STRUKTURALISME
A.
Lahirnya
Strukturalisme
Strukturalimse
lahir dari pergeseran wacana tentang masyarakat dan pengetahuan. Jadi, pada
awalnya strukturalisme adalah sebuah gerakan intelektual yang mendasarkan diri
pada usaha untuk memahami masyarakat sebagai sistem realitas yang menyeluruh
yang ditekankan pada bangunan intelektualnya (Lechte dalam Elmubarok, 2009:55).
Strukturalisme
secara etimologis berasal dari kata structura,
bahasa latin, yang berarti bentuk atau bangunan. Pada perkembangan
selanjutnya menganggap jabaran umum strukturalisme sebagai sebuah gerakan
intelektual yang mengisolasikan struktur umum aktivitas manusia. Strukturalisme
menjadi disiplin yang terus berkembang dan meliputi berbagai bidang, termasuk
sastra, linguistik, anthropologi, sejarah, sosio-ekonomi dan psikologi.
Strukturalisme sastra bersinggungan dengan ranah teks sastra.
Strukturalisme
Saussurean mengenalkan sebuah pengertian tentang struktur Saussure
menitikberatkan praktek-praktek material
adalah car ditemukannya makna struktur yang sebenarnya. Konsep dasar Saussure
menjelaskan bahwa bahasa (langue)
adalah perbedaan dimana sistem sendiri adalah produk perbedaan tersebut.bahasa
hanya bisa bermakna ketika dipahami melalui sistem-sistem bahasa dalam suatu
konfigurasi linguistik atau totalitas perubahan sistem-sistemnya. Untuk
mendapatkan totalitas tersebut harus dilakukan pendekatan bahasa dengan
perspektif sinkronis. Di mana suatu fenomena tekstual hanya bisa ditemukan
melalui pendekatan kekiniannya (sinkronis) ketimbang perkembangan historisna
(diakronis).
B.
Strukturalisme
Levi-Strauss
1.
Levi-Strauss,
Bahasa dan Kebudayaan
Dalam
memandang suatu kebudayaan pada suatu suku bangsa, Levi-Strauss memilih
menggunakan model-model pendekatan linguistik. Ia memandang bahasa dan
kebudayaan bukan menganggap ada hubungan kausalitas antara dua fenomena
tersebut. Namun, hal tersebut dianggap sebagai hasil dari aneka aktifitas yang
pada dasarnya mirip atau sama, yaitu keduanya merupakan produk atau hasil dari
aktifitas nalar manusia.
Di samping itu, secara implisit
Levi-Strauss menganggap teks naratif seperti mitos-mitos dalam masyarakat sejajar
dengan kalimat karena di antara ciri keduanya terdapat kemiripan : (a) Teks
dapat mewujudkan dan mengekspresikan pikiran seorang pengarang seperti kalimat.
(b) Teks dapat diartikulasikan dari bagian-bagian seperti halnya kalimat.
Kalimat dapat diartikulasikan oleh kata-kata yang membentuk kalimat tersebut
dari sebuah teks adalah kumpulan bagian-bagian yang membentuk suatu cerita.
2.
Levi-Strauss
dan Linguistik Struktural
Ketika berbicara tentang
strukturalisme, apalagi strukturalisme Levi-Strauss, kita tidak bisa melepaskan
peran tiga tokoh linguistik besar, Ferdinand de Saussure, Roman Jakobson, dan
Nikolai Troubetzkoy.
Ada lima pandangan Ferdinand de
Saussure yang kemudian menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-Strauss,
yaitu pandangan tentang (a) penanda dan petanda, (b) bentuk dan isi, (c) langue dan parole, (d) sinkronik dan diakronik, serta (e) sintagmatik dan
paradigmatik.
Tanda merupakan satuan dasar bahasa
yang tersusun dari dua relata yang tidak terpisahkan, yaitu citra bunyi (image
accoustique) sebagai unsur penanda (signifiant) dan konsep sebagai petanda
(signifient).
Penanda atau acuan keberadaannya
tidak bersifat fisik, melainkan bisa saja berupa buah pikiran tertentu, suatu
sosok di alam mimpi, atau mungkin makhluk khayali. Apabila acuan adalah suatu
objek yang ditunjuk oleh tanda, maka petanda adalah semata-mata sebuah
representasi mental dari apa yang diacu tersebut (Barthes, 1971:42-44;
Saussure, 1966:66-67; Budiman 2004:47 dalam Elmubarok 2009: 60). Kedua elemen
tanda ini sungguh-sungguh menyatu dan saling bergantung satu sama lain. Penanda
dan petanda dapat dibedakan, tetapi pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan.
Tiada petanda tanpa penanda dan begitu juga sebaliknya. Kombinasi dari konsep
dan citra bunyi inilah yang kemudian menghasilkan tanda.
a.
Bentuk
(Forme) dan Isi (Content)
Forme
atau bentuk dan isi atau content oleh Gleason (dalam Elmubarok, 2009:61)
diistilahkan dengan exdpression dan content.baginya bentuk dan isidianggap
berwujud bunyi dan idea. Namun bagi Saussure membandingkan formed an content
dengan permainan catur, yaitu papan dan biji dianggap tidak terlalu penting.
Dalam permainan yang penting yaitu fungsinya yang dibatasi dan keberadaan
aturan permainannya. Sedang Ahimsa-Putra (dalam Elmubarok 2009:61) membedakan
antara formed dan content dengan memberikan contoh kereta api. Aktifitas kereta
api contohnya ketika hari senin menaiki kereta A dari Bandung ke Jakarta lalu
pada hari selasa kita menaiki kereta A dari Jakarta ke Bandung. Dua aktifitas
itu bisa dikatakan menaiki kereta yang sama, namun boleh jadi lokomotif dan
gerbongnya berbeda. Begitu pula halnya dengan kata-kata. Setiap kata mempunyai
makna yang berbeda pada setiap penggunya. Walaupun demikian kata tersebut
tetaplah satu atau sama.
b.
Bahasa
(Langue) dan Ujaran atau Tuturan (Parole)
Langue adalah
bahasa sebagai objek social yang murni dan keberadaanya terletak diluar
individu. Bahasa merupakan seperangkat konvensi sistematik yang berperan
pentiung dalam komunikasi, yang merupakan institusi social yang otonom yang
tidak terikat pada tanda-tandabahasa juga merupakan system social. Sebagai
system social bahasa tersusun sejumlah elemen yang sekaligus merupakan
ekuevalen dari kuantitas benda-benda. Dapat dianalogikan sebagai mata uang
logam. Selain bernilai sejumlah barang tertentu disisi lain uang tersebut
memiliki nilai dengan mata uang logam lainnya.(Barthes. 1971:14; Budiman, 2004:
39; Saussure 1961:114 dalam Elmubarok 2009: 62).
Sedang
parole merupakan bagian bahasa yang
sepenuhnya individu. parole dapat dipandang sebagai kombinasi yang
memungkinkan penutur mampu menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan pikiran
pribadinya.
c.
Sinkronik
dan Diakronik
Istilah
ini berasal dari Yunani dengan awalan sin-
dan dia- masing-masing berarti
bersama dan melalui. Bagi Saussure, linguisitik harus memperhatikan sinkronik
sebelum diakronik. Lingusitik sinkronik mempelajari bahasa tanpa mempersoalkan
waktu. Dalam hal ini yang menjadi perhatian yaitu bahasa Majapahit, bahasa Jawa pada msa kerajaan Demak dan lain-lain.
Studi sinkronik lebih bersifat horisontal, yang lebih tertuju pada pada satu
bahasa pada suatu periode.
Linguistik
diakronik subdisiplin ilmu linguistik yang menyelidiki suatu perkembangan suatu
bahasa dari waktu ke waktu (Sobur dalam Elmubarok, 2009:63). Bahasa dapat
dipandang dari dua sudut pandang, yaitu bahasa sebagai system yang berfungsi
pda sat tertentu dan sekaligus dapat menyoroti perkembangannya.
d.
Sintagmatik
dan Paradigmatik
Relasi-relasi
sintagma sering disebut sebagai relasi linier karena tuturan selalu
diekspresikan sebagai suatu rangkaian tanda-tanda verbal dalam dimensi waktu.
Sedang dalam relasi paradigmatik setiap tanda berada dalam kodenya sebagaiu
bagian dari suatu paradigma. Keterkaitan tersebut bisa saja didasarkan atas
kesamaan dan juga perbedaan sebelum tanda-tanda muncul dalam tuturan. Dengan
kata lain kata-kata tertentu secara potensial saling berasosiasi di dalam
rangkaian memori, di dalam benak, sebagai bagian dari gudang batiniah yang
membentuk bahasa masing-masing penutur.
3.
Roman Jakobson dan Fonem
Jika
Saussure lebih banyak mempengaruhi Levi-Strauss tentang hakikatdari cirri-ciri
fenomena budaya, maka Jakobson dengan linguistic strukturalnya lebih memberikan
kepada Levi-Strauss tentang bagaimana memahami dan menangkap tatanan yang
berada di balik tatanan budaya yang begitu variatif . Pandangan Jakobson yang
menganggap fonem sebagai satuan bunyi yang terkecil dan membedakan makna, yang
tak dapat bervariasi tanpa mengubah kata di mana fonem tersebut berada atau
dengan kata lain fonem adalah unsure terkecil yang membedakan makna. Fariasi
fonemis dalam ajaran Jakobson dianggap penting perbedaan fonem tersebut lebih
Nampak jika kita tempatkan dalam konteks yang lebih luas yaitu fonem-fonem yang
sama relasinya dengan fonem yang lain pada system bahasa tertentu.
Langkah-langkah analisis structural yang dilakukan oleh Jakobson atas fonem
antara lain :
a. Mencari
distinctive features (cirri pembeda)
yang membedakan tanda-tanda kebehasaan satu dengan yang lainnya.
b. Memberikan
cirri menurut features tersebut pada
masing-masing istilah.
c. Merumuskan
dalil-dalil sintagmatis mengenai istilah –istilah kebahsaan mana yang dapat
berkombinasi dengan tanda-tanda kebahasaan tertentu lainnya.
d. Menentukan
tanda-tanda yang penting secara paradigmatic.
4. Nikolai Troubetzkoy dan Analisis Struktural
Nikolai
Troubetzkoy merupakan seorang ahli fonologi dari Rusia. Kajian fonem dalam
pandangannya adalah suatu konsep linguistik dan bukan konsep psikologis,
artinya ide tersebut berasal dari ahli bahasa dan bukan diambil dari pemakai
bahasa karena fonem tersebut tidak diketahui oleh mereka.
Berkenaan
dengan fenomena kebahasaan, Levis Strauss mengutip bahwa Troubetzkoy mengatakan
bahwa analisis struktural dalam fonologi memerlukan: (1) Beralih dari tataran
yang disadari ke nirsadar; (2) Memperhatikan relasi-relasi antaristilah atau
antarfonem tersebut dan menjadikan dasar analisisnya; (3) Memperhatikan
sistem-sistem fonemis, dan (4) Merumuskan hukum gejala bahasa yang mereka
teliti.
C. Makna, Struktur, dan Transformasi Levi-Strauss
Struktur
adalah suatu model yang dikembangkan oleh antropologi untuk memahami dan
menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya dan tidak ada kaitannya dengan
fenomena empiris kebudayaan itu sendiri. Struktur dibedakan atas dua bagian,
yaitu struktur luar dan struktur dalam. Struktur luar dalah relasi-relasi antar
unsur yang dapat kita buat atau bangun berdasarkan ciri-ciri luar atau
ciri-ciri empiris dan relasi-relasi tersebut. Sedangkan struktur dalam adalah
sususnan tertentu yang dibuat berdasarkan struktur lahir yang berahasil dibuat
namun tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang kita pelajari.
Jika
struktur dianggap sebagai jalan untuk memahami fenomena budaya, maka
transformasi dalam pengertian Levi-Strauss adalah alih rupa yang mengandung makna transformasi hanya perubahan yang
terjadi di permukaan saja, sedangkan pada tataran yang lebih dalam lagi tidak
terjadi perubahan (Elmubarok, 2009:68).
Selain
transformasi pada bahasa, transformasi yang paling dekat dengan antropologi
struktural adalah pada musik. Dari musik yang didengar dapat ditulis dalam
bentuk not-not. Dari not-not itu pemusik memainkan musik yang tidak lain adalah
menerjemahkan musik tersebut kemudian lahir suara-suara yang didengar dan
direkam , itulah yang disebut dengan tranformasi.
Dalam
pandanganLevi-Strauss struktur
kebudayaan dianggap seperti transformasi dari struktur-struktur tertentu atau
bisa sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam meneliti kebudayaan dapat
mengikuti urutan-urutan tranformasi sebagai satu kesatuan, untuk menentukan
struktur dari fenomena yang diteliti.
a.
Levi-Strauss
dan Beberapa Asumsi Dasar
Beberapa
asumsi dasar yang dianut oleh Levi-Strauss yang berbeda dengan para ahli
antropologilainnya, yaitu:
1. Strukturalisme
beranggapan bahwa berbagai aktivitas sosial dan hasilnya seperti
upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal
dan sebagainya dapat dikatakan seperti bahasa (Lane dalam Elmubarok 2009:69) yang menerapkan tanda dan simbol yang
menyampaikan pesan-pesan tertentu.
2. Pada
diri manusia terdapat suatu kemampuan dasar untuk menyusun struktur pada
gejala-gejala yang dihadapinya. Dengan kemampuan dasar itu manusia dapat
melihat struktur di balik berbagai macam gejala atau fenomena kebudayaan.
Struktur tersebut dibedakan atas dua bentuk, yaitu struktur luar dan struktur
dalam. Jika struktur luar dapat disadari oleh pelakunya, sedangkan struktur
dalam tidak disadari oleh pelakunya atu disebut dengan nirsadar.
3. Suatu
istilah ditentukan maknanya berdasarkan relasi-relasi pada titik waktu tertentu
secara sinkronis. Jika dalam menjelaskan suatu gejala sosial, strukturalisme
tidak mengacu pada sebab-sebab yang merupakan hubungan relasi diakronis, tetapi
mengacu pada relasi sinkronis yaitu berupa hukum-hukum transformasi.
Transformasi yang dimaksudkan bukan perubahan yang berkonotasi historis tetapi
suatu proses olah-rupa.
4. Relasi-relasi
pada struktur dapat disederhanakan menjadi oposisi berpasangan yang terdiri
atas dua bentuk. Pertama, oposisi binear yang bersifat eksklusif, misalnya
oposisi antara ‘p’ dan-p’ atau menikah dan tidak menikah. Kedua adalah oposisi
binear yang tidak bersifat eksklufif yang ditemukan dalam berbagai kebudayaan,
misalnya oposisi antara air-api, siang-malam, matahari-rembulan, dan
sebagainya.
3. Levi-Strauss dan Mitos
a.
Mitos
dan Nalar Manusia
Prinsip
dasar manusia bisa diketahui melalui nalar manusia. Jika prinsip nalar itu
dicari pada kalangan orang Barat, maka bukan orang-orang yang sudah modern,
tetapi pada orang-orang yang masih primitif yang belum terkontaminasi oleh
modernitas. Orang-orang sepeti ini ditemukan di belantara hutan Amerika
Selatan. Berbagai fenomena budaya muncul sebagai perwujudan nalar, tetapi tidak
semua fenomena dapat dianalisis dengan
cara tertentu untuk dapat menemukan strukturnya, maka yang sesuai adalah mitos.
Mitos
dalam pandangan Levi-Strauss tidak beda dengan sejarah atau kenyataan, karena
sesuatu yang oleh masyarakat tertentu dianggap benar-benar terjadi sesuai
kenyataan, sebenarnya hanya dongeng yang tidak masuk akal. Dengan demikian
mitos menutut Levi-Struss adalah dongeng.
Dongeng
sebagai mitos dalam konteks Levi-strauss mengandung pengertian sebuah cerita
yang lahir dari imajinasi manusia berupa cermin dari kehidupan sehari-hari.
Karena bersifat imajinatif, maka dongeng merupakan ekspresi bebas manusia
sehingga yang terjadi adalah cerita yang tidak masuk akal.
b.
Mitos
dan Bahasa
Levi-Strauss
menganalisis mitos dengan menggunakan model-model dari linguistik didasarkan
terutama pada persamaan-persamaan yang tampak antara mitos dan bahasa.
Persamaan bahasa dan mitos yang dilihat oleh Levi-Strauss adalah:
1. Bahasa
adalah sebuah media, alat atau sarana untuk komunikasi, untuk menyampaikan
pesan kepada orang lain.
2. Mengikuti
pandangan Saussure bahwa bahasa mempunyai dua aspek yaitu langue dan parole.
Bahasa
sebagai suatu langue berada dalam
waktu yang terbalik, karena dia terlepas dari perangkap waktu yang diakronis,
tapi bahasa sebagai parole tidak dapat terlepas dari perangkap waktu ini,
sehingga parole oleh Levi-Strauss dianggap berada dalam waktu yang tidak
berbalik. Jika parole sebagai salah satu aspek dari bahasa tidak dapat terlepas
dari perangkap waktu, maka mitos berada pada reversible time, yakni waktu yang terbalik. Pola-pola mitos
menjelaskan apa yang terjadi di masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan
datang.
c.
Mitos
dan Musik
Mitos
dan musik bekerja melalui penyesuaian dua jenis kisi : kisi internal dan kisi
eksternal. Kisi internal terdiri atas irama-irama visceral, seperti inner,
alami atau natural, yang merupakan fungsi dari otak manusia. Kisi eksternal
atau kultural mengacu pada diskontinuitas yang sudah ada sejak semula, yaitu
dari suara-suara musik yang telah sepenuhnya menjadi objek budaya. Pada
dasarnya antara mitos dan musik adalah bahasa. Namun keduanya melebihi bahasa
lisan karena makna mitos tidak dapat dipahami kata demi kata.
Mitos
bekerja di atas dua kontinum dengan dua aspek. Satu aspek bersifat eksternal,
yang berupa barbagi peristiwa bersejarah atau dianggap bersejarah, yang
membentuk suatu kontinum yang tidak terbatas. Dari kontinum ini masyarakat
mengambil sejumlah peristiwa dan menggubahnya menjadi mitos mereka. Aspek
internal meliputi perioditas yang berada pada otak manusia, irama-irama
organisme tubuh manusia, kekuatan ingatan serta kekuatan orang yang
mendengarkan.
d. Analisis Structural Mitos
Analisis strukturl juga diilhami oleh teori
komunikasi. Dalam teori komunikasi mitos merupakan kisah yang mengandung pesan.
1. Mencari Miteme
Miteme adalah unsur-unsur konstruksi wacana
mitis yang juga merupakan satuan kosokbali, relative dan negatif.
Setiap mitos dapat dipenggal menjadi
segmen/peristiwa-peristiwa. Setiap segmen harus memperlihatkan relasi
antarindividu yang merupakan tokoh dalam sebuah cerita/ menunjuk status
individu di situ.
Dalam sebuah kisah (mitos), makna tidak
ditunjukkan secara lugas melainkan menunjukkan pandangan mengenai dunia,
masyarakat dan sejarahnya.
2. Menyusun Miteme
Mitos memiliki waktu mitologis yang bisa
berbalik / tidak, revesible/ nonrevessible, sinkronis/diakronis/sindiakronis,
untuk itu miteme yang ada harus disusun agar dapat menemukan pesan yang
diharapkan.
Analisis Struktural
terhadap Mitos-mitos
1. Levi Strauss dan Kisah Oedipus
Beberapa miteme yang ditemukan :
a.
Kadmos mencari Eropa, saudara perempuannya yang dilarikan oleh Zeus
b.
Kadmos membunuh naga
c.
Orang-orang Spartoi yang muncul dari
bumi (Gigi naga yang disebarkan di tanah) hasil dari dan saling membunuh
d.
Oedipus membunuh ayahnya, Laios
e.
Oedipus membunuh Spinx (sebenarnya Spinx bunuh diri karena Oedipus bisa
menjawab teka-tekinya)
f.
Oedipus mengawini ibunya sendiri
g.
Eteokles membunuh Polyneikes, saudara laki-lakinya
h.
Antigone mengubur Polyneikes meski dilaran
Levi Strauss juga menemukan tokoh dengan nama
yang khas
a.
Labdakos (lumpuh)
b.
Laois (pincang)
c.
Oedipus (kaki yang bengkak)
Miteme tersebut disusun kemudian menunjukkan relasi-relasi
yang dapat ditunjukkan secara langsung maupun tersirat dalam rupa :
a.
Relasi antar manusia, hewan, dan mahkluk supranatural
b.
Relasi antar kategori makanan
c.
Relasi antar suara dan kesenyapan
d.
Relasi antar bau dan rasa
e.
Relasi antar jenis pakaian
f.
Relasi antar fungsi tubuh
g.
Relasi antar perubahan musim dan cuaca
Dengan demikian mitos mampu memperlihatkan
berbagai bentuk symbol yang mengalami transformasi yang mengikuti aturan-aturan
logika tertentu
2. Levi Strauss dan Mitos-mitos Indian Amerika
Dalam cerita Baroro : asal muasal penyakit
Levi menyimpulkan penguburan merupakan proses
peralihan dari hidup kekematian. Demikian juga dengan penyakit, kedaan sakit
yang ditimbulkan oleh penyakit adalah keadaan di antara hidup dan mati.
3. Mitos dan Sinkretisasi Islam di Jawa
Sinkretisme (adaptasi) adalah upaya untuk
mengolah, menyatukan, mengkombinasikan, dan menyelelaraskan duat atau lebih
system prinsip yang berlainan atau berlawanansedeemikinan rupa sehingga
terbentuk suatu system prinsip baru yang berbeda dengan prinsip-prinsip
sebelumnya.
o Babad Tanah Jawi menyatakan bahwa para nabi,
para dewata, tokoh-tokoh pewayangan dan raja raja Jawa, semuanya berasal dari
Nab Adam yang diyakini sebagai nenek moyang manusia dan nabi yang
pertama.(dengan menggabungkan tokoh pewayangan dalam system silsilah dengan
para nabi yang berasal dari budaya Islam dan raja-raja Jawa, orang Jawa lantas
dapat menggabungkan elemen kjedua budaya tersebut)
o Kisah jimat Kalimasada (sebenarnya merupakan
kisah rekaan dhalang sendiri). Dalam kisah ini menyebutkan masuknya Yudistira
dalam agama Islam. Kisah ini merupakan wujud suatu upaya untuk menggabungkan
mitos Hindu-Jawa dan mitos sufi Jawa untuk menunjukkan peralihan dari agama
Hindu ke Agama Islam.
o Mitos Nyai Roro Kidul yang menikah dengan raja
jawa, dan raja ini akan memantakan Islam sebagai agama kerajaan. Maka tokoh
dari dunia lelembut ini bisa menjadi simbol bahwa unsur pra Islam tidak lagi
bertentangan dengan Islam, bahkan elemne elemen pra Islam mendukung dan
mensahkan kehadiran elemen-elemen Islam.
Etnosains dan Etnometodologi : Sebuah
Perbandingan
Etno
berarti folk, maksudnya dalam pendekatan ini seorang peneliti berusahauntuk
memahami dan menjelaskan pandangan-pandangan mereka tanpa menilai baik dan
buruk atau salah dan benar. Sains menjelaskan pada hal hal yang pasti dan sudah
jadi, sedangkan metodologi merupakan metode, cara-cara, namun tidak
bnerpengaruh padda hal-hal penilaian. Keduanya tidak menuju kea rah baik dan
buruk namun lebih menekankan pada kaitannya dengan masalah yang ingin
dipecahkan.
1.
Etnosains
Dalam aliran antropologi aliran etnosains
merupakan pendekatan dengan metode baru namun dasarnya bukan merupakan hal yang
baru. Dalam membandingkan kebudayaan-kebudayaan di belahan dunia, terdapat
beberapa masalah yang kadang tidak disadari oleh masyarakat kemudian muncul dan
menjadi penghambat bagi studi perbandingan budaya tersebut.
Tiga masalah dalam studi perbandingan budaya
(Goodenough) :
a.
Ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat para
ahli antropologi.
b.
Masalah sifat data. Seberapa jauh data yang tersedia benar-benar dapat
dibandingkan, data tersebut melukiskan gejala yang sama dalam masyarakat yang
berbeda.
c.
Perbedaan klasifikasi data oleh tiap ahli
Dua ahli yang memiliki konsep yang sama dapat
berlainan dalam menggunakan konsep itu untuk masyarakat yang diteliti.
Masalah-masalah
yang dihadapi oleh para ahli antropologi dalam pelukisan kebudayaan mendorong
mereka untuk menemukan formula yang tepat. Linguistik kemudian menjadi salah
satu alternatif yang ditemukan, pendekatan secara fonemik dan fonetik. Fonemik
menggunakan cara penulisan bunyi bahasa menurut cara yang digunakan oleh
pemakai bahasa, sedangkan fonetik memakai simbol-simbol bunyi bahasa yang ada
pada peneliti (Ahli bahasa) atau Alphabet Fonetica, contoh penulisan yang
berbeda untuk kata teras yang berarti pekarangan rumah (teras) dan inti atau
pejabat teras ( tȏras). Masalah yang timbul kemudian dari pemakaian model
linguistik adalah mengharuskan peneliti untuk menguasai bahasa setempat.
Masalah-masalah
antropologi dapat digolongkan menjadi tiga yang bertitik tolak pada definisi
kebudayaan yaitu :
a. Kebudayaan
sebagai ‘forms of things that people have in mind’.
b. Kebudayaan
yang terpenting adalah aturan-aturan.
c. Kebudayaan
sebagai alat atau sarana yang dipakai untuk ‘perceiving’ dan ‘dealing with
circumstances’, yang berarti alat untuk menafsirkan berbagai macam gejala yang
ditemui.
Tiga
macam arah penelitian ini disebut sebagai alairan etnosains. Kata Ethnosience
berasal dari kata yunani ethnos yaitu bangsa dan kata latin scientia yaitu
pengetahuan (Werner dan Fenton dalam Elmubarok, 2009:80). Definisi Etnosains
adalah pengetahuan yang ada atau dimiliki suatu bangsa atau suku bangsa
tertentu atau subkultur tertentu.
2. Etnometodologi (Etmotodology)
Dasar etnometodologi adalah
konsepnya tentang natural attitude, yang menghubungkan filsafat fenomonologi
dengan sosiologi. Konsep ini pengetengahkan bahwa Ego yang berada dalam situasi
tertentu biasanya menggunakan penalaran yang sifatnya praktis. Ego tidak
mempertanyakan lagi secara detail apa yang ada disekitarnya karena dia
menganggap bahwa apa yang dihadapinya tidak berbeda dengan hal yang sama yang
telah ditemuinya kemarin atau dulu (Phillipson dalam Elmubarok 2009:81).
Natural
attitude aatu commensence reality dibedakan menjadi dua ; theorical attitude
dan mythical religious attitude (Husserl). Yang kemudian konsep Husserl
dilanjutkan dan diterapkan oleh Schutz dalam ilmi sosial. Dan menurutnya konsep
intersubjektif adalah adfanya timbal balik perspektif, di mana mencakup dua
macam idealisasi (Phillipson dalam Elmubarok, 2009:82)
a. Pertama,
interchangability of view points
b. Kedua
congruence of system of relevance
Definisi
etnometodologi menurut Garfinkel :
a. Kegiatan-kegiatan
interaksi sehari-hari mempunyain sifat sistematis dan terorganisir bagi
orang-orang yang terlibat didalamnya.
b. Menekankan
pada perbedaan antara ekspresi yang sifatnya objketif dan indeksikal
Tujuan
etnometodologi adalah mencari dasar-dasar yang mendukung interaksi sosial, atau
dengan kata lain etnometodologi berusaha mendapatkan basic rule-nya, yaitu
‘resource we employ in our mutual construction and regociation of our everyday
practical activities’ (Phlillipson dalam Elmubarok 2009: 82).
6. Analisis Strukturalisme dan James Bond
Strukturalisme sebagai sebuah metode
mempunyai sedikit kedekatan dengan analisis budaya populer, meskipun anggapan
tersebut tidak sampai sepenuhnya pada seluruh penulis. Eco termasuk dalam
lingkup yang setuju pada peranggapan itu, melakukan kajian strukturalisme
terhadap novel-novel James Bond karya Ian Flemming. Dalam kajian ini Eco
menitikberatkan perhatiannya dalam mengungkap aturan-aturan invarian yang
mengatur budaya naratif dari novel tersebut sehingga menjadi novel populer dan
memiliki daya tarik pada khalayak. Dalam kajiannya Eco berusaha untuk
mengkonstruk beberapa seri oposisi. Oposisi-oposisi tersebut dapat dikombinasi
ulang serta bersifat langsung dan universal, seperti posisi binernya
Levi-Strauss dalam kajiannya terhadap mitos kekerabatan dan sistem perkawinan
di pedalaman Brazil. Eco memandang struktur naratif novel-novel tersebut
mempresentasikan suatu variasi modern pada tema universal pertarungan antara
baik dan jahat.
DAFTAR
PUSTAKA
Elmubarok,
Zaim. 2009. Pengantar Ilmu Kebudayaan. Semarang:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar