Tangan yang
Saling Berjabat
Berjabat tangan sepertinya sudah
menjadi tradisi dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan bisa dipastikan bahwa
semua orang di dunia ini pasti pernah berjabat tangan. Berjabat tangan saat
bertemu, berjabat tangan saat berpisah, berjabat tangan saat berkenalan,
berjabat tangan bentuk kesepakatan, berjabat tangan tanda maaf, dan lain
sebagainya.
Di rumah, ketika saya masih bersekolah,
hampir setiap pagi saat berpamitan berangkat ke sekolah saya selalu berjabat
tangan dengan ibu, dibarengi mencium punggung tangannya sebagai bentuk rasa
sayang dan hormat. Bahkan ketika saya lupa karena terburu-buru berangkat, tak
jarang ayah menegur, “Nah tho, pamit
dulu sana.” Berpamitan di sini tentunya dalam artian sambil berjabat tangan. Ketika
pulang dari sekolah pun demikian, masuk rumah sambil mengucapkan salam dan
berjabat tangan. Hal ini kami lakukan hampir setiap hari. Meskipun sekarang
sudah tidak bersekolah, hal serupa tetap saya lakukan, terutama ketika akan
keluar rumah untuk sekadar pergi belanja atau bermain ke rumah teman.
Di sekolah, pagi-pagi sekali bapak
ibu guru sudah berjajar di halaman menyambut siswa-siswanya. “Selamat pagi”,
begitu kami saling menyapa sambil berjabat tangan diiringi dengan percakapan singkat
sebelum masuk ke kelas masing-masing. Di kelaspun, saya dan teman-teman juga
mempunyai kebiasaan serupa. Satu per satu teman-teman berdatangan, tak langsung
menuju bangkunya, namun berjabat tangan terlebih dahulu dengan teman-teman lain
yang sudah terlebih dahulu hadir. Kami berjabat tangan ala muda-muda, beberapa
menggunakan fariasi gaya salaman alay
khas genk mereka. Seusai jam pelajaran, siswa-siswa berhamburan menuju gerbang
sekolah diantar bapak ibu guru yang sudah berjajar di halaman. “Selamat siang”,
begitu ujar mereka saat berjabat tangan yang biasanya diiringi pesan hati-hati
di jalan. Hal ini kami lakukan hampir setiap hari.
Saat berkunjung ke rumah orang, hal
pertama yang dilakukan setelah mengucap salam, pastilah berjabat tangan dengan
tuan rumah. Begitu pun ketika akan berpamitan pulang, selalu ditutup dengan
berjabat tangan pula. Hal ini selalu dilakukan pada waktu kapan pun dan saat
berkunjung di rumah siapa pun.
Di masjid, seusai salat berjamaah kami
selalu berjabat tangan. Sore hari menjelang magrib juga terlihat anak-anak
mengantri berjabat tangan kepada ustadz sebagai bentuk terima kasih dan
penghormatan karena sudah mengajari mereka mengaji.
Berjabat tangan juga sering
dilakukan saat memberi ucapan selamat. Selamat ulang tahun, selamat menempuh
hidup baru, selamat atas prestasi yang di raih, atau pun ucapan selamat hari
raya. Nah ini nih, saat umat muslim
merayakan hari raya Idul Fitri, mereka akan saling berjabat tangan. Berjabat
tangan saat Idul Fitri diartikan sebagai tindakan saling memaafkan, biasanya
disertai dengan kata-kata maaf untuk mempertegas maksud itu.
Banyak sekali momen yang
memungkinkan dua orang saling berjabat tangan. Itu tadi kebiasaan berjabat
tangan yang sering saya temui dan alami di Jawa. Berbeda lagi kebiasaan
berjabat tangan yang saya temui di Manggarai.
Kegiatan berjabat tangan di
Manggarai hanya dilakukan pada saat-saat tertentu saja, terutama saat pertama
kali bertemu. Kami berjabat tangan sambil berkenalan mengucapkan nama
masing-masing. Jabat tangan juga dilakukan saat akan berpisah untuk waktu yang
relatif lama dan pemberian ucapan selamat.
Saya ceritakan saat pertama kali
saya berangkat ke sekolah baru saya, SMPK Sinar Ponggeok. Masuk ruang guru
untuk yang pertama kali, tentunya belum saling kenal, maka kami berjabat tangan
sembari berkenalan. Ini hal biasa. Hal yang tidak biasa adalah ketika akan
pulang sekolah. Lonceng jam pelajaran terakhir sudah berbunyi, itu artinya kami
para guru dan siswa-siswa yang tidak tinggal di asrama akan pulang ke rumah
masing-masing. Sambil berkelakar, kami menuju keluar ruangan. Saya sempat
menyodorkan tangan saya kepada salah satu rekan guru yang akan pulang. Namun
sepertinya guru tersebut tidak menyadari dan berlalu hanya dengan ucapan
selamat siang. Dhinar, teman yang satu penempatan sepertinya menangkap niat
saya mengajak berjabat tangan namun dicuekin begitu saja. Diapun berbisik lirih
“Iki salaman ora tho?” berjabat
tangan tidak ya, begitu tanyanya. Sama-sama belum tahu, kami pun tertawa
bersama. Akhirnya kami mengamati satu per satu rekan guru yang meninggalkan
kantor. Ternyata mereka saling berucap salam tanpa saling berjabat tangan. Oh,
pertanyaan terjawab.
Ada lagi cerita ketika saya
berkunjung ke rumah tetangga. Berjabat tangan di awal pertemuan itu biasa.
Namun ketika berpamitan pulang sambil berjabat tangan, apa yang terjadi? Tuan
rumah bertanya kepada kami dengan raut muka agak sedih “Tidak akan berkunjung
ke sini lagi kah?” Oh, rupanya tuan rumah mengartikan jabat tangan kami sebagai
tanda perpisahan. Seperti yang telah saya katakan, salah satu momen jabat
tangan di Manggarai yaitu dilakukan saat akan berpisah untuk waktu yang relatif
lama. Tidak ingin tuan rumah larut dalam salah paham, kami pun segera
menjelaskan kebiasaan kami di Jawa, dan akhirnya tuan rumah mengerti. Kami pun
pulang diantar dengan senyum ramah.
Jika ada dua atau beberapa orang
Manggarai yang berpapasan di jalan kemudian mereka saling berjabat tangan, maka
bisa ditebak, jika bukan pertama kali bertemu, dapat dipastikan bahwa itu
adalah pertemuan pertama setelah sekian lama tidak bertemu.
Ya itulah kebiasaan yang bisa
dikatakan sebagai tradisi. Masing-masing dari kita mempunyai tradisi yang unik,
yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menyesuaikan diri. Ada pepatah ‘di
mana bumi di pijak, di situ langit di junjung’. Mudah-mudahan sesampainya saya
di Jawa nanti, saya tidak lupa akan kebiasaan berjabat tangan yang hampir
setiap hari dilakukan. Bisa-bisa saya dianggap sebagai anak yang kurang ajar
jika saya keluar masuk rumah nyelonong
begitu saja tanpa berjabat tangan dengan ayah dan ibu, atau ketika saya bludhas bludhus bertamu ke rumah orang
tanpa berjabat tangan. Hehehe…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar