ASAL USUL NAMA KOTA WELERI
Adalah
Tumenggung Prawiro Setya atau Pangeran Sambong salah satu petinggi Mataram yang
mengikuti pertemuan di paseban Kemangi dalam rangka persiapan menyerang VOC di
Batavia. Ada tuturan lagi bahwa Pangeran Sambong adalah seorang keturunan China
yang nama aslinya Sam Hong. Nama orang penting dari Mataram itu pada
catatan cerita tutur erat sekali hubungannya dengan asal-usul terjadinya Kota
Weleri (Nyai Damariyah), terlebih Desa Sambongsari.
Tentang
nama Sam Hong pada diri Pangeran Sambong bisa dijadikan sebagai petunjuk bahwa
tokoh sejarah masa lalu sudah terdiri dari berbagai suku dan bangsa. Dan
seandainya benar Sambong itu berasal dari Sam Hong, juga bukan sebagai sesuatu
kejadian yang aneh. Nama Sam Hong in erat sekali dengan adanya sebuah makam,
yang konon katanya makam itu punya nama Nyah Ka Han. Petilasan Nyah Ka
Han itu ada di sebelah balai desa Sambongsari. Petilasan itu hanya diberi tanda
dua buah bakiak atau sandal yang terbuat dari kayu lunak.
Sebai
pemimpin-pemimpin lainnya, Tumenggung Prawiro Setya atau Pangeran Sambong tidak
diperkenankan kembali ke Mataram. Ia kembali dari Batavia satu rombongan dengan
Raden Muthohar dan Raden Haryo Sungkono. Perpisahan ketoga tokoh Mataram
terjadi setelah Raden Muthohar dan Raden Haryo Sungkono berketatapan tinggal di
daerah yang dinamakan Sembung Tambar. Tumenggung Prawiro Setya kembali
bertapa kemudian melanjutkan perjalanan ke arah barat dan menjadi warga
masyarakat biasa. Artinya, gelar kebesarannya sebagai tumenggung dilepasnya
dengan sukarela. Tetapi masyarakat sudah mengetahui bahwa ia adalah seorang
petinggi Mataram yang ikut berperang melawan Belanda di Batavia.
Disebutkan
dalam cerita tutur bahwa kehidupan di sebelah barat desa Sembung Tambar, ia
bersama-sama dengan tokoh seperguruannya bernama Bah Brontok, seorang
tokoh keturunan China. Tokoh lainnya ada yang menuturkan bernama Bagus Wuragil
juga dikenal dengan nama Den Bagus Banteng dan Benowo. Nama yang terakhir itu
bukanlah Benowo yang melekat erat dengan Pangeran Benowo putera Jaka Tingkir
(ada yang menyebut Denowo bukan Benowo).
Pangeran
Sambong dan Bah Brontok adalah sama-sama murid Tumenggung Rajekwesi atau Ki
Ageng Kemangi. Namun keduanya bertolak belakang dalam menempatkan tujuan
belajar pada Ki Ageng Kemangi. Pangeran Sambong cenderung pada aliran putih,
sedangkan Bah Brontok lebih pada aliran hitam.
Tempat paseban Pangeran Sambong diceritakan berada di sebuah perbukitan, sebelah desa Sambongsari. Tempatnya di tengah-tengah hutan jati, yang sekarang ini dipercayai sebagai makam Pangeran Sambong. Di samping makam/patilasan Pangeran Sambong ada sebuah makam/patilasan lagi, yang dituturkan milik putera Pangeran Sambong bernama Pangeran Langsih.
Sebagaimana
di daerah-daerah lain, Pangeran Sambong juga melaksanakan tugas penyiaran agama
Islam dengan cara yang disesuaikan dengan keadaan.Begitu mengenal nama Pangeran
Sambong, ingatan kita tentu tertuju pada seorang tokoh dalam lakon sinetron.
Dalam sinetron tersebut, disebut-sebut dengan Raden Samba, yang konon seorang putera
adipati.
Melihat
masanya, Raden Samba memang sejaman dengan tokoh-tokoh pejuang dari Mataram.
Apakah nama Raden Samba yang kemudian hari ada kemirpa dengan Pangeran Sambong?
Tentunya memang tidak gampang untuk cepat menjawab dengan "Ya"
. Namun bila diperhatikan namanya, memang tidak terlalu jauh antara Raden Samba
dengan Raden Sambong. Dengan demikian paling tidak ada kedekatan dengan Paseban
Kemangi.
Hidup
sejaman dengan Bah Brontok, ternyayta hubungan antara pangeran Sambong dengan
Bah Brontok bagai minyak dengan air. Meskipun mereka sama murid Ki Ageng
Kemangi atau Tumenggung Rajekwesi, keduanya mempunyai visi keilmuan yang
berbeda. Dialog soal kunci kehidupan antara keduanya tokoh itu memang sering
dilakuukan. Namun selalu tidak menemukan titik yang bagus.
Demikianlah
alkisah menyebutkan, bahwa suatu hari Bah Brontok melakukan adu ayam dengan
Pangeran Sambong. Ayam Petarung Pangeran Sambong berwarna merah penatas,
sedangkan milik Bah Brontok berwarna jali. Tempat beradunya ditentukan yaitu di
daerah Cakra Kembang, dekat Sungai/Kali Kutho. Orang yang suka
melihat adu ayam tidak berani melihat dari jarak dekat, cukup dari kejauhan dan
di tempat yang agak tinggi. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Tegalan
Sedengok.
Setelah
usai adu ayam, keduanya selalu memandikan ayamnya di sungai dekat Cakra
Kembang. Oleh masyarakat, sungai itu dikenal dengan nama sungai/kali jenes
(kotor). Ada yang menarik dalam adu ayam itu. Ketika selesai adu ayam, dan jika
ayam Bah Brontok kalah tarung, maka dilanjutkan dengan perang tanding
antarpemiliknya. Yang sering melakukan pertarungan dalam cerita tutur adalah
Bah Brontok dan Bagus Wuragil, yang konon masih adik Pangeran Sambong.
Ada
tuturan lagi, dalam adu ayam, Bah Brontok sering melakukan
kecurangan-kecurangan. Melihat lawannya senang dengan kecurangan, maka Pangeran
Sambong juga melakukan taktik yang sama. Pada salah satu kaki ayam milik
Pangeran Sambong diberinya tutup kaki yang terbuat dari bambu, sehingga
kelihatan bahwa kaki ayam miliknya disambung dengan bambu (pring-Jawa).
Dengan demikian warna kulit kaki ayam itu menjadi tidak sama. Maka di Dukuh Bojengan,
yang letaknya tidak jauh dari Cakra Kembang itu bila ada ayam yang warna kulit
dua kaki yang berbeda diyakini bahwa ayam itu adalah milik Pangeran Sambong.
Tempat
padepokan kedua tokoh itu memang tidak terlalu jauh. Pangeran Sambong tinggal
di daerah yang bernama Sambong atau hutan Sambongan, sedangkan Bah
Brontok tinggal di Alas Buntu di daerah Krengseng. Tempat yang pernah
dijadikan ajang tadnign kesaktian oleh keduanya itu sekarang dengan nama Randu
Sigunting. Disebut demikian karena pohon Randu itu tumbuh bercabang seperti
gunting.
Sedangkan
tempat lain, dituturkan berada di sekitar makam Penyangkringan sekarang. Pada
jaman dulu, di dekat makam itu ada bekas tapak kuda Pangeran Sambong di sebuah tunggak
jati. Bahkan pertarungan antara Bagus Wuragil dengan Bah Brontok jga pernah
terjadi. Kejar mengejar antara keduanya hingga sampai hutan Seklayu yang
terletak di daerah Lebo Krengseng. Dan di hutan itulah ada dua makam yang
dikatakan oleh masyarakat sebagai makam atau patilasan Bagus Wuragil dan Bah
Brontok.
Bagus
Wruagil disebut dengan Den Bagus Banteng karena dalam pertarungannya dengan Bah
Brontok, sepak terjangnya seperti kekuatan banteng. Dalam pertarungan dua tokoh
itu, keduanya mencapai puncak pertarungan dengan meninggal secara bersama (Mogo
bothongo - sampyuh).
Nama isteri Pangeran Sambong memang tidak jelas sosoknya. Sedangkan Nyai Wungu adalah sosok tokoh wanita yang terlebih dahulu datang di tempat itu. Begitu pula tentng Nyai Damariyah atau Sri Pandan atau Pandansari, tokoh wanita itu lebih muda dari Pangeran Sambong. Pertemuan tiga tokoh tersebut ternyata membawa berkah, karena ketiganya pernah bertemu di suatu tempat sebelum tinggal di daerah barunya itu. Tempat pertemuannya sekarang disebut-sebut dengan Sambung yang diambil dari pertemuan ketiga tokoh itu bisa menyambung persaudaraan kembali.
Nama isteri Pangeran Sambong memang tidak jelas sosoknya. Sedangkan Nyai Wungu adalah sosok tokoh wanita yang terlebih dahulu datang di tempat itu. Begitu pula tentng Nyai Damariyah atau Sri Pandan atau Pandansari, tokoh wanita itu lebih muda dari Pangeran Sambong. Pertemuan tiga tokoh tersebut ternyata membawa berkah, karena ketiganya pernah bertemu di suatu tempat sebelum tinggal di daerah barunya itu. Tempat pertemuannya sekarang disebut-sebut dengan Sambung yang diambil dari pertemuan ketiga tokoh itu bisa menyambung persaudaraan kembali.
Dikisahkan
bahwa Nyai Damariyah atau Sri Pandan adalah sosok wanita yang sangat cantik,
dan diperebutkn oleh Bagus Wuragil dan Denowo (bukan Pangeran Benowo). Dalam
cerita tutur itu diterangkan dengan jelas bahwa hati Nyai Damariyah lebih
condong ke Bagus Wuragl. Karena dirinya menjadi rebutan dua tokoh yang
sama-sama pengikut Pangeran Ssambong, hatinya sangat gelisah. Maka ia memilih
hidup dengan Nyai Wungu.
Oleh
Pangeran Sambong juga Nyai Wungu dinasihatkan, kalau Nyai Damariyah ingin
tenang dari perebutan dua orang yang sama-sama menjadi sahabatnya, lebih baik
Nyi Damariyah pergi ke tempat Ki Sido Mukti, yang letaknya di sebelah timur
Sambongan. Ki Ageng Sido Mukti sangatlah prihatin karena adanya perseteruan dua
sahabat Nyai Damariyah yang memperebutkan Nyai Damariyah. Oleh Ki Ageng Sdo
Mukti, Nyai Damariyah diperintahkan untuk mencucui beras (mesusi-Jawa).
Sebagaimana biasanya tempat mencuci beras itu dilakukan di sungai.
Diberitahukan oleh ki Sido Mukti bahwa ketika Nyai Damariyah mesusi
beras, maka telusurilah di mana letak berhentinya air cucian (pesusan)
beras itu. Di tempat berakhirnya air pesusan itulah Nyai Damariyah bisa
hidup tenang dan tidak akan diganggu oleh siapapun.
Air
pesusan beras itu disebut orang dengan "Leri". Ketika Nya
Damariyah menelusuri di mana berhentinya air leri itu, ternyata berhenti
tepat di bawah dua pohon pandan yag tumbuh berdampingan, dan ada pohon Lo,
pada waktu itu disebut orang dengan nama pohon cangkring. Sehingga
daerah di sekitar pohon Lo itu sekarang in dikenal dengan nama desa Penyangkringan.
Sedangkan nama Nyai Damariyah dipanggil banyak orang dengan nama Nyai Pandansari
atau Sri Pandan. Sedangkan sungai yang menjadi tempat mesusi/mencuci
beras akhirnya dikenal dengan Sungai Damar atau Kali Damar.
Tentang
akhir kehidupan Nyai Damar, ia memang lebih suka bertapa dan tempat yang
dipilihnya adalah di bawah pohon pandan. Konon Nyai Damar yang sukses bertapa
itu menjadi tokoh sakti pilih tanding. Tempat pertapaannya yang terakhir adalah
di bawah pohon pandan yang terletak di tepi laut (pantai dekat hilir sungai
Damar/Laut Jawa). Dan sudah menjadi catatan khusus masyarakat Weleri bahwa desa
itu mempunyai "danyang" seorang wanita yaitu Nyai Pandansari.
dikutip
dari buku Babad Tanah Kendal karya Ahmad Hamam Rochani
LEGENDA BANYUWANGI
Pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa
Timur terdapat sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh seorang Raja yang
adil dan bijaksana. Raja tersebut mempunyai seorang putra yang gagah bernama
Raden Banterang. Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. “Pagi hari ini aku
akan berburu ke hutan. Siapkan alat berburu,” kata Raden Banterang kepada para
abdinya. Setelah peralatan berburu siap, Raden Banterang disertai beberapa
pengiringnya berangkat ke hutan. Ketika Raden Banterang berjalan sendirian, ia
melihat seekor kijang melintas di depannya. Ia segera mengejar kijang itu
hingga masuk jauh ke hutan. Ia terpisah dengan para pengiringnya.
“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang,
ketika kehilangan jejak buruannya. “Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya.
Raden Banterang menerobos semak belukar dan pepohonan hutan. Namun, binatang
buruan itu tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai yang sangat bening airnya.
“Hem, segar nian air sungai ini,” Raden Banterang minum air sungai itu, sampai
merasa hilang dahaganya. Setelah itu, ia meninggalkan sungai. Namun baru
beberapa langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik
jelita.
“Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia seorang
manusia? Jangan-jangan setan penunggu hutan,” gumam Raden Banterang
bertanya-tanya. Raden Banterang memberanikan diri mendekati gadis cantik itu.
“Kau manusia atau penunggu hutan?” sapa Raden Banterang. “Saya manusia,” jawab
gadis itu sambil tersenyum. Raden Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis
cantik itu menyambutnya. “Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung”.
“Saya berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah
saya telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar
ucapan gadis itu, Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan
puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya
pulang ke istana. Tak lama kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.
Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan
sendirian ke luar istana. “Surati! Surati!”, panggil seorang laki-laki yang berpakaian
compang-camping. Setelah mengamati wajah lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang
berada di depannya adalah kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan
Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden
Banterang telah membunuh ayahandanya. Surati menceritakan bahwa ia mau
diperistri Raden Banterang karena telah berhutang budi. Dengan begitu, Surati
tidak mau membantu ajakan kakak kandungnya. Rupaksa marah mendengar jawaban
adiknya. Namun, ia sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada
Surati. “Ikat kepala ini harus kau simpan di bawah tempat tidurmu,” pesan
Rupaksa.
Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak
diketahui oleh Raden Banterang, dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di
hutan. Tatkala Raden Banterang berada di tengah hutan, tiba-tiba pandangan
matanya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki berpakaian compang-camping.
“Tuangku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan terancam bahaya yang direncanakan
oleh istri tuan sendiri,” kata lelaki itu. “Tuan bisa melihat buktinya, dengan
melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat
kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, lelaki berpakaian compang-camping itu hilang
secara misterius. Terkejutlah Raden Banterang mendengar laporan lelaki
misterius itu. Ia pun segera pulang ke istana. Setelah tiba di istana, Raden
Banterang langsung menuju ke peraaduan istrinya. Dicarinya ikat kepala yang
telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping yang telah menemui di
hutan. “Ha! Benar kata lelaki itu! Ikat kepala ini sebagai bukti! Kau
merencanakan mau membunuhku dengan minta tolong kepada pemilik ikat kepala
ini!” tuduh Raden Banterang kepada istrinya. “ Begitukah balasanmu padaku?”
tandas Raden Banterang.”Jangan asal tuduh. Adinda sama sekali tidak bermaksud
membunuh Kakanda, apalagi minta tolong kepada seorang lelaki!” jawab Surati.
Namun Raden Banterang tetap pada pendiriannya, bahwa istrinya yang pernah
ditolong itu akan membahayakan hidupnya. Nah, sebelum nyawanya terancam, Raden
Banterang lebih dahulu ingin mencelakakan istrinya.
Raden Banterang berniat menenggelamkan istrinya di
sebuah sungai. Setelah tiba di sungai, Raden Banterang menceritakan tentang
pertemuan dengan seorang lelaki compang-camping ketika berburu di hutan. Sang
istri pun menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki berpakaian
compang-camping seperti yang dijelaskan suaminya. “Lelaki itu adalah kakak
kandung Adinda. Dialah yang memberi sebuah ikat kepala kepada Adinda,” Surati
menjelaskan kembali, agar Raden Banterang luluh hatinya. Namun, Raden Banterang
tetap percaya bahwa istrinya akan mencelakakan dirinya. “Kakanda suamiku!
Bukalah hati dan perasaan Kakanda! Adinda rela mati demi keselamatan Kakanda.
Tetapi berilah kesempatan kepada Adinda untuk menceritakan perihal pertemuan
Adinda dengan kakak kandung Adinda bernama Rupaksa,” ucap Surati mengingatkan.
“Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda
diminati bantuan, tetapi Adinda tolah!”. Mendengar hal tersebut , hati Raden
Banterang tidak cair bahkan menganggap istrinya berbohong.. “Kakanda ! Jika air
sungai ini menjadi bening dan harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah!
Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk, berarti Adinda bersalah!” seru Surati.
Raden Banterang menganggap ucapan istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden
Banterang segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu
pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang.
Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan
harum merebak di sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru
dengan suara gemetar. “Istriku tidak berdosa! Air kali ini harum baunya!”
Betapa menyesalnya Raden Banterang. Ia meratapi kematian istrinya, dan
menyesali kebodohannya. Namun sudah terlambat.
Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa
Jawa disebut Banyuwangi. Banyu artinya air dan wangi artinya harum. Nama
Banyuwangi kemudian menjadi nama kota Banyuwangi.
Sumber: e-smartschool.com yang diambil dari elexmedia
MEMBANDINGKAN DUA SASTRA LISAN
(CERITA RAKYAT)
Salah satu bidang kajian
kesusastraan bandingan adalah masalah tema. Di dalam membicarakan tema ini
tercakuplah masalah perwatakan tokoh utama cerita yang menggambarkan
kepribadiannya. Kedua kajian bandingan sastra berikut ini akan membandingkan
sastra lisan yaitu cerita rakyat yang berasal dari kota Weleri dan dari kota
Banyumas.
Kedua cerita rakya memiliki kesamaan
pada tema yang diusung. Kedua cerita ini menceritakan tentang mitos keajaiban
sungai yang memiliki kekuatan magis. Pada cerita I menggambarkan bahwa dalam
mencari petunjuk untuk mendapatkan jawaban dimana Nyai
Pandansari ingin tinggal, Nyai Damariah melakukan semacam ritual yaitu mencuci
beras di sungai kemudian air cucian yang disebut sebagai “leri” mengalir dan
menunjukkan tempat untuk tingal Nyai Damariah. Sedangkanpada cerita rakyat yang
ke-2 memiliki kesamaan pada mitos sungai, sungai digunakan sebagai petunjuk
dalam menentukan suatu kebaikan. Akibatnya pada jaman sekarang banyak sungai
yang dianggap mistik dan memiliki penunggu.
No.
|
Asal Usul Kota
Weleri
|
Asal Usul Kota
Banyumas
|
1.
|
Motif mitologi
tentang asal usul suatu nama kota, yaitu penamaan Weleri dilihat dari
sejarahnya.
|
Motif mitologis,
pembuktian kesetiaan istri kepada suami dengan berkorban menenggelamkan diri
ke dalam sungai.
|
2.
|
Motif tempat
yang dianggap magis.
Sungai yang
dipercaya sebagai tempat untuk mencari petunjuk
|
Motif tempat
yang dianggap magis.
Sungai yang
dipercaya sebagai tempat untuk menunjukkan kebaikan dan keburukan.
|
3.
|
Motif
percintaan.
Terjadi
percintaan antara dua orang sahabat yang seperguruan kepada Nyai Pandansari.
Nyai Pandansari kemudian mencari petunjuk ke sungai untuk meninggalkan kedua
sahabat tersebut.
|
Motif
percintaan
Percintaan
antara suami dan istri, tetapi karena kecurigaan suami terhadap istrinya,
istrinya rela berkorban nyawa untuk membuktikan kesetiaannya.
|
4.
|
Motif
Pengujian,
Nyai
Pandansari menuruti saran dari gurunya untuk mencuci beras disungai dan
menemukan tempat yang paling aman untuk ditinggalinya
|
Motif
pengujian.
Karena
dianggap tidak setia, Surati ingin dibunuh oleh Raden
Banterang suaminya. Kemudian Surati meminta kepada suaminya ke tepi sungai,
dan Surati membuktikan kesetiaanya dengan menenggelamkan diri ke sungai. Dan
akhirnya sungai tersebut berbau wangi.
|
Pengaruh yang
ada.
Dari kedua karya
sastra diatas memiliki kesamaan pada jalan cerita. Bagaimanakah dapat terjadi
persamaan-persamaan antara dua cerita yang jauh tempat keberadaannya, Weleri
ada di Jawa Tengah sedangkan banyuwangi ada di Jawa Timur. Menurut beberapa
ahli hal ini bukan dikarenakan pengaruh, tetapi karena Polingenesis, yaitu
cerita dengan tipe dan motif serupa yang lahir di tempat yang berbeda dan wajtu
yang berbeda.
Kedua cerita
tersebut memiliki persamaan tena yaitu percintaan, serta motif-motif yang
hampir sama.
Membandingkan
kedua cerita rakyat diatas berdasarkan unsur-unsur sastranya:
No.
|
Asal Usul Kota
Weleri
|
Asal Usul Kota
Banyumas
|
1.
|
Mitos tentang
kepercayaan kekuatan mistis sungai yang dapat menunjukkan kebaikan dan
keburukan, memberiakn petunjuk untuk kebaikan manusia yang membutuhkannya.
|
Mitos tentang
kepercayaan kekuatan mistis sungai yang dapat menunjukkan kebaikan dan
keburukan, memberiakn petunjuk untuk kebaikan manusia yang membutuhkannya.
|
2
|
Percintaan
antara wanita dan pria, yang menjadi penyebab adanya konflik.
|
Percintaan
antara wanita dan pria, yang menjadi penyebab adanya konflik.
|
3.
|
Seorang wanita
yang memiliki kehendak dan kemampuan untuk menentukan sikap.
|
Seorang wanita
yang setia dan ingin membuktikan kesetiaanya kepada suami yang dicintainya.
|
4.
|
Asal usul nama
sebuah desa yang berawal dari keberadaan sungai/air
|
Asal usul nama
sebuah desa yang berawal dari keberadaan sungai/air
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar