PENGANTAR
PANTUN
PANTUN adalah genre kesusasteraan tradisional Melayu yangberkembang di seluruh
dunia khususnya di Nusantara sejak ratusan tahun lampau.Pantun adalah simbol
artistik masyarakat Nusantara dan ia adalah lambang kebijaksanaan berpikir.
Pantun sering dijadikan sebagaialat komunikasi. Pantun bersifatringkas,
romantik dan mampu mengetengahkan aspirasi masyarakat dengan lebih jelas.Ia
begitu sinonim dengan pemikiran dan kebudayaan masyarakat nusantara danMalaysia.
Di Nusantara, pantun wujud dalam 39 dialek
Melayu dan 25 bukan dialek.Pantun juga didapati turut berkembang di selatan
Burma,Kepulauan Cocos, Sri Lanka,Kemboja, Vietnam serta Afrika Selatan(kerana
pengaruh imigran dari Indonesia danMalaysia).Pantun di Malaysia dan Indonesia
telah ditulis sekitar empat abad lalu.Malah, ia mungkin berusia lebih tua
daripada itu seperti tertulis dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu.
Menyedari kepentingan pantun dalam memartabatkanbudaya Melayu, Jabatan Kebudayaan,
Kesenian dan Warisan Negara di Kementerian.Za'ba dalam bukunya Ilmu
Mengarang Melayu menjelaskan,
"Perkataan pantunitu pada mulanya dipakai orang dengan makna
seperti atau umpama." Ada pendapatmengatakan perkataan pantun adalah daripada
bahasa Minangkabau iaitu panuntun
yang bermaksud pembimbing atau penasihat
yang berasaskan sastera lisan dalampengucapan pepatah dan petitih yang popular
dalam masyarakat tersebut. Sehingga hari ini, pantun sering digunakan dalam
upacara peminangan danperkahwinan atau sebagai pembuka atau penutup bicara
dalam majlis-majlis rasmi.Umumnya terdapat dua jenis utama pantun iaitu pantun
berkait dan pantun tidakberkait.Bilangan
baris dalam setiap rangkap pantun dikenali sebagai kerat. Lima bentukutama
pantun ialah pantun dua kerat, pantun empat kerat, pantun enam kerat,
pantunlapan kerat dan pantun dua belas kerat. Pantun yang popular digunakan
ialah pantundua kerat dan empat kerat.Setiap pantun mesti mempunyai pembayang
dan maksud pantun. Pembayang dalam setiap rangkap adalah separuh pertama
daripadakeseluruhan jumlah baris dalam rangkap berkenaan. Separuh kedua dalam
setiap rangkap pantun pula ialah maksud atau isi pantun. Antara ciri-ciri
lain yang ada dalam sebuah pantun ialah pembayangnyamempunyai hubungan yang
rapat dengan alam dan persekitaran yang rapat denganpengucapnya seperti yang
terdapat dalam contoh pantun dua kerat berikut:Sebab pulut santan terasa,Sebab
mulut badan binasaRima pantun yang baik berakhir dengan ab,ab bagi
pantun empat kerat dan a,a bagi
pantun dua kerat. Selain daripada pembayang, maksud dan rima, pantun
jugaterikat dengan hukum suku katanya. Bagi pantun Melayu, suku kata untuk
setiap barisialah antara lapan hingga dua belas suku kata sahaja.Melalui
bentuknya yang kemas dan padat, pantun berjaya menjadi alat yangpenting untuk
menghibur, memberi nasihat, menduga akal, meluahkan perasaan danmenyedapkan
cakap. Pantun turut berfungsi sebagai media untuk menyampaikanhasrat yang seni
atau rahsia yang tersembunyi melalui penyampaian yang berkias.Orang melayu mencipta
pantun untuk melahirkan perasaan mereka secaraberkesan tetapi
ringkas,kemas,tepat dan menggunakan bahasa yang indah-indah.Padazaman dahulu
kala masyarakat melayu belum lagi pandai menulis dan membaca.Hal inidemikian
kerana, masyarakat Melayu pada waktu itu belum lagi bertamadun. Keadaanini
telah membuktikan bahawa orang melayu sebelum tahu menulis dan membaca
telahpandai mencipta dan berbalas-balas pantun antara satu sama lain.Keadaan
inimembolehkan kita menganggap pantun itu sebagai pusaka orang melayu sejak
turun-temurun lagi yang menjadi identiti masyarakat melayu bak kata pepatah tak
kenalmakatak cinta.pantun tetap dipertahankan oleh orang melayu walaupun zaman
telahberubah.
Menurut kajian bahawa pada abad yang ke-17 barulah sempurnabentuk,isi,maksud
dan alasan pantun itu.Keadaan ini dapat dibuktikan di dalam rencanaHamzah
Fansuri yang telah meninggal dunia dalam tahun 1630.Pantun pada mulanya adalah
senandung atau puisi rakyat yang dinyanyikan.Dalam kesusasteraan, pantun
pertama kali muncul dalam
Sejarah Melayu dan hikayat-hikayat popular yang sezaman. Kata
pantun sendiri mempunyai asal-usul yang cukuppanjang dengan persamaan dari
bahasa Jawa yaitu kata parik
yang berarti pari,
artinyaparibasa atau peribahasa dalam bahasa
Melayu. Erti ini juga berdekatan denganumpama dan seloka yang berasal dari
India.Sedangkan kata pantun sendiri menurut Dr. R. Brandstetter,
seorangberkebangsaan Swiss yang ahli dalam perbandingan bahasa berkata bahwa
pantun berasal dari akar kata tun, yang
terdapat dalam berbagai bahasa Nusantara, misalnyadalam bahasa Pampanga,
tuntun berarti teratur; dalam bahasa Tagalog
tonton berarti bercakap menurut aturan
tertentu; dalam bahasa Jawa Kuno, tuntun berarti benangdan atuntun yang
berarti teratur dan matuntun yang berarti
memimpin; dalam bahasaToba pantun berarti kesopanan atau kehormatan. Dalam
bahasa Melayu, pantun berartiquatrain, yaitu sajak berbaris empat, dengan rima
a-b-a-b. Sedangkan dalam bahasaSunda, pantun berarti cerita panjang yang
bersanjak dan diiringi oleh muzik.Menurut R. O. Winstedt yang setuju dengan
pendapat Brandstetter mengatakanbahwasannya dalam bahasa Nusantara, kata-kata
yang mempunyai akar kata yang berarti baris,
garis´, selanjutnya akan mempunyai arti yang baru yaitu ³kata-kata
yangtersusun´ baik dalam bentuk prosa maupun puisi.
Ada satu perkara yang menarik yang kemudian telah diselidiki oleh beberapa
orangsarjana, yakni mengenai ada tidaknya hubungan semantik {makna} antara
pasanganpertama dengan pasangan kedua pada sebuah pantun. Sebagai contoh adalah
pada pantun berikut:
Telur itik
dari Sanggora
Pandan terletak
dilangkahia
Darahnya titik
di Singapura
Badannya
terlantar ke Langkawi
Dari pantun di atas menurut Pijnapple dalam satu kertas kerja yang
dibacakan didepan Kongres Sarjana Ketimuran VI di Leiden, pada tahun 1883
mengatakan bahwa antara pasangan pertama {biasa disebut sampiran} dan pasangan
kedua {biasa disebutisi} mempunyai suatu hubungan yang erat.Pijnapple, dalam analisisnya
pada pantun di atas mengatakan bahwa Sanggorayang terletak di pantai timur
Malaya {dekat Siam} sangat jauh letaknya. Tetapi tikar pandan yang
terletak di depan kita sangat dekat. Seluruh pantun ini menunjukkanbahwa
pembunuhan terjadi jauh dari tempat perkuburan. Tetapi menurut Ch. A. vanOphuijsen
bahwa mencari hubungan antara kedua pasangan itu adalah pekerjaan yangsia-sia
belaka. Karena ia kemudian memberikan contoh pada suatu pantun yangdirasanya
sama sekali tidak mempunyai hubungan antara pasangan yang pertamadengan
pasangan yang kedua. Pantunnya adalah sebagai berikut:
Satu, dua,
tiga, enam
Enam dan satu
jadi tujuh
Buah delima
yang ditanam
Buah berangan
hanya tumbuh.
Pantun ialah
puisi lama yang terikat oleh syarat-syarat tertentu (jumlah baris, jumlah suku
kata, kata, persajakan, dan isi).
Ciri-ciri
pantun adalah
a. Pantun terdiri dari sejumlah baris yang selalu genap yang merupakan satu
kesatuan yang disebut bait/kuplet.
b. Setiap baris terdiri dari empat kata yang dibentuk dari 8-12 suku kata
(umumnya 10 suku kata).
c. Separoh bait pertama merupakan sampiran (persiapan memasuki isi pantun),
separoh bait berikutnya merupakan isi (yang mau disampaikan).
d. Persajakan antara sampiran dan isi selalu paralel (ab-ab atau abc-abc
atau abcd-abcd atau aa-aa)
e. Beralun dua
Berdasarkan
bentuk/jumlah baris tiap bait, pantun dibedakan menjadi
a. Pantun
biasa, yaitu pantun yang terdiri dari empat baris tiap bait.
b. Pantun
kilat/karmina, yiatu pantun yang hanya tersusun atas dua baris.
c. Pantun berkait, yiatu pantun yang tersusun secara berangkai,
saling mengkait antara bait pertama dan bait berikutnya.
d. Talibun, yaitu pantun yang terdiri lebih dari empat baris tetapi
selalu genap jumlahnya, separoh merupakan sampiran, dan separho lainnya
merupakan isi.
e. Seloka, yaitu pantun yang terdiri dali empat baris sebait tetapi
persajakannya datar (aaaa).
Berdasarkan
isinya, pantun dibedakan menjadi
a. Pantun
anak-anak
- pantun bersuka cita
- pantun berduka cita
b. Pantun muda
- pantun perkenalan
- pantun berkasih-kasihan
- pantun perceraian
- pantun beriba hati
- pantun dagang
c. Pantun tua
- pantun nasihat
- pantun adat
- pantun agama
d. Pantun
jenaka
Pantun Jenaka adalah pantun yang bertujuan
untuk menghibur orang yang mendengar, terkadang dijadikan sebagai media untuk
saling menyindir dalam suasana yang penuh keakraban, sehingga tidak menimbulkan
rasa tersinggung, dan dengan pantun jenaka diharapkan suasana akan menjadi
semakin riang. Contoh:
Di mana kuang hendak bertelur
Di atas lata dirongga batu
Di mana tuan hendak tidur
Di atas dada dirongga susu
e. Pantun
teka-teki
f. Pantun
Kepahlawanan
Pantun
kepahlawanan adalah pantun yang isinya berhubungan dengan semangat kepahlawanan
Adakah perisai bertali rambut
Rambut dipintal akan cemara
Adakah misai tahu takut
Kamipun muda lagi perkasa
Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Dalam bahasa
Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan, dalam bahasa
Sunda dikenal sebagai paparikan, dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa).
Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan),
setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a).
Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun
yang tertulis.
Semua bentuk
pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam
(mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya
hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan
rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun
tersebut.
Karmina dan talibun merupakan bentuk kembangan pantun, dalam artian memiliki bagian sampiran
dan isi. Karmina merupakan pantun "versi pendek" (hanya dua baris),
sedangkan talibun adalah "versi panjang" (enam baris atau lebih).
Peran pantun
Sebagai alat pemelihara bahasa, pantun berperan
sebagai penjaga fungsi kata
dan kemampuan menjaga alur berpikir. Pantun melatih seseorang berpikir tentang
makna kata sebelum berujar. Ia juga melatih orang berpikir asosiatif, bahwa
suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain.
Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan
yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan
berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berpikir
dan bermain-main dengan kata.
Namun demikian, secara umum peran sosial pantun
adalah sebagai alat penguat penyampaian pesan.
Struktur pantun
Menurut Sutan Takdir Alisjahbana fungsi
sampiran terutama menyiapkan rima dan irama untuk mempermudah pendengar
memahami isi pantun. Ini dapat dipahami karena pantun merupakan sastra lisan.
Meskipun pada umumnya sampiran tak berhubungan
dengan isi kadang-kadang bentuk sampiran membayangkan isi. Sebagai contoh dalam
pantun di bawah ini:
Air dalam bertambah dalam
Hujan di hulu belum lagi teduh
Hati dendam bertambah dendam
Dendam dahulu belum lagi sembuh
Beberapa sarjana Eropa berusaha mencari aturan
dalam pantun maupun puisi lama lainnya. Misalnya satu larik pantun biasanya
terdiri atas 4-6 kata dan 8-12 suku kata. Namun aturan ini tak selalu berlaku.
PANTOUM
Pada
abad kesembilan belas pantun dibawa oleh Voctor Hugoke dalam sastra Perancis.
Victor Hugo, penyair Perancis yang dianggap agung, pada tahun 1829 menghasilkan
“Les Orientales” (Puisi-puisi ketimuran) yang di dalamnya termuat “Les
Papillons”, sebuah puisi yang memiliki ciri-ciri pantun dan dinamakan
“PANTOUM”. Mungkin bentuk dan isi pantun memukau penyair-penyair romantisme,
sehingga ciptaan Victor Hugo diikuti oleh penyair romantisme yang lain. Pada
tahun 1836 Theophile Gautier menulis
puisi yangs angat mirip dengan ciri-ciri pantun dan dapat dikategorikan sebagai
genre pantoum. Pada tahun 1857 Theodore Banville menghasilkan puisi berkait
yang anatara lain berjudul “Harmonie du Soir” (Keselarasan Senja). Pada tahun
1884 leconte de Lisle menulis puyisi yang diberi judul “Pantoum Malais” (Pantun
Melayu). Pada tahun itu pula Verlain menertawakan Leconte de Lisle dengan
menciptakan “Pantoum Neglige” (Pantun Plesetan), yang sama sekali tidak
menghiraukan ciri-ciri pantaum yang biasa, tetapi masih tetap dinyatakan mirip
bentuk pantun.
Bentuk
pantoum rupanya sangat digemari oleh penyair-penyair romantis Perancis dan
ditulis pada periode Romantisme atau pada abad ke-19. Yang menjadipermasalahan
dalam sastra bandingan ialah: dari manakah asal pantoum (genetik pantoum);
bagaimana terjadi kesejajaran antara pantun dengan pantoum; sejauh mana pengaruh
pantun terhadap pantaum?
Melalui
“Larousse Encyclopedique” dapat ditemukan catatan yang menyatakan bahwa
“Pantoum” atau “Pantoun” itu merupakan sejenis puisi berbentuk tetap yang dipinjamkan
daripada puisi Melayu oleh kaum romantis Perancis; dan dalam “Petit Robert”
disebutkan bahwa pantoum adalah sejenis puisi asli Melayu.
Dari
manakan Victor Hugo menemukan bentuk pantun yang kemudian populer di Perancis
pada periode Romantisme? Pada abad ke-17 bangsa Eropa sudah sampai ke Asia dan
pulau-pulau sekitarnya. Mula-mula hanya berdagang, tetapi kemudian menguasai
wilayah yang didatangi itu. Inggris, pada abad ke-18 telah menjadi penguasa di
India dan kerajaan-kerajaan Melayu. Pada tahun 1770-an seorang sarjana Inggris
menyelidiki tata bahasa Melayu, dan pada tahun 1812 diterbitkan sebagai buku
dengan judul “Grammer of Malayan Language” di London. Mungkin buku yang ditulis
oleh William Mursden inilah yang dibaca oleh Hugo, dan di buku itu pula Hugo
menemukan pantun Melayu. Jadi pantun dapat mengembara sampai ke Perancis karena
perantaraan William Mursden.
Penyair-penyair
Romantis Perancis segera memiliki kecenderungan menulis puisi-puisi yang
“dipengaruhi” pantun tentulah mempunyai kaitan yang sangat erat dengan falsafah
Romantisme. Victor Hugo sebagi penyair agung dan penting dalam kesustraan
Perancis pada khususnya, dan kesusatraan dunia pada umumnya, menghasilkan
implikasi yang tidak kecil dalam masalah ini. Ketika pertama kali Victor Hugo
memunculkan puisi pantoum dalam masyarakat Perancis, tentu puisi itu dianggap
sebagai karya aslinya yang memukau.
Masyarakat
Perancis pada waktu itu dalam Revolusi Industri. Masyarakat terdiri atas tiga
golongan, yaitu kaum borjuis, kaum Romantisme, dan kaum Marxist.
Kaum
borjuis adalah kelas atas, cara hidupnya kapitalistikj dan mementingkan diri
sendiri. Kaum marxist adalah kelas bawahan, kaum pekerja dan dan kaum
tertindas. Kaum borjuis dan Marxist selalu bertentangan, terutama dalam bidang
politik. Kaum Romantisme adalah kelas menengah, terdiri atas para pengarang.
Bagi kaum Romantisme, manusia, alam, alam metafisika merupakan satu kesatuan.
Pertentangan kaum borjuis dengan kaum Marxist bersifat politik, mencetuskan
ketegangan kelas, dan ini tentunya juga memisahkan mereka dari alam nyata dan
alam metafisika. Bagi kaum romantis, kedua alam itu merupakan sumber kekeyaan
intuitif dan aspirasi yang harus dipertahankan. Begitulah cita dan citra
Romantisme, maka tidak mengehrankan mengapa pantoum yang dimunculkan oleh
Victor Hugo itu mudah mendapat tempat dari hati penyair-penyair Romantis, yang
kemudian mengikuti jejak Victor Hugo dengan menghasilkan puisi yang bercirikan
pantun, dengan melakukan serba sedikit penyesuaian mengikuti cita rasa
perpuisian dalam kesusatraan Perancis.
Menurut
Suzuki, pantun merupakan “suatu hasil kesusastraan yang tulen Melayu, dan yang
dapat mengemukakan sikap kepribadian Melayu”. Apakah sikap dan kepribadian
Melayu ity? Hal ini harus dilihat dalm konteks pendangan hidup Melayu. Bagi
orang Melayu, dirinya, alamnya (segala yang ada disekitarnya, seperti pohon,
bukit, sungai, dsb.) dan alam supernatural atau alam metafisika dianggap
mempunyai pertalian yang sangat erat, malah berada dalam satu kesatuan.
Pertalian orang Melayu dengan alam nyata dan alam supernatural, mengakibatkan
terwujudnya nilai menghargai, menghormati, dan menyayangi manusia dengan
dirinya, dengan sesama manusia, dengan alam, dan denga alam supernatural atau
alam metafisika. Segala nilai ini memang jelas terpancar dalam pantun Melayu
dan sekaligus memperlihatkan keterkaitan manusia dengan unsur-unsur alam.
Seperti pantun di bawah ini :
Anak ayam turun sepuluh,
Mati seekor tinggal sembilan.
Bangun pagi sembahyang Subuh,
Minta ampun kepada Tuhan.
Pantun
itu menunjukkan hubungan tiga unsur sekaligus dalam satu kesatuan yaitu “anak
ayam” (unsur alam), “bangun pagi” dan “minta ampun” (perbuatan manusia yang
menunjukkan penglibatan diri), dan “Tuhan” (unsur alam metafisik). Hubungan
ketiga unsur tersebut tidak sekadar menunjukkan terwujudnya satu kesatuan,
tetapi malah memiliki keharmonisan yang bersifat intiutif.
Jadi
apabila “keistimewaan” ketimuran alam Melayu seperti ini dimunculkan oleh
Victor Hugo, tentulah menarik minat penyair-penyair Romantisme Perancis yang
sangat dahaga akan unsur dan nilai seperti ini. Tidak mengherankan jika penyair-penyair
romantis Perancis tersebut terpengaruh oleh ciri dan bentuk pantun dalam karya
puisi mereka. Hal ini dinyatakan sebagai pengaruh karena menurut J.T.
Shaw: “Pengaruh adalah proses transmisi
dan reorganisasi tanpa sadar” atau menurut Ulrich Weisstein: “Pengaruh
merupakan satu bentuk peniruan yang terjadi tanpa disadari”.
Kedua
jenis puisi tersebut dibandingkan karena telah memenuhi syarat yang harus
dipenuhi dari segi genre dan tipe sudah sama, sehingga kedua jenis karya sastra
tersebut dapat dibandingkan. Selain itu, ketiga syarat yang harus dipenuhi
dalam pembandingan karya sastra adalah berbeda bahasanya, berbeda wilayahnya,
dan berbeda politiknya telah dipenuhi oleh kedua karya sastra tersebut.
DENGARLAH PANTUN
Buah
ara batang dibantun
Mari
dibantun dengan parang.
Hai
saudara dengarlah pantun,
Pantun
tidak mengata orang.
Mari
dibantun dengan parang,
Berangan
besar di dalam padi.
Pantun
tidak mengata orang,
Janganlah
syak di dalam hati.
Berangan
besar di dalam padi,
Rumpun
buluh dibuat pagar.
Pantun
tidak mengata orang,
Maklumlah pantun saya baru belajar.
Rumpun
bulu dibuat pagar,
Cempedak
dikerat-kerati.
Maklum
pantun tidak belajar,
Saya
budak belum mengerti.
(dari “PUISI
LAMA” oleh St. Takdir Alisyahbana)
VICTOR
HUGO
LES PAPILLONS
Les papillons jouent sur leurs ailes,Iis volent
Vers le mer, pres dela chainedes Mon coeur
S’est sentir malade dans ma poitrine
Depuis mes premiers kours jus’qual’heure presente.
Iis volent vers le mer, pres de la chaine de roches,
La vautour dirige son essor vers Bandam.
Depuis mes premiers kours jus’qual’heure presente.
J’ai
admire bien jaunes gens.
La vautour dirige son essor vers Bandam
Et lisse tomber de ses plums a Patani
J’ai
admire bien jeunes gens,
Mais nul n’ est a comparer a L’objet de mon choix
Iilaisse tomber de ses plumes a Patani
Voici
deux jeunes pigeons!
Aucum jeune homme ne peut comparer a celui de mon choix,
Habile comme il l’est a toucher le cour.
Terjemahan
oleh Harry Aveling
KUPU-KUPU
Kupu-kupu
terbang melintang,
Terbang di
laut di hujung karang.
Hati di dalam
menaruh bimbang,
Dari dahulu
sampai sekarang.
Terbang di laut di hujung karang,
Burung besar terbang ke Banda.
Dari dahulu hingga sekarang,
Banyak muda sudah kupandang
Burung besar
terbang ke Banda,
Bulunya lagi
jatuh ke pantai.
Banyak muda
sudah kupandang,
Tiada sama
mudaku ini.
Bulunya lagi jatuh ke Pantai,
Dua puluh anak merpati.
Tidak sama mudaku ini,
Sungguh pandai membujuk hati.
PELAKSANAAN PERBANDINGAN
a. Lapis norma yang pertama adalah lapis bunyi. Rangkaian bunyi yang terdapat pada puisis lama
berjudul “Dengarlah Pantun” memiliki bunyi yang cukup merdu. Bunyi akhir pada
setiap bait tersebut memilki arti tersendiri.
Buah
ara batang dibantun
Mari
dibantun dengan parang.
Hai
saudara dengarlah pantun,
Pantun
tidak mengata orang.
Bunyi akhir pada larik pertama bait
pertama “un” pada kata dibantun yang berarti “ditarik agar lepas” memiliki
kesesuaian dengan bunyi akhir pada larik ketiga pada kata pantun. Kata pantun
“un” memilki kesesuaian dengan larik kedua. Perbedaannya terdapat pada nama
masing-masing larik. Larik pertama tersebut disebut dengan sampiran, dan larik
ketiga disebut dengan isi. Bunyi akhir pada larik kedua yaitu “ang”. Bunyi
tersebut sama dengan bunyi akhir pada larik keempat. Parang pada larik kedua
tersebut memilki kesinambungan dengan kata dibantun pada larik pertama. Kedua
kata akhir tersebut memilki pengertian bahwa untuk membantun buah ara tersebut
ditarik agar lepas dengan menggunakan bantuan parang. Keempat bunyi akhir
tersebut disesuaikan dengan larik sebelum dan sesudahnya pada bait tersebut,
sehingga bunyi akhir memiliki arti tersendiri.
Kupu-kupu
terbang melintang,
Terbang
di laut di hujung karang.
Hati
di dalam menaruh bimbang,
Dari
dahulu sampai sekarang.
Bunyi
akhir pada bait pertama puisi lama yang berjudul “Kupu-Kupu” tersebut adalah
‘ang’. Semua larik yang terdapat pada bait tersebut memilki bunyi akhir yang
sama.
Keempat bunyi akhir tersebut
disesuaikan dengan konvensi bahasa pada masa itu. Bunyi akhir tersebut disusun
sedemikian rupa, sehingga menimbulkan arti.
Mari
dibantun dengan parang,
Berangan
besar di dalam padi.
Pantun
tidak mengata orang,
Janganlah
syak di dalam hati.
Pada
bait kedua, bunyi akhir larik pertama adalah “ang”. Bunyi akhir tersebut sama
dengan bunyi akhir pada larik ketiga. Larik pertama memilki kata akhir yaitu
orang, dan pada larik ketiga memilki kata akhir orang. Persamaan bunyi akhir
pada kedua kata tersebut berarti adanya kesesuaian antara kedua larik tersebut.
Persamaan bunyi akhir pada larik kedua dan keempat adalah “i” pada kata “padi”
dan “hati”. Kedua kata tersebut bunyi akhirnya disesuaikan agar membentuk suatu
arti.
Terbang di laut di hujung karang,
Burung besar terbang ke Banda.
Dari dahulu hingga sekarang,
Banyak muda sudah kupandang
Bunyi akhir pada bait kedua “Kupu-Kupu” tersebut memilki bunyi akhir “ang”,
“a”, “ang”, dan “ang”. Bunyi akhir pada larik kedua berbeda dengan dengan bunyi
akhir pada larik yang lainnya. Perbedaan bunyi akhir tesebut menimbulkan
kurangnya estetik atau keindahan pada pantun tersebut. Selain itu, perbedaan
bunyi kahir tersebut menimbulkan arti yang sukar untu ditebak karena dirasa
tidak berkesinambungan.
Berangan
besar di dalam padi,
Rumpun
buluh dibuat pagar.
Pantun
tidak mengata orang,
Maklumlah pantun saya baru belajar.
Pada bait ketiga puisi lama tersebut
memilki bunyi akhir ‘i’, ‘ar’, ‘ang’, ‘ar’. Berbeda dengan bait-bait sebelumnya
yang memilki kesamaan bunyi akhir pada setiap larik, antara sampiran dan isi.
Pada bait ketiga tersebut memiliki bunyi akhir yang agak kacau. Larik ketiga
pada bait tersebut memilki keterkaitan dengan larik ketiga pada bait kedua,
sehingga isi yang terdapat pada pantun bait ketiga tersebut memilki
kesinambungan dengan isi pada bait kedua. Bunyi akhir yang terdapat pada bait
tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap isi yang ingin disampaikan oleh
pentun tersebut, meskipun dari segi keindahan bunyi akhir sangat kurang karena
tidak memiliki kesamaan pada bunyi akhir.
Burung
besar terbang ke Banda,
Bulunya
lagi jatuh ke pantai.
Banyak
muda sudah kupandang,
Tiada
sama mudaku ini.
Bunyi
akhir yang tedapat pada bait ketiga puisi “Kupu-Kupu” tersebut ialah “a”, “i”,
“ang”, dan “i”. Seperti halnya dengan bunyi akhir yang terdapat pada bait kedua
puisi lama tersebut, pada bait ketiga puisi lama tersebut memiliki bunyi akhir
yang berbeda setiap lariknya. Perbedaan bunyi akhir tersebut tampaknya
mengurangi keindahan pada pantun tersebut. Perbedaan bunyi akhir dirasa
mengganggu atau mempengaruhi arti yang terdapat dalam bait tersebut sehingga
antara sampiran dan isi kurang sesuai atau kaurang nyambung.
Rumpun
bulu dibuat pagar,
Cempedak
dikerat-kerati.
Maklum
pantun tidak belajar,
Saya
budak belum mengerti.
Bunyi akhir pada bait keempat yaitu
‘ar’, ‘i’, ‘ar’, ‘i’. Masing-masing bunyi akhir tesebut memilki kesamaan dengan
dengan bunyi akhir tiap larik antara sampiran dengan isi. Bunyi akhir yang
terdapat pada masing-masing larik pada bait tersebut menimbulkan keindahan
bunyi pada bait tersebut. Bunyi akhir pada bait tersebut menimbulkan arti yang
saling berkaitan.
Bulunya lagi jatuh ke Pantai,
Dua puluh anak merpati.
Tidak sama mudaku ini,
Sungguh pandai membujuk hati.
Bunyi akhir puisi lama “Kupu-Kupu” pada bait keempat yaitu “i”. Keemapat
larik tersebut memiliki kesamaan bunyi akhir, namun cara pengucapannya berbeda.
Hal tersebut terlihat pada kata “pantai”. Kata “pantai” tersebut meskipun
berakhiran dengan huruf “i”, namun cara pengucapannya berbeda yaitu “ai”.
Namun, perbedaan tersebut tidak begitu mengurangi keindahan pada puisi lama
tersebut, karena bunyi akhir setiap larik pada bait tersebut hampir mirip
meskipun tdak sama persis. Perbedaan bunyi akhir pada salah satu larik pada
bait tersebut, tidak begitu berpengaruh terhadap isi pantun yang ingin
disampaikan.
b.
Lapis Arti
Lapis arti berupa rangkaian fonem, suku kata, frase, dan
kalimat.
Buah
ara batang dibantun
Mari
dibantun dengan parang.
Hai
saudara dengarlah pantun,
Pantun
tidak mengata orang.
Isi
yang terdapat dalam pantun tersebut adalah bahwa pantun tidak pernah mengata
orang. Hal tersebut dapat dilihat dari keterikatan atau pertalian anatara
kata-kata yang terdapat dalam sampiran dan isi. Kata bantun yang yang terdapat
dalam bait tersebut berarti “menarik supaya lepas”. Kata bantun tersebut
diperkuat dengan kata parang. Parang merupakan senjata tajam. Kaitan antara
kata bantun dengan parang adalah jika ingin lepas haris dibantu dengan senjata
tajam yaitu parang.
Kata
“bantun” pada larik pertama memiliki persamaan bunyi akhir dengan “pantun” pada
larik ketiga. Kata bantun yang memilki arti menarik supaya lepas, diseimbangkan
dengan kata “pantun” yang yang biasanya pantun tersebut menarik orang untuk
mendengarkannya. Persamaan bunyi akhir pada kata “bantun” dan “pantun” memiliki
kesamaan pada arti pula, yaitu sama-sama dugunakan untuk menarik.
Kata
“parang” tersebut berkaitan dengan kara “orang”. Parang merupakan senjata
tajam, dan orang pun dapat menjadi tajam dengan perkataannya. Tajamnya orang
dapat diibaratkan dengan parang. Disamakan ata dipadakan dengan parang karena
untuk menyamakan bunyi akhir pada pantun tersebut agar pantun menjadi indah.
Kupu-kupu
terbang melintang,
Terbang
di laut di hujung karang.
Hati
di dalam menaruh bimbang,
Dari
dahulu sampai sekarang.
Arti
yang terdapat pada serangkaian kata tersebut memiliki arti yang culup luas.
Pilihan kata yang digunakan untuk pantu tersebut merupakan pilihan kata yang
indah sehingga menimbulkan arti yang indah pula. Arti dari serangkaian kata
“terbang melintang” pada larik pertama berkaitan dengan kata “bimbang” pada
larik ketiga. Terbang melintang yang terdapat pada larik pertama tersebut
diibartakan sebagai orang yang sedang dalam kebimbangan sehingga ia berjalan
kesana kemari tak tentu arah tujuan. Seperti halnya dengan kata “dihujung
karang” dengan kata “sekarang”. Di hujung karang merupakan sebuah ungkapan yang
menandakan bahwa kehidupan yang tidak pernah berakhir meskipun dalam goncangan
ombak yang terus melanda hingga saat ini yang disimbolkan dengan kata
“sekarang”. Lapis ati yang terdapat pada bait tersebut memiliki arti yang
sangat dalam.
Mari
dibantun dengan parang,
Berangan
besar di dalam padi.
Pantun
tidak mengata orang,
Janganlah
syak di dalam hati.
Arti yang
terdapat pada bait tersebut adalah mengenai kekurang percayaan terhadap diri
sendiri ataupun orang lain. Serangkaian kata “dibantun dengan parang” memiliki
arti bahwa jika ingin melepaskan sesuatu agar lebih mudak dibantu dengan
senjata tajam. Senjata tajam tersebut dianalogikan dengan perkataan orang.
Perkataan orang yang sangat tajam yang biasa dilakukan tidak terjadi pada
pantun. Pantun biasnya berisi “penghalus” dari setiap perbuatan atau perkataan.
Jika orang mengatakan hal pedas mengenai diri sendiri atau mengkritik diri
dengan kata-kata pedasnya, selayaknya kita tidak perlu “syak” di dalam hati,
“Syak” yang dimaksudkan adalah rasa kurang percaya, tidak yakin, dan ragu-ragu.
Kekurangpercaan tersebut diakibatkan oleh perkataan atau perbuatan orang
terhadap diri kita.
Terbang di laut di hujung karang,
Burung besar terbang ke Banda.
Dari dahulu hingga sekarang,
Banyak muda sudah kupandang
Pantun tersebut memiliki arti perjuangan. Hal tersebut dapat dibuktikan
dengan adanya larik yang berbunyi “terbang di laut di hujung karang, dri dahulu
hingga sekarang, banyak muda sudah kupandang” dari serangkaian kata tersebut
telah dapat membuktikan bahwa manusia yang dianalogikan dengan seekor burung
besar yang terbang ke Banda untuk mencari cinta sejatinya dari dahulu hingga
sekarang, hingga ia telah merasakan banyaknya lawan jenis yang sudah ia kenal
namun ia tetap dengan pendiriannya yang dibuktikan dengan adanya larik “terbang
di laut di hujung karang”. Larik tersebut menadakan bahwa sebesar apapun badai
atau ombak yang menimpanya ia tetap dapet terbang di ujung karang yang berarti
di tempat yang cukup berbahaya.
Berangan
besar di dalam padi,
Rumpun
buluh dibuat pagar.
Pantun
tidak mengata orang,
Maklumlah pantun saya baru belajar.
Arti
yang terdapat pada bait ketiga puisi lama tersebut adalah seseorang yang
pempunyai pelindung atau pengetahuan walau hanya dengan belajar perlahan.
“Berangan besar di dalam padi” memilki arti yang cukup luas. Kata padi biasanya
digunakan untuk orang emiliki banyak ilmu yang kian berisi kian merunduk.
Angan-angan tersebut di tanam di dalam hatinya agar ketika ia menjadi sesorang
berhasil ia menjadi seperti padi, yang kian berisi kian merunduk. “Rumpun buluh
menjadi pagar”, serangkaian kata tersebut dapat diartikan bahwa agama yang
sudah ada pada diri seseorang harus dibuat pagar untuk menjaga iman yang
dimiliki seseorang karena setiap iman manusia memilki tingkatan yang berbeda.
“Pantun tidak mengata orang”, arti dari rangkaian kata tersebut adalah bahwa
pantun diibaratkan dengan orang yang telah mendalami ilmu padi sehingga orang
yang telah memiliki banyak ilmu tdak mungkin akan mencela orang lain meskipun
ilmu yang didapatkan masih jauh dari sempurna.
Burung
besar terbang ke Banda,
Bulunya
lagi jatuh ke pantai.
Banyak
muda sudah kupandang,
Tiada
sama mudaku ini.
Arti yang terdapat pada bait puisi lama tersebut adalah kerapuhan karena
sudah merasa cukup usia. Perjuangan yang dilakukan tak seperti dulu ketika
masih muda. “Bulunya lagi jatuh ke pantai”, rangkaian kata tersebut menandakan
bahwa seseorang yang terbang ke Banda atu negeri orang demi mencari sang
kekasih hati kini telah layu karena usia yang sudah cukup tua. Ketika ia muda
ia telah banyak mengecap banyak kehidupan, mengarungi liku-liku kehidupan. Kini
ia telah mencapai usia lanjut, perjuangannya tak seperti dahulu ketika ia masih
muda. Ia mulai loyo dan mulai jatuh perlahan.
Rumpun
bulu dibuat pagar,
Cempedak
dikerat-kerati.
Maklum
pantun tidak belajar,
Saya
budak belum mengerti.
Arti yang
terdapat dalam bait tersebut adalah seseorang yang memiliki iman atau
pengetahuan yang cukup lembek atau kurang, sehingga harus benar-benar dijaga
agar tidak terpengaruh oleh hal-hal yang tidak diinginkan. Cempedak merupakan
nama buah seperti nangka namun memiliki daging buah yang lebih lembek daripada
nangka, sehingga dapat dianalogikan dari cempedak tersebut bahwa seseorang yang
memilki pengetahuan dan pengalaman yang dangkal harus dipagar seperti dalam
serangkaian kata “rumpu buluh dibuat pagar”. Buluh merupakan nama lain dari
bambu yang biasanya digunakan untuk dibuat pagar. Maka keimanan atau
pengetahuan seseorang yang belum benar-benar kuat harus dipagari seperti pada
ungkapan tersebut. Pada isi yang teradapat dalam bait tersebut mencerminkan
bahwa ia bukanlah orang yang telah memiliki banyak pengetahuan atau pengalaman
karena ia tidak belajar, sehingga dia tidak mengerti dengan apa yang terjadi di
sekelilingnya.
Bulunya lagi jatuh ke Pantai,
Dua puluh anak merpati.
Tidak sama mudaku ini,
Sungguh pandai membujuk hati.
Arti pada bait tersebut adalah adanya atau datangnya kembali penyemangat
hidup yang tadinya semnagat untuk hidup telah musnah atau telah tiada.
Penyemangat itu dibawa oleh orang-orang di sekitarnya yang menyayanginya dan
merasa iba melihat perjuanagn yang telah dilakukan. Semangat yang telah jatuh
kemudian datang kembali dengan dibawa oleh orang-orang disekitarnya.
Orang-orang disekitarnya pintar mebujuk hati sehingga semangat itu telah
kembali meskipun tak seperti ketika ia masih muda.
c.
Lapis Dunia
Lapis
dunia menggambarkan dunia pengarang yang digunakan untuk mengungkapkan isi
hatinya. Lapis dunia yang digunakan pada
puisi lama berjudul “Dengarlah Pantun” adalah diibaratkan dengan ilmu padi dan
kehidupan nyata seseorang. Sedangkan lapis dunia yang digunakan pada
“Kupu-Kupu” adalah suasana alam terbuka yang dimisalkan dengan laut dan tempat
atau wilayah lain bertolak dari keseharian manusia.
Bait
pertama pada puisi lama “Dengarlah Pantun” memiliki dunia bahwa manusia memilki
sifat sperti parang, yang memilki perkataan yangs angat tajam. Bait kedua
memilki dunia bahwa menjadi seseorang harus seperi padi yang tidak pernah
menyakiti hati orang lain. Bait ketiga memiliki dunia harus saling menjaga hati
sesama, meskipun ilmu yang didapatkan belum sempurna. Begitupun dengan bait
keempat yang memiliki dunia bahwa seseorang yang memilki ilmu yang cukup rendah
harus benar-benar dijaga agar tidak mudah dibodohi oleh orang lain.
Adapun
bait pertama pada puisi lama berjudul “Kupu-Kupu” memilki dunia bahwa seseorang
yang memilki kebimbangan yang tak berujung, yang dianalogikan dengan keadaan
alam terbuka dengan buktu adanya burung dan laut, sehingga cakupan dunia yang
pengarang gunakan tidak hanya berkutat pada dalam diri sesorang, melainkan pada
dunia luar. Begitupun dengan bait kedua, ketiga, dan keempat. Ketiga bait
tersebut memilki persamaan dunia yaitu sama-sama berada di sebuah kota atau
wilayah tettentu yang menggambarkan alam terbuka pula.
d.
Lapis Metafisis
Lapis
metafisis berupakan lapis yang menumbulkan pembaca tersebut merenungkan
(berkontemplasi) isi dari setiap puisi lama yang diungkapkan.
Lapis
metafisis yang terdapat pada puisi lama “Dengarlah Pantun” adalah setiap
manusia hendaknya tidak saling menyakiti dan saling menjaga hati agar tidak ada
hati yang tersakiti. Selain itu juga setiap manusia diharapkan untuk menuntut
ilmu setinggi-tingginya agar tdak mudah dibodohi oleh orang lain ataupun oleh
keadaan.
Lapis
metafisis yang terdapat pada puisi lama yang berjudul “Kupu-Kupu” mengajak kita
untuk tak pernah putus asa dalam menghadapi hidup dan selalu berjuang meskipun
hingga ke negeri orang untuk mencari pengalaman hidup.
Persamaan
kedua puisi tersebut adalah sama-sama menceritakn tentang kehidupan manusia dan
perjuangan untuk hidup. Sedangkan perbedaan dari kedua puisi tersebut adalah
jika puisi yang berjudul “Dengarlah Pantun” memilki cakupan pengungapan hanya
pada diri manusia yang diibaratkan dengan keadaan lingungan sekitar, sedangkan
pada puisi kedua yang berjudul “Kupu-Kupu” memilki cakupan wilayag pengungkapan
perasaan yang lebih luas, tidak hanya dari dalam diri seseorang, tetapi juga
mencakupi wilayah lain atau kota atau bahkan negara lain. Sehingga cakupan
pengungkapan wilayah pada puisi “Kupu-Kupu” lebih luas jika dibandingkan dengan
puisi “dengarlah Pantun”.
SIMPULAN
Berdasarkan
pada pelaksannan pembadingan kedua puisi tersebut, kedua puisi yang
dibandingkan sama-sama memilki bentuk empat baris seuntai dan terdiri atas
empat bait.
Diksi yang
digunakan pada kedua puisi lama tersebut secara keseluruhan telah menggunakan
diksi yang tepat, meskipun ada beberapa penggunaan diksi yang kurang tepat
sehingga menimbulkan ketidaksesuaian dengan isi.
Masyarakat
lingkungan pencipta pada puisi lama yang berjudul “Dengarlah Pantun”
menggunakan masyarakat dalam satu wilayah yaitu menggambarkan wilayah Indonesia
yang diidentikan dengan padi, sedangkan pada puisi kedua pencipta menggunakan
cakupan wilayah yang lebih luas yaitu menggunakan nama-nama daerah di negara
Eropa, sehingga cakupan lingkungan penciptanya lebih luas.
Pantun
dan Pantoum tidak berdiri sendiri, tetapi saling mempengaruhi. Di dalam
ciri-ciri pantun terdapat genre pantoum sehingga antara pantun dan pantoum
tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan saling mempengaruhi. Bahkan di dalam
pembuatan pantoum cenerung mengabaikan ciri-ciri pantaoum, tetapi terdapat
ciri-ciri pantun di dalam pantoum tersebut.
Secara
langsung pantun berpengaruh terhadap pantoum di Perancis. Pada dasarnya, pantau
merupakan tiruan atau saduran dari pantun, karena jika dilihat dari sejarah dan
ciri-ciri yang terdapat di dalam pantoum, pantaoum memilki ciri-ciri yang
hampir sama dengan pantun, begitu pula dengan bentuk yang dimiliki oleh pantoum
memiliki bentuk yang sama dengan pantun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar