Dari Bahasa Menuju Matematika
Hari Senin jam pertama
selepas upacara bendera saya akan mengajarkan materi baru, membaca cepat 200
kata permenit.
Sebelum menuju ke
kelas, saya pastikan bahwa hal-hal yang sudah saya siapkan tadi malam tidak ada
yang terlewat. Saya sudah menyiapkan hal-hal yang menurut saya diperlukan, dari
materi ajar, wacana yang akan dibaca siswa, daftar pertanyaan, serta kunci
jawabannya. Tak lupa juga saya mengecek keberadaan aplikasi stopwatch di ponsel saya yang nantinya
digunakan untuk mengetahui waktu membaca siswa.
Setelah dirasa siap,
saya segera masuk ke kelas VIIB.
“Brak brak,” suara meja yang dipukul oleh ketua kelas mengisyaratkan
anak-anak lainnya untuk serentak memberi salam. “Selamat pagi Bu!” seluruh
kelas menyapaku dengan penuh semangat.
Lalu seperti biasa, saya
jawab salam itu dan saya lontarkan pertanyaan dengan nada penuh semangat pula,
“Selamat pagi. Apa kabar?”
“Luaaar biasaaa!”
anak-anak berseru.
“Bagaimana?” tanyaku
lagi.
“Sukses belajarku! Yes yes yes!” anak-anak bersorai.
Begitulah kira-kira
percakapan kami setiap kali mengawali pembelajaran. Sambutan semangat membara
dari anak-anak tentu saja juga membakar semangat saya. Kemudian setelah
bertanya jawab seputar kabar dan mengecek kehadiran siswa, saya mulai mengajak
mereka pada materi pembelajaran hari ini.
“Anak-anak, pernahkah
kalian membaca cepat?” tanya saya. Seketika keadaan kelas menjadi ramai.
Anak-anak sibuk mencoba membaca dengan cepat apapun kalimat yang ada di sekitar
mereka. “Bla bla bla bla….” suara
gumaman anak-anak mendengung di tiap penjuru kelas. “Cukup cukup cukup,” saya
mencoba menghentikan keributan itu.
Nampaknya mereka penasaran
dengan materi pembelajaran kali ini. Selanjutnya saya menyampaikan bahwa
anak-anak seusia mereka harus mampu membaca dengan cepat minimal 200 kata
permenit. “Waaaaa…..” gumam anak-anak serentak. Tampak sekali ketakutan
mereka, takut bahwa mereka tidak akan bisa mencapai target yang ditetapkan.
Saya hanya tertawa. Seperti biasa, ketika saya melihat ketidakyakinan anak-anak
akan suatu hal, saya langsung melontarkan pertanyaan “Apakah kalian bisa?” dan
anak anak saya wajibkan menjawab “Pasti bisa!”
“Apakah kalian bisa?”
“Pasti bisa!”
“Apakah kalian bisa?”
“Pasti bisa!”
“Apakah kalian bisa?”
“Pasti bisa!”
Saya ulangi sampai
mereka benar-benar yakin atas jawaban mereka. Anak-anakku, yakinlah bahwa kalian bisa! Kalian harus bisa! Dan kalian
PASTI BISA! Pikir saya meyakinkan mereka dalam hati.
Baiklah saya segera
menyampaikan materi, dan setelah dirasa cukup, saya membagikan wacana yang
harus mereka baca. Saya jelaskan bahwa mereka harus memulai membaca setelah
mendengar aba-aba dari saya, begitu juga untuk mengakhiri membaca. Ketika
aba-aba dimulai, suasana kelas kembali menjadi seperti awal pertemuan tadi
ketika saya mengajukan pertanyaan tentang pernahkah mereka membaca cepat. Huh… Suara gumaman mereka membahana
memenuhi ruangan. “Berhenti berhenti
berhenti. Perhatikan!,” saya menghentikan aktivitas mereka dan perhatian
anak-anak tertuju pada saya.
“Anak-anak, kan tadi sudah ibu sudah menjelaskan
bahwa untuk bisa membaca lebih cepat dibandingkan dengan biasanya, kalian harus
membaca dalam hati,” saya mengulangi materi yang tadi sudah saya sampaikan.
Sambil bertanya jawab, saya yakinkan bahwa mereka harus memahami konsep dasar
materi ini.
Nah,
kalau sekarang saya yakin mereka sudah paham. Praktik membaca cepatpun dimulai.
Mereka terlihat sangat berkonsentrasi. Setelah stopwatch di ponsel saya menunjukkan detik ke 60, saya menyuruh
mereka untuk berhenti membaca dan memberi tanda pada kata terakhir yang mereka
baca. Setelah itu saya menyuruh mereka untuk menghitung jumlah kata yang
berhasil mereka baca dan menuliskannya di buku catatan. Kemudian saya
memerintahkan mereka untuk menutup wacana yang baru saja mereka baca. Saya
mengajak mereka untuk menjawab beberapa pertanyaan secara mencongak. Setelah
selesai, kami memeriksa jawaban dengan cara saling tukar dengan teman sebangku.
Tak hanya bertugas
menghitung jumlah jawaban benar, mereka juga saya tugasi untuk menghitung
kecepatan membaca teman mereka dengan menggunakan rumus yang telah saya
berikan, jumlah kata yang dibaca permenit dikalikan dengan jumlah jawaban benar
dibagi jumlah soal.
Sambil menunggu mereka
selesai menghitung, saya mengisi jurnal kelas. Bersama dengan selesainya
mengisi jurnal kelas, saya bertanya kepada anak-anak, “Berapa kecepatan membaca
teman kalian?”
“Belum, Buuu!” jawab
mereka serentak. Ah, mereka selalu
serentak.
Sambil menunggu lagi,
saya melihat daftar absen, berusaha menghafal nama dengan wajah pemiliknya.
Memperhatikan mereka sambil mengingat-ingat nama, saya melihat ada yang janggal
pada mereka. Harusnya mereka asyik menghitung kecepatan membaca teman, tetapi kok malah mereka saling ribut.
“Sudah selesai?”
“Belum, Buuu!” jawaban
yang masih sama dengan pertanyaan tadi.
Lama
sekali, keluh saya dalam hati. Tak ingin berlarut dalam
sebuah kejanggalan, saya beranjak menuju bangku terdekat. Saya melihat satu
halaman buku anak itu menjadi ajang berhitung. Ya ampun, dari sekian banyak
angka-angka yang ada, saya tak melihat ada hasil perhitungan yang tepat. Dengan
penuh rasa heran, saya beralih ke bangku lainnya, hingga saya selesai melihat
seluruh cara berhitung anak-anak saya di kelas ini.
Sekarang saya tahu
jawabannya, mengapa mereka sungguh lama dalam menyelesaikan tugas yang saya
berikan. Meskipun beberapa anak sudah berhasil mengetahui kecepatan membaca
teman mereka, namun ternyata sebagian besar dari mereka kurang mahir dalam
berhitung. Padahal saya pikir rumus menghitung kecepatan membaca ini masih
dalam level dasar.
Hmmm…
Tak ingin menyalahkan siapapun, saya kemudian berinisiatif untuk menerangkan
kepada mereka tentang perkalian dan pembagian. Dimulai dari perkalian bersusun
hingga penyederhanan pecahan.
Sedang asyik-asyiknya
bermain dengan angka, lonceng tanda berakhirnya pembelajaran sudah berbunyi.
Tanpa sempat menutup pembelajaran dengan sempurna, saya hanya mengakhiri dengan
celetukan sederhana, “Besok kita belajar berhitung lagi yaaa…” dan anak-anak
menjawab dengan riangmya, “Iya, Buuu…”
Dalam perjalanan menuju
ruang guru, pikiran saya penuh tanda tanya disertai dengan rasa prihatin. Kalau
keadaannya begini terus, bagaimana nasib mereka di mata pelajaran lain yang
juga perlu hitung-menghitung. Bagaimana bisa mereka mengetahui percepatan maupun
kecepatan suatu benda pada mata pelajaran fisika, atau bagaimana mereka
bisa mengetahui jumlah pajak yang harus
dibayar pada mata pelajaran ekonomi, atau bagaimana mereka bisa menyelesaikan
soal perkalian dan pembagian yang memang menjadi menu utama mata pelajaran
matematika?
Ah,
ini menjadi tugas kita bersama. Salam maju bersama!