosedurnya ini, tetapi menerima begitu saja. Ia bertolak dari prinsip keekspresifan
(principle of expressibility), yang
menyatakan bahwa apapun yang mempunyai makna dapat diucapkan. Prinsip ini juga
digunakannya dalam Speech Acts (1969:
19-21) yang menjelaskan tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral
dalam pragmatik. Prinsip keekspresifan ini memang merupakan tesis yang sangat
memudahkan dan membantu penjelasan kita, terutama bila kita ingin menunjukkan
bahwa dengan membubuhkan awalan performatif yang sesuai, daya ilokusi tuturan
selalu dapat dibuat lebih jelas.
Dalam aspek-aspek lain Searle
tampaknya mengandalkan pada kekeliruan performatif, walaupun ia membenarkan
bahwa daya ilokusi dapat diungkapkan dengan penanda daya ilokusi (illocutionary-force indicating device)
(1969: 30), baik dengan intonasi, tanda baca, dan sebagainya, maupun dengan
verbal performatif. Searle juga mengakui bahwa terdapat ketidakjelasan yang sangat besar (enormous unclearity) dalam penggolongan tuturan-tuturan ke dalam
kategori-kategori ilokusi. Namun ia tetap mempertahankan pendapatnya bahwa
‘bila kita menggunakan titik ilokusi sebagai pengertian dasar bagi klasifikasi
penggunaan bahasa, itu berarti kita melakukan sejumlah hal dasar dengan bahasa.
Selanjutnya Searle (dalam
Gunarwan 1994: 47-48) secara lebih operasional merinci syarat kesahihan untuk
tindak tutur menjadi lima, yaitu: (1) penutur mestilah bermaksud memenuhi apa
yang ia janjikan, (2) penutur harus berkeyakinan bahwa lawan tutur percaya
bahwa tindakan yang dijanjikan menguntungkan pendengar, (3) penutur harus
berkeyakinan bahwa ia mampu memenuhi janji itu, (4) penutur mestilah
memprediksi tindakan yang akan dilakukan pada prediksi tindakan yang akan
dilakukan pada masa yang akan datang, (5) penutur harus mampu memprediksi
tindakan yang akan dilakukan oleh dirinya sendiri.
Sejauh ini alasan-alasan Leech
untuk menentang tesis kekeliruan Verba-Ilokusi bersifat deskriptif:
mengkotak-kotakkan tindak ujar ke dalam kategori-kategori tertentu seperti yang
dilakukan oleh kekeliruan verba ilokusi terlalu mengatur rentangan potensi
komunikatif manusia, dan ini tidak dapat di benarkan kalau hanya berdasarkan
pengamatan saja. Dalam hal perilaku percakapan manusia dan pengalaman-pengalaman
lain, bahasa kita menyediakan sejumlah kosakata yang menandakan adanya perbedaan-perbedaan
kategorikal.
Perhatian Austin dan Searle pada
performatif secara implisit memengaruhi mereka untuk berasumsi bahwa analisis
yang teliti mengenai makna verbal-ilokusi dapat membawa ke pemahaman daya
ilokusi.
B.
TINDAK TUTUR
Pembedaan-pembedaan yang
dibuat oleh Austin, Searle dan lain-lainya dalam mengklasifikasi tindak tutur
akan sangat berguna bila kita mengkaji verba tindak tutur. Pernyataan ini
didasarkan atas fakta bahwa sebetulnya filsuf-filsuf tindak tutur cenderung
memusatkan perhatian mereka pada makna verba tindak tutur, walaupun
kelihatannya mereka seakan-akan mengkaji tindak tutur. Tambahan lagi, tanpa
bersikap terlalu teoretis (doktriner) dapat diasumsikan bahwa ada kemungkinan
terdapat kesamaan antara berbagai perbedaan yang penting bagi analisis verba
tindak tutur dengan berbagai perbedaan yang penting untuk perilaku tindak tutur
yang diperikan oleh verba-verba tindak tutur.
Sebaliknya, kita akan sangat
anti-Worf bila kita mengansumsikan bahwa verba-verba yang disediakan oleh
bahasa untuk membahas perilaku komunikatif mengandung perbedaan-perbedaan yang
tidak signifikan buat perilaku sendiri; dan asumsi ini juga tidak didukung oleh
teori fungsional. Tetapi ada satu perbedaan besar antara pembicaraan tentang
tindak tutur dengan pembicaraan tentang verba tindak tutur, yaitu perbedaan-perbedaan
yang ada pada tindak tutur bersifat nonkategorikal, sedangkan pada verba tindak
tutur perbedaannya bersifat kategorikal. Searle (1979: 2) mengatakan bahwa
‘perbedaan-perbedaan di antara verba-verba ilokus merupakan petunjuk yang baik
tetapi sama sekali bukan petunjuk yang pasti akan mengetahui perbedaan-perbedaan
yang ada antara tindak-tindak ilokus’. Perbedaan yang lain adalah bila kita
membahas verba tindak tutur, kita harus membatasi diri pada verba-verba
tertentu dalam bahasa-bahasa tertentu.
Tindak tutur yang
pertama-tama dikemukakan oleh Austin (1956) yang merupakan teori yang
dihasilkan dari studinya dan kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson (1965) dengan
judul How to Do Thing with Words?
Kemudian teori ini dikembangkan oleh Searle (1969) dengan menerbitkan sebuah
buku Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekadar
lambang, kata atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau
ahsil dari lambang, kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur (teh performance of speech acts).
Leech (1994: 4) menyatakan
bahwa sebenarnya dalam tindak tutur mempertimbangkan lima aspek situasi tutur
yang mencakup: penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tindak
tutur sebagai sebuah tindakan/aktivitas dan tuturan sbg produk tindak verbal.
Tindak tutur atau
tindak ujar (speech act) merupakan
entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam
pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi nanalisis topik-topik pragmatik
lain seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama,
dan prinsip kesantunan. Kajian pragmatik yang tidak mendasarkan analisisnya
pada tindak tutur bukanlah kajian pragmatik dlm arti yang sebenarnya (Rustono,
1999: 33).
Chaer (Rohmadi, 2004:
29) tindak tutur merupakan gejala individual yang bersifat psikologis dan
keberlangsungan ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi
situasi tertentu. Dalam tndak tutur lebih dilihat pd makna atau arti tindakan
dlm tuturannya.
Suwito dalam bukunya Sosiolinguistik: Teori dan Problem
mengemukakan jika peristiwa tutur (speech
event) merupakan gejala sosial dan terdapat interaksi antara penutur dalam
situasi dan tempat tertentu, maka tindak tutur lebih cenderung sebagai gejala individual,
bersifat psikologis dan ditentukanm oleh kemampuan bahasa penutur dalam
menghadapi situasi tertentu. Jika dalam peristiwa tutur orang menitikberatkan
pada tujuan peritiwa, maka dalam tindek tuutr irang lebih memperhatikan makna
atau arti tindak dalam tuturan itu (Rohmadi, 2004: 30).
Jadi dapat disimpulkan
bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan sebagai
suatu fungsional dlm komunikasi yang mempertimbangkan aspek situasi tutur.
C.
JENIS
TINDAK TUTUR
Searle
dalam bukunya Act: An Essay in the
Philoshopy of Language mengemukakan bahwa secara pragmatis ada tiga jenis
tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur (dlm Rohmadi 2004: 30)
yakni tindak lokusi (locutionary act),
tindak ilokusi (illocutionary act),
dan tindak tutur perlokusi (perlocutionary
act). Hal ini senada dengan pendapat Austin yang juga membagi jenis tindak
tutur menjadi lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Berikut pembahasan ketiganya.
1. Tindak Lokusi
Tidak
tutur lokusi adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu;
tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan makna kalimat sesuai dengan makna
kata itu di dalam kamus dan makna kalimat itu menurut kaidah sintaksisnya
(Gunarwan dalam Rustono, 1999: 37). Fokus lokusi adalah makna tuturan yang
diucapkan, bukan mempermasalahkan maksud atau fungsi tuturan itu. Rahardi
(2003: 71) mendefinisikan bahwa lokusi adalah tindak bertutur dengan kata,
frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan
kalimat itu. Lokusi dapat dikatakan sebagai the
act of saying something. Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah
diidentifikasi karena dalam pengidentifikasiannya tidak memperhitungkan konteks
tuturan (Rohmadi, 2004: 30).
Contoh
tindak tutur lokusi adalah ketika seseorang berkata “badan saya lelah sekali”.
Penutur tuturan ini tidak merujuk kepada maksud tertentu kepada mitra tutur.
Tuturan ini bermakna bahwa si penutur sedang dalam keadaan lelah yang teramat
sangat, tanpa bermaksud meminta untuk diperhatikan dengan cara misalnya dipijit
oleh si mitra tutur. Penutur hanya mengungkapkan keadaannya yang tengah dialami
saat itu. Contoh lain misalnya kalimat “Sandy bermain gitar”. Kalimat ini
dituturkan semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk
melakukan sesuatu apalagi untuk memengaruhi lawan tuturnya.
2. Tindak Ilokusi
Bila
tata bahasa menganggap bahwa kesatuan-kesatuan statis yang abstrak seperti
kalimat-kalimat dalam sintaksis dan proposisi-proposisi dalam semantik, maka
pragmatik menganggap tindak-tindak verbal atau performansi-performansi yang
berlangsung di dalam situasi-situasi khusus dan waktu tertentu. Pragmatik
menganggap bahasa dalam tingkatan yang lebih konkret daripada tata bahasa.
Singkatnya, ucapan dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan: suatu tindak ujar
(Tarigan, 1986: 36). Menurut pendapat Austin (Rustono, 1999: 37) ilokusi adalah
tindak melakukan sesuatu Ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud
dan fungsi atau daya tuturan. Pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan tindak
ilokusi adalah “untuk apa ujaran itu dilakukan” dan sudah bukan lagi dalam
tataran “apa makna tuturan itu?”. Rohmadi (2004: 31) mengungkapkan bahwa tindak
ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau
menginformasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Contoh
tindak tutur ilokusi adalah “udara panas”. Tuturan ini mengandung maksud bahwa
si penutur meminta agar pintu atau jendela segera dibuka, atau meminta kepada
mitra tutur untuk menghidupkan kipas angin. Jadi jelas bahwa tuturan itu mengandung
maksud tertentu yang ditujukan kepada mitra tutur. Contoh lain, kalimat “Suseno
sedang sakit”. Jika kalimat ini dituturkan kepada mitra tutur yang sedang
menyalakan televisi dengan volume yang sangat tinggi, berarti tuturan ini tidak
hanya dimaksudkan untuk memberikan informasi, tetapi juga menyuruh agar
mengecilkan volume atau bahkan mematikan televisi.
3. Tindak Tutur Perlokusi
Tuturan
yang diucapkan penutur sering memiliki efek atau daya pengaruh (perlocutionary force). Efek yang
dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu itulah yang
oleh Austin (1962: 101) dinamakan perlokusi. Efek atau daya tuturan itu dapat
ditimbulkan oleh penutur secara segaja, dapat pula secara tidak sengaja. Tindak
tutur yang pengujaran dimaksudkan untuk memengaruhi mitra tutur inilah
merupakan tindak perlokusi.
Ada
beberapa verba yang dapat menandai tindak perlokusi. Beberapa verba itu antara
lain membujuk, menipu, mendorong, membuat jengkel, menakut-nakuti,
menyenangkan, mempermalukan, menarik perhatian, dan lain sebagainya (Leech,
1983). Contoh tuturan yang merupakan tindak perlokusi:
- “ada hantu!”
- “sikat
saja!”
- “dia
selamat, Bu.”
Tiga
kalimat tersebut masing-masing memiliki daya pengaruh yaitu menakut-nakuti, mendorong, dan
melegakan (Rustono, 1999).
Sehubungan
dengan pengertian tindak tutur di atas, tindak tutur digolongkan menjadi lima
jenis oleh Searle (Rohmadi, 2004:32; Rustono, 1999: 39). Kelima jenis itu
adalah tindak tutur representatif,
direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi. Berikut penjelasan kelimanya.
1)
Representatif
Representatif merupakan
tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas hal yang
dikatakannya. Tindak tutur jenis ini juga disebut dengan tindak tutur asertif. Yang termasuk tindak tutur
jenis ini adalah tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, menunjukkan,
melaporkan, memberikan kesaksian, menyebutkan, berspekulasi. Contoh jenis
tuturan ini adalah: “Adik selalu unggul di kelasnya”. Tuturan tersebut termasuk
tindak tutur representatif sebab berisi informasi yang penuturnya terikat oleh
kebenaran isi tuturan tersebut. Penutur bertanggung jawab bahwa tuturan yang
diucapkan itu memang fakta dan dapat dibuktikan di lapangan bahwa si adik rajin
belajar dan selalu mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. Contoh yang lain
adalah: “Tim sepak bola andalanku menang telak”, “Bapak gubernur meresmikan
gedung baru ini”.
2)
Direktif
Tindak tutur direktif
adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan
tindakan sesuai apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tindak tutur direktif
disebut juga dengan tindak tutur impositif.
Yang termasuk ke dalam tindak tutur jenis ini antara lain tuturan meminta, mengajak,
memaksa, menyarankan, mendesak, menyuruh, menagih, memerintah, mendesak,
memohon, menantang, memberi aba-aba. Contohnya adalah “Bantu aku memperbaiki
tugas ini”. Contoh tersebut termasuk ke dalam tindak tutur jenis direktif sebab
tuturan itu dituturkan dimaksudkan penuturnya agar melakukan tindakan yang
sesuai yang disebutkan dalam tuturannya yakni membantu memperbaiki tugas.
Indikator dari tuturan direktif adalah adanya suatu tindakan yang dilakukan
oleh mitra tutur setelah mendengar tuturan tersebut.
3)
Ekspresif
Tindak tutur ini
disebut juga dengan tindak tutur evaluatif.
Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar
tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan
itu, meliputi tuturan mengucapkan terima kasih, mengeluh, mengucapkan selamat,
menyanjung, memuji, meyalahkan, dan mengkritik. Tuturan “Sudah kerja keras
mencari uang, tetap saja hasilnya tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga”.
Tuturan tersebut merupakan tindak tutur ekspresif mengeluh yang dapat diartikan
sebagai evaluasi tentang hal yang dituturkannya, yaitu usaha mencari uang yang
hasilnya selalu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Contoh tuturan
lain adalah “Pertanyaanmu bagus sekali” (memuji), “Gara-gara kecerobohan kamu,
kelompok kita didiskualifikasi dari kompetisi ini” (menyalahkan), “Selamat ya, Bu, anak Anda perempuan”
(mengucapkan selamat).
4)
Komisif
Tindak tutur komisif
adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan segala hal yang
disebutkan dalam ujarannya, misalnya bersumpah, berjanji, mengancam, menyatakan
kesanggupan, berkaul. Contoh tindak tutur komisif kesanggupan adalah “Saya
sanggup melaksanakan amanah ini dengan baik”. Tuturan itu mengikat penuturnya untuk melaksanakan amanah dengan
sebaik-baiknya. Hal ini membawa konsekuensi bagi dirinya untuk memenuhi apa
yang telah dituturkannya. Cotoh tuturan yang lain adalah “Besok saya akan
datang ke pameran lukisan Anda”, “Jika sore nanti hujan, aku tidak jadi berangkat
ke Solo”.
5)
Deklarasi
Tindak
tutur deklarasi merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya utuk
menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Tindak tutur ini
disebut juga dengan istilah isbati.
Yang termasuk ke dalam jenis tuutran ini adalah tuturan dengan maksud mengesankan,
memutuskan, membatalkan, melarang, mengabulkan, mengizinkan, menggolongkan,
mengangkat, mengampuni, memaafkan. Tindak tutur deklarasi dapat dilihat dari
contoh berikut ini.
a)
“Ibu tidak jadi
membelikan adik mainan.” (membatalkan)
b)
“Bapak memaafkan
kesalahanmu.” (memaafkan)
c)
“Saya memutuskan untuk
mengajar di SMA almamater saya.” (memutuskan).
DAFTAR
PUSTAKA
Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. London: Oxford University Press.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: UI
Press.
Rohmadi, Muhammad.
2004. Pragmatik: Teori dan Analisis.
Yogyakarta: Lingkar Media.
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: IKIP
Semarang Press.
Tarigan, Henry Guntur.
1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung:
Angkasa.
Terimakasih infonya, sangat membantu saya dalam memahami materi mengenai tindak tutur :)
BalasHapuskembali kasih . . . ^^
Hapustq tuk ilmunya...
BalasHapusu'r wlcome :)
HapusIni nama penulisnya Citra Sparina?
BalasHapusMaterinya sangat mudah dipahami terima kasih min
BalasHapusTerima kasih... Bermanfaat
BalasHapuskak mau nanya nih, bagian dari illocution menurut austin apa ya kak?
BalasHapuskak mau nanya nih, bagian dari illocution menurut austin apa ya kak?
BalasHapusMenurut saya ini, verdictives yaitu tindak tutur yang berkaitan dengan keputusan salah atau benar, excersiviies yaitu tindak tutur yang muncul karena adanya kekuasaan, pengaruh atau hak, commissives yaitu tindak tutur yang disebabkan karena ada perjanjian untuk melakukan sesuatu , behavitives yaitu tindak tutur yang menunjukan adanya kepedulian sosial, dan expositives yaitu tindak tutur yang digunakan untuk mendefinisikan atau memberi pengertian terhadap sesuatu. coba cari lagi referensi lain mungkin bisa melengkapi.
BalasHapusTerima kasih ilmunya. Boleh minta identitas lengkap utk keperluan perujukan?
BalasHapus