ANALISIS
KESINAMBUNGAN DALAM WACANA CERPEN “GERHANA MATA” KARYA DJENAR MAESA AYU
Abstrak: Tujuan penulisan artikel ini
adalah untuk mengetahui kesinambungan topik yang terdapat dalam wacana cerpen
“Gerhana Mata” karya Djenar Maesa Ayu. Data kesinambungan ini diambil secara
analisis terhadap cerpen “Gerhana mata”. Data dianalisis dengan menggunakan
metode analisis kesinambungan topik. Dari hasil analisis diperoleh topik di di
dalam wacana cerpen. Untuk menentukan kesinambungan topik dalam wacana, dapat
ditentukan melalui kriteria-kriteria kesinambungan topik dengan memberikan
nilai pada setiap kriteria yang ada pada wacana.
Kata kunci: wacana, kesinambungan,
kalimat, topik.
PENDAHULUAN
Wacana merupakan satuan
bahasa terlengkap yang tersusun oleh kalimat atau kalimat-kalimat (ujaran, baik
lisan maupun tulisan) yang membentuk suatu pengertian yang serasi dan terpadu,
baik dalam pengertian maupun manifestasi fonetisnya (realisasi). Menurut
Kridalaksana (1978) wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan merupakan satuan
gramatikal tertinggi atau terbesar dalam hierarki gramatikal. Namun, dalam
realisasinya wacana dapat berupa karangan yang utuh (novel, buku, seri
ensiklpodedia), paragraf, kalimat, frase, bahkan kata yang membawa amanat
lengkap. Pada hakikatnya, wacana merupakan rangkaian kalimat-kalimat. Sedangkan
menurut Crystal (dalam Hartono 2000: 10), wacana merupakan rangkaian sinambung
kalimat yang lebih luas daripada kalimat, sedangkan dari sudut pandang
psikolinguistk, wacana merupakan suatu proses dinamis pengungkapan dan
pemahaman yang mengatur penampilan orang dalam interaksi kebahasaan. Pada
dasarnya, permasalahan wacana adalah permasalahan yang kompleks. Artinya, suatu
rentetan kalimat belum tentu dinamakan wacana bila rentetan kalimat itu tidak
memberikan informasi yang lengkap.
Wacana dapat dikatakan baik apabila memiliki topik
didalamnya. Selain topik, ada juga tema dan judul yang memiliki kedudukan dalam
sebuah wacana. Antara topik, tema dan judul haruslah membentuk suatu
kesinambungan dengan isi yang disampaikan. Dalam artikel analisis topik dan
kesinambungannya ini, akan digunakan wacana cerpen yang diambil dari surat
kabar Kompas, dengan judul cerpen “Gerhana Mata” karya Djenar Maesa Ayu.
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut: (1) Kesinambungan topik dalam wacana cerpen “Gerhana Mata”,
karya Djenar Maesa Ayu. (2) Analisis wacana cerpen berjudul “Gerhana Mata”
berdasarkan kriteria kesinambungan topik.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulisan artikel
dengan judul “Analisis Kesinambungan dalam Wacana Cerpen “Gerhana Mata”, karya
Djenar Maesa Ayu ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsikan unsur-unsur yang
menjadikan suatu wacana berkesinambungan. (2) Mengetahui apakah wacana cerpen
yang berjudul “Gerhana Mata” adalah suatu wacana yang berkesinambungan atau
tidak.
KAJIAN
TEORETIS
Definisi
Wacana
Menurut Kridalaksana
(1985:184) wacana merupakan satuan bahasa yang paling lengkap unsurnya.
Pendapat ini menghapus pandangan lama bahwa wacanalah yang merupakan satuan
bahasa yang paling lengkap, maka dimulailah analisis terhadap wacana. Sementara
itu, Edmonson (dalam Hartono 2000: 15) berpendapat bahwa wacana adalah suatu
peristiwa yang terstruktur yang diwujudkan di dalam perilaku linguistik atau
yang lainnya. Batasan wacana yang lebih maju dikemukakan oleh Longacre (dalam
Hartono 2000:16), yang berpendapat bahwa wacana merupakan suatu rentetan
kalimat yang membentuk suatu pengertian yang serasi dan terpadu, baik dalam
pengertian maupun dalam manifestasi fonetisnya. Berbagai macam definisi wacana
telah dikemukakan oleh beberapa ahli. Namun, dari sekian banyak perbedaan
definisi wacana, pada dsarnya menekankan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang
lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal
tertinggi atau terbesar (Chaer 1994: 267). Sebagai satuan bahasa yang lengkap,
maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang
utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar
(dalam wacana lisan), tanpa keraguan apa pun. Sebagai satuan gramatikal
tertinggi atau terbesar, berarti wacana itu dibentuk dari kalimat atau
kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacaan
lainnya.
Pendapat lain tentang
wacana yang memperhatikan kapaduan dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya
adalah Stubbs, Kridalaksana, dan Alwi et.al. (dalam Hartono 2000: 18), yang
berpandangan bahwa wacana merupakan satuan bahasa di atas kalimat, baik lisan
maupun tulis, yang tersusun secara berkesinmabungan dan membentuk kepaduan.
Kepaduan yang dibangun oleh kesinmabungan pengertian merupakan karakteristik yang penting yang
harus ada pada sebuah wacana yang baik.
Dari berbagai pendapat
mengenai wacana, Darma (2009:3) dapat menarik kesimpulan wacana merupakan
rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal yang
disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan koheren, yang
dibentuk oleh unsur-unsur segmental dalam sebuah wacana yang paling besar.
Topik
dan Kesinambungan
Suatu wacana dikatakan
baik apabila di dalam wacana tersebut terdapat satu topik yang terfokus pada
sebuah wacana. Kesinambungan topik merupakan cara suatu topik utama dijalinkan
dalam suatu urutan klausa maupun kalimat yang tersusun membentuk suatu
rangkaian yang sinambung (Seng dalam Hartono 2000: 1995: 21) untuk memahami
kesinambungan topik, setidaknya kita harus memahami kesinmabungan pada sebuah
wacana. Hal ini disebabkan kesinmabungan wacana merupakan satu proses yang
kompleks. Dalam kesinambungan topik ada tiga aspek utama, yaitu : 1)
kesinambungan tema (thematic continuity); 2) kesinmabungan tindakan (action
continuity); 3) kesinambungan topik/peserta (topics/participants continuity) (Seng
dalam Hartono 2000:130)
Menurut Dardjowidjojo (dalam
Hartono 2000:18) kesinambungan dan keteraturan rentetan kalimat dalam wacana
itu terjadi karena adanya benang pengikat yang mempertalikan satu proposisi
dengan proposisi yang lain, yang kemudian lebih dikenal dengan konsep kohesi.
Di dalam sebuah wacana,
topik sebagai suatu konteks. Topik dapat menentukan sifat kewacanaan.
Topik-topik berita menentukan struktur wacana sesuai dengan tuntutan topik
berita. Topik-topik ilmiah juga menuntut digunakannya wacana ilmiah.
Topik-topik narasi juga menuntut digunakannya wacana narasi. Dalam wacana
narasi banyak ditemukan bahasa yang berbunga-bunga atau gaya bahasa yang sedikit
ditemukan dalam wacana lain. Dalam hal ini, cerpen termasuk di dalam wacana
narasi. Di dalam bahasa cerpen, lebih menekankan pada gaya bahasa atau bahasa
yang berbunga-bunga sehingga, bahasa yang terdapat di dalam wacana cerpen
merupakan bahasa yan indah.
Berdasarkan bentuk
konstituen yang menandainya, topik dalam wacana narasi dapat dibedakan atas
topik berbentuk kata dan topik berbentuk frase. Kata yang dapat menjadi topik
dalam wacana narasi adalah kata yang berkategori nomina, khususnya nomina yang
berupa persona atau yang mengalami personifikasi. Adapun frase yang dapat
manjadi topik dalam wacana narasi adalah frase yang berkategori nominal,
khususnya frase nominal yang intinya berupa persona atau mengalami
personifikasi. Frase berkategori nominal yang dapat menjadi topik wacana narasi
adalah frase endosentris atributif.
Kesinambungan tematik
mencakupi unit wacana yang lebih besar. Kesinmabungan tersebut merujuk tema
utama dalam suatu wacana. Kesinmbungan tindakan merujuk pada suatu kejadian
dalam suatu wacana. Lazimnya, urutan kejadian yang dimaksud itu ditandai dengan
subsistem ‘tense aspect-modality’
(Givon dalam Hartono 2000:133). Kesinambungan topik/peserta merupakan topik
yang dibincangkan dalam urutan klausa atau kalimat.
Dalam menentukan
kesinambungan topik, terdapat tiga kriteria yang dapat dijadikan dasar. Ketiga
kriteria tersebut adalah (1) jarak rujuk kembali (look back reference); (2) kemungkinan gangguan (potencial interference), dan (3)
perihal kontinuitas (persistance)
(Seng 1995:24). Ketiga kriteria itu diberi nilai dengan perhitungan angka.
Wacana cerpen yang
berjudul “Gerhana Mata”, akan dianalisis dengan menggunakan kesinambungan
topik, karena setiap kalimat pada wacana tersebut mengandung topik “kebutaan”
yang penulis analogikan dengan sebuah “gerhana”.
METODE
Berdasarkan kajian
teoretis tentang wacana di atas, wacana cerpen yang berjudul Gerhana Mata akan
menggunakan analisis kesinmabungan topik. Di dalam kesinambungan topik, hal
yang perlu diperhatikan adalah mencari topik di setiap kalimat-kalimat di dalam
wacana cerpen.
Dalam menentukan
kesinambungan topik, terdapat tiga kriteria yang dapat dijadikan dasar. Ketiga
kriteria tersebut adalah (1) jarak rujuk kembali (look back reference); (2) kemungkinan gangguan (potencial interference), dan (3)
perihal kontinuitas (persistance)
(Seng dalam Hartono 2000:132).
Kriteria pertama, jarak rujuk kembali. Ukuran ini
digunakan untuk melihat jarak di antara penyebutan topik pertama kali dengan
penyebutan topik kedua kalinya, ketiga, dan seterusnya. Jarak topik dinyatakan
dengan bilangan klausa ke belakang dalam suatu wacana dari nilai terendah
sampai nilai tertinggi. Nilai terndah adalah 1 dan nilai tertinggi adalah 20.
Nilai 1 diberikan bila topik itu pernah disebut pada klausa sebelumnya. Nilai
2. 3 dan seterusnya diberikan mengikuti jarak di antara penyebutan pertama dan
kedua. Tingkat kesinambungan topik dikatakan tinggi dengan kriteria ini bila
jarak di antara penyebutan pertama dan kedua berjarak satu klausa ke belakang.
Semakin banyak jumlah klausa yang menyisipi semakin rendah kesinambungan topik
wacana tersebut.
Apabila tidak terdapat topik dalam sebuah kalimat, namun topik pantas
dimasukkan kedalamnya, maka berilah angka 0 pada tempat yang dapat dibubuhi
topik. Jarak Antar Klausa/kalimat = ... Jumlah
Klausa/Kalimat Untuk menghitung jarak rujuk kembali dengan menggunakan rumus
berikut :
Jika hasilnya bernilai < 1, maka jarak rujuk kembalinya
baik. Namun jika hasilnya bernilai > 1, maka jarak rujuk kembalinya buruk,
karena jarak rujuk kembali antara topik pada kalimat utama, terdapat jauh pada
klausa atau kalimat. Kriteria kedua, kemungkinan gangguan. Ukuran ini
digunakan untuk melihat gangguan dari topik lain dalam lingkungan tiga klausa
ke belakang dari topik utama. Faktor kemungkinan gangguan dinyatakan degan
nilai 1 dan 2. Nilai 1 diberikan bila tidak terdapat gangguan dari topik lain
dalam lingkungan 3 klausa ke belakang karena di dalam wacana hanya memiliki
satu topik. Sedangkan nilai 2 diberikan bila terdapat gangguan atau hadirnya
topik lain dalam lingkungan 3 klausa/kalimat ke belakang, karena di dalam
wacana tersebut memiliki dua topik. Apabila tidak terdapat topik dalam sebuah kalimat, namun
topik pantas dimasukkan kedalamnya, maka memberi angka 0 pada tempat yang dapat dibubuhi topik.
Kriteria ketiga adalah berterusan (persistence).
Kriteria ini digunakan
untuk melihat kepentingan suatu topik dalam wacana. Topik yang muncul pada
kalimat pertama, diberikan nilai 0. Lalu diberikan nilai 1, 2, 3, jika kalimat
setelahnya juga memuat topik secara berturut-turut. Jika pada sebuah kalimat
tidak memuat topik, maka kalimat tersebut tidak diberi nilai, atau sama saja 0.
Bila kalimat setelahnya memuat topik, kembali diberikan nilai 0, dan kembali diberikan
nila 1, 2, dan seterusnya jika topik dimuat secara berturut-turut. Dan begitu
seterusnya hingga akhir wacana.Apabila tidak terdapat topik dalam sebuah
kalimat, namun topik pantas dimasukkan kedalamnya, maka berilah angka 0 pada
tempat yang dapat dibubuhi topik. Sehingga pada wacana cerpen Gerhana Mata akan
ditentukan tema, topik, serta judul, dan juga akan dianalisis
kesinambungan topik berdasarkan kriteria di atas.
PEMBAHASAN
Kesinambungan Topik dalam Wacana
Cerpen Gerhana Mata
Suatu
wacana dapat
dikatakan berkesinambungan jika isi materi sesuai dengan judul, dan judul
sesuai dengan topik. Secara keseluruhan, topik menjadi acuan penting bagi
sebuah wacana agar dapat dikatakan sebuah wacana yang berkesinambungan. Untuk
menganalisis kesinambungan topik, digunakan sebuah wacana cerpen yang diambil
dari surat kabar Kompas, yang berjudul “Gerhana Mata” dengan wacana di bawah
ini:
Gerhana Mata
Karya: Djenar Maesa Ayu
Malam selalu memberi ketenangan.
Banyak kenangan yang begitu mudah dikais dalam ruang-ruang kegelapan. Kenangan
yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah mengacung-ngacungkan
telunjuknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam bergulir, di atas
pembaringan tanpa kekasih yang tak akan hadir.
Banyak orang yang begitu takut pada
malam. Pada gelap. Pada sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak
mau harus meraba-raba. Membuat jantung mereka berdegup lebih kencang. Membuat
mereka tak tenang. Membuat mereka rela menukar ketidak-tenangan itu dengan
harga listrik walaupun harganya semakin tinggi menjulang.
Tapi saya selalu merasa malam
memberi ketenangan. Semakin gelap semakin ramai.
Hampir menyerupai pasar malam yang ingar bingar namun
tanpa penerangan. Sehingga saya tak pernah merasa ketakutan. Tak pernah
merasa tak tenang. Sepanjang mata memandang, hanyalah kegelapan. Tubuh
kelihatan amat samar. Namun, suara-suara begitu jelas terdengar. Begitu dekat.
Sedemikian dekat sehingga aroma napas si empunya suara itu di hidung terasa
melekat. Mata saya mulai merapat, semakin gelap,
semakin semuanya akhirnya begitu terang terlihat.
Mungkin karena itulah saya begitu
membutuhkan cinta. Seperti malam.
Seperti gelap. Cinta pun membutakan.
Saya tidak butuh kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang
menyala. Saya tidak perlu menutup semua tirai dan pintu serta menyumbat
sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang
saya inginkan sempurna. Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah
mata saya.
Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orang menamakannya cinta buta. Apa pun namanya saya tidak
peduli. Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin
melihat apa yang ingin saya lihat. Dan hanya ialah yang saya ingin lihat, sang
kekasih bak lentera benderang dalam kegulitaan pandangan mata saya. Dari
sinarnyalah saya mendapatkan siang yang kami habiskan di ranjang-ranjang pondok
penginapan. Saling menatap seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa
saling bertatapan. Saling menyentuh seakan hanya siang itu hari terakhir kami
bisa saling bersentuhan. Dan melenguh seakan hanya siang itu hari terakhir kami
bisa saling mengeluarkan lenguhan.
Di saat-saat seperti itu, di
kebutaan seperti itu, saya tak perlu meraba-raba. Tak pernah ada waktu untuk
berpikir apa yang akan terjadi di hari esok. Apakah benar masih ada hari esok.
Atau apakah masih perlu akan hari esok. Walaupun tidak jarang kebutaan yang
memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia, seperti suara-suara
ponsel yang berdering tak henti-hentinya, namun dengan seketika gerhana mata bekerja. Suara-suara
ponsel yang mengganggu itu berubah menjadi suara lagu. Lembut mendayu-dayu. Tak saya sadari lagi ketika tubuhnya pelan-pelan memisah dan
menjauh. Tak terdengar suaranya yang sengaja
dibuat lirih ketika menjawab panggilan telepon dan mengatakan kalau ia sedang
tidak ingin diganggu dengan alasan penyakit lambungnya tengah kambuh. Saya tetap merasakan tubuhnya melekat. Saya tetap
mendengar suaranya melantunkan senandung yang membuat saya merasa itulah saat
terindah untuk sekarat. Saya masih melihat matanya sedang menatap. Mata yang
seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini yang berarti kecuali
saya. Tidak ada apa pun di dunia ini yang lebih penting dari saya. Mata saya
pun semakin buta. Dicengkeram gerhana. Semakin kabur. Semakin dalam ke muara cinta tubuh ini tercebur.
Kami hanya bertemu kala siang. Kala
api rindu sudah semalaman memanggang. Kala segala garis maupun lekukan amat
nyata terlihat dengan mata telanjang. Segala garis maupun lekukan itu selalu
diikuti bayang-bayang. Dan dalam bayang-bayang itulah kami betemu dan bersatu.
Di sanalah kami saling menjamu keinginan antara satu dengan yang satu.
Banyak yang mempertanyakan. Kenapa
saya bertemu hanya kala siang? Kenapa tidak pagi atau malam? Karena buta, saya
bilang. Dalam kebutaan saya bisa mengadakan apa pun yang saya inginkan. Tak
terkecuali pagi. Tak terkecuali malam.
Banyak yang tambah mempertanyakan.
Kenapa harus buta? Kenapa tidak menggunakan mata asli demi melihat pagi asli
atau malam asli. Kenapa harus menciptakan buta yang tak asli? Karena cinta, saya bilang. Dalam cinta saya bisa merasakan segala
sesuatunya asli, walaupun di kala pagi dan malam yang tak asli.
Terus terang, saya tidak pernah
dapat memastikan apakah pertanyaan-pertanyaan itu asli. Kadang saya merasa
pertanyaan-pertanyaan itu tidak datang dari orang-orang, melainkan datang dari
diri saya sendiri. Sehingga saya pun tak dapat memastikan apakah jawaban saya
asli. Karena tidak mungkin sesuatu yang asli lahir dari yang tak asli.
Namun lagi-lagi perasaan ini terasa
asli. Walaupun kami hanya bertemu kala siang, atau kala pagi dan malam yang tak
asli. Kalimat di bungkus kondom “ASLI, SERATUS PERSEN
ANTI BOCOR” yang kami robek sebelum bercinta pun asli. Hangat kulitnya
yang tak berjarak. Gerakan tubuhnya yang sebentar menarik sebentar menghentak.
Bunyi ranjang berderak. Jantung keras berdetak. Suara yang semakin lama semakin
serak, adalah asli. Membuat saya selalu merasa tak pernah cukup dan ingin
mengulanginya kembali.
Saya tahu, saya akan bisa
mengulanginya lagi. Tapi dengan satu konsekuensi. Harus mengerti statusnya
sebagai laki-laki beristri. Bertemu kala siang, bukan kala pagi atau malam
hari. Kala siang dengan durasi waktu yang amat sempit. Bukan kala pagi atau
malam hari yang terasa amat panjang dalam penantian dan rindu yang mengimpit.
Membuat saya kerap merasa terjepit. Antara lelah dan lelah. Antara pasrah dan
pasrah. Saya terjebak dan berputar-putar pada dua pilihan yang sama. Saya jatuh
cinta.
Andai saja saya bisa mendepak cinta dan menghadirkan logika, mungkin
tak akan seperti ini saya tak berdaya. Mungkin
suara-suara yang kerap menghantui dengan pertanyaan dan jawaban akan lain
bunyinya. Mungkin malam akan membuat saya takut. Dan dengan tubuh lain ke dalam selimut saya akan beringsut. Juga
tak akan ada siang di mana saya meradang dan menggelepar atas tubuh yang
menyentuh di atas seprai kusut lantas terhenti oleh dering panggilan ponsel
yang membuat satu-satunya fungsi pada tubuhnya yang mempersatukan tubuh kami
jadi menciut.
Mungkin…
Mungkin satu saat nanti ia akan
mengalami gerhana mata seperti saya.
Dan kami bisa tinggal dalam satu dunia yang sama. Tak bertemu hanya kala siang.
Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan mengapa hanya bertemu kala
siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak ada jawaban karena cinta membutakan saya. Diganti dengan jawaban, karena cinta telah membutakan kami berdua.
Mungkin…
Enam tahun sudah waktu bergulir.
Sejak kemarin, di jari manis kanan saya telah melingkar cincin dengan namanya
terukir. Dalam kegelapan malam kedua mata ini menumpahkan air. Di atas
pembaringan tanpa suami yang tetap tak akan hadir.
Wacana di atas memiliki tema “Cinta
Buta”, karena pada cerpen tersebut mengisahkan si Saya yang mencinatai seorang
laki-laki beristri, tetapi tidak pernah menghiraukan perkataan orang-orang di
sekitarnya bahkan dirinya sendiri. Yang ia inginkan hanyalah cinta yang tidak
pernah memandang apa pun. Cinta yang ia miliki adalah cinta buta, tetapi tokoh
“saya” menyebutnya dengan “gerhana mata”. Sedangkan topik pada wacana cerpen
tersebut adalah “Gerhana Mata” karena yang lebih banyak dibicarakan adalah
cinta yang tumbuh dalam hati si “saya” kepada seorang laki-laki beristri.
Sehingga topik pada wacana cerpen berjudul “Gerhana Mata”, karya Djenar Maesa
Ayu adalah “Gerhana Mata” yang setara dengan cinta buta. Bentuk topiknya berupa
frase, yaitu Gerhana Mata. Sedangkan judulnya adalah “Gerhana Mata”, sesuai
dengan topik yang membahas mengenai cinta buta yang dimiliki tokoh saya. Namun,
tokoh saya menyebut ‘cinta buta’ yang dimilikinya dengan sebutan Gerhana Mata.
Berdasarkan data wacana cerpen di
atas, wacana cerpen tersebut berjenis topik persona. Karena pada wacana
tersebut yang dibahas adalah tokoh “ia” yang merupakan seorang laki-laki
beristri yang dicintai oleh tokoh “saya”. Tokoh saya memiliki cinta kepada
seorang laki-laki yang tidak seharusnya ia cintai, sehingga tokoh saya
menamakan cintanya itu cinta buta yang biasa disebutnya dengan Gerhana Mata.
Kriteria Kesinambungan Topik
1.
Jarak
Rujuk Kembali
Pada cerpen Gerhana Mata ini terdapat 116 kalimat dengan
jarak rujuk pada topik yang berbeda pada tiap kalimatnya. Jumlah jarak rujuk
pada wacaa cerpen di atas adalah sebanyak 103 jarak. Dengan perincian sebagai
berikut. Jarak penyebutan topik pertama ke topik kedua adalah 27 klausa. Dari
penyebutan topik kedua ke penyebutan ketiga adalah 14 klausa, dan dari
penyebutan ketiga menuju keempat adalah 62 klausa. Sehingga jarak rujuk pada
wacana cerpen di atas adalah 103. Untuk menentukan jarak rujuk kembali
digunakan rumus sebagai berikut:
Jarak antarklausa
Jumlah Kalimat
Sehingga, 103
116
Dari hasil penghitungan jarak rujuk
kembali diperoleh hasil 0,888. Hal ini berarti jarak rujuk kembali dalam wacana
cerpen Gerhana Mata di atas <1, sehingga kesinambungan topiknya baik.
Dengan penggalan cerpen sebagai
berikut:
Gerhana Mata
..................................
Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orang menamakannya cinta buta. Apa pun namanya saya tidak
peduli. Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin
melihat apa yang ingin saya lihat. Dan hanya ialah yang saya ingin lihat, sang
kekasih bak lentera benderang dalam kegulitaan pandangan mata saya. Dari
sinarnyalah saya mendapatkan siang yang kami habiskan di ranjang-ranjang pondok
penginapan. Saling menatap seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa
saling bertatapan. Saling menyentuh seakan hanya siang itu hari terakhir kami
bisa saling bersentuhan. Dan melenguh seakan hanya siang itu hari terakhir kami
bisa saling mengeluarkan lenguhan.
Di saat-saat seperti itu, di
kebutaan seperti itu, saya tak perlu meraba-raba. Tak pernah ada waktu untuk
berpikir apa yang akan terjadi di hari esok. Apakah benar masih ada hari esok.
Atau apakah masih perlu akan hari esok. Walaupun tidak jarang kebutaan yang
memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia, seperti suara-suara
ponsel yang berdering tak henti-hentinya, namun dengan seketika gerhana mata bekerja. Suara-suara ponsel
yang mengganggu itu berubah menjadi suara lagu.
.........................
Mungkin satu saat nanti ia akan
mengalami gerhana mata seperti saya.
Dan kami bisa tinggal dalam satu dunia yang sama. Tak bertemu hanya kala siang.
Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan mengapa hanya bertemu kala
siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak ada jawaban karena cinta membutakan saya. Diganti dengan jawaban, karena cinta telah membutakan kami berdua.
2.
Kemungkinan Gangguan
Seperti yang telah dijelaskan pada
bab sebelumnya, pada kemungkinan gangguan akan diberikan nilai 1 jika tidak ada
gangguan pada klausa atau kalimat setelahnya. Namun jika terdapat gangguan
topik lain pada klausa atau kalimat setelahnya, maka diberikan nilai 2. Dalam
wacana cerpen Gerhana Mata di atas, terdapat 25 kalimat yang tidak memiliki
gangguan, dan 10 kalimat yang memiliki gangguan. Perbandingan persentase antara
kalimat yang tidak memiliki gangguan dan kalimat yang memiliki gangguan adalah 21,55%
: 8,62%. Dengan perincian hitungan sebagai berikut: kalimat yang tidak memiliki
gangguan adalah 25/116X100=21,55% dan kalimat yang memiliki gangguan adalah
10/116X100=8,62%. Itu artinya, pada wacana cerpen di atas memiliki gangguan
topik sebanyak 100%-21,55% = 78,45%. Wacana cerpen tersebut memiliki
kemungkinan gangguan topik sebanyak
78,45 persen, sehingga nilai gangguan dari wacana tersebut bernilai 2.
Gangguan kalimat yang terdapat pada
penggalan cerpen adalah sebagi berikut:
Tapi saya selalu merasa malam memberi
ketenangan. Semakin gelap semakin ramai. Hampir menyerupai pasar malam yang ingar bingar namun tanpa
penerangan. Sehingga saya tak pernah merasa ketakutan. Tak pernah merasa
tak tenang. Sepanjang mata memandang, hanyalah kegelapan. Tubuh kelihatan amat
samar. Namun, suara-suara begitu jelas terdengar. Begitu dekat. Sedemikian
dekat sehingga aroma napas si empunya suara itu di hidung terasa melekat. Mata saya mulai merapat, semakin gelap, semakin semuanya
akhirnya begitu terang terlihat.
...........................
Di saat-saat seperti itu, di
kebutaan seperti itu, saya tak perlu meraba-raba. Tak pernah ada waktu untuk
berpikir apa yang akan terjadi di hari esok. Apakah benar masih ada hari esok.
Atau apakah masih perlu akan hari esok. Walaupun tidak jarang kebutaan yang
memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia, seperti suara-suara
ponsel yang berdering tak henti-hentinya, namun dengan seketika gerhana mata bekerja. Suara-suara
ponsel yang mengganggu itu berubah menjadi suara lagu. Lembut mendayu-dayu. Tak saya sadari lagi ketika tubuhnya pelan-pelan memisah dan
menjauh. Tak terdengar suaranya yang sengaja
dibuat lirih ketika menjawab panggilan telepon dan mengatakan kalau ia sedang
tidak ingin diganggu dengan alasan penyakit lambungnya tengah kambuh. Saya tetap merasakan tubuhnya melekat. Saya tetap
mendengar suaranya melantunkan senandung yang membuat saya merasa itulah saat
terindah untuk sekarat. Saya masih melihat matanya sedang menatap. Mata yang
seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini yang berarti kecuali
saya. Tidak ada apa pun di dunia ini yang lebih penting dari saya. Mata saya
pun semakin buta. Dicengkeram gerhana. Semakin kabur. Semakin dalam ke muara cinta tubuh ini tercebur.
..................................
Namun lagi-lagi perasaan ini terasa
asli. Walaupun kami hanya bertemu kala siang, atau kala pagi dan malam yang tak
asli. Kalimat di bungkus kondom “ASLI, SERATUS PERSEN
ANTI BOCOR” yang kami robek sebelum bercinta pun asli. Hangat kulitnya
yang tak berjarak. Gerakan tubuhnya yang sebentar menarik sebentar menghentak.
Bunyi ranjang berderak. Jantung keras berdetak. Suara yang semakin lama semakin
serak, adalah asli. Membuat saya selalu merasa tak pernah cukup dan ingin
mengulanginya kembali.
..................................
Andai saja saya bisa mendepak cinta dan menghadirkan logika, mungkin
tak akan seperti ini saya tak berdaya. Mungkin
suara-suara yang kerap menghantui dengan pertanyaan dan jawaban akan lain
bunyinya. Mungkin malam akan membuat saya takut. Dan dengan tubuh lain ke dalam selimut saya akan beringsut. Juga
tak akan ada siang di mana saya meradang dan menggelepar atas tubuh yang
menyentuh di atas seprai kusut lantas terhenti oleh dering panggilan ponsel
yang membuat satu-satunya fungsi pada tubuhnya yang mempersatukan tubuh kami
jadi menciut.
3.
Berterusan
Semakin banyak topik yang muncul
secara berturut-turut dalam wacana, maka semakin tinggi pula tingkat kesinambungannya.
Pada topik utama diberi nilai 0, pada kalimat setelahnya yang mengandung topik
diberi nilai 1,2,3, dan seterusnya. Pada wacana cerpen Gerhana Mata di atas,
topik disebutkan sebanyak 19 kali. Namun, topik berterusan hanya muncul 4 kali,
dengan topik terusan hanya 1, 2, dan bahkan 0 pada setiap topik yang muncul.
Jika dihitung dari jumlah topik terusan, nilai berterusan wacana cerpen Gerhana
Mata adalah 4. Dengan bukti penggalan cerpen seperti berikut:
Banyak yang mempertanyakan. Kenapa
saya bertemu hanya kala siang? Kenapa tidak pagi atau malam? Karena buta, saya bilang. Dalam kebutaan saya bisa mengadakan apa pun
yang saya inginkan. Tak terkecuali pagi. Tak terkecuali malam.
Banyak yang tambah mempertanyakan.
Kenapa harus buta? Kenapa tidak
menggunakan mata asli demi melihat pagi asli atau malam asli. Kenapa harus
menciptakan buta yang tak asli?
Karena cinta, saya bilang. Dalam cinta saya bisa merasakan segala sesuatunya
asli, walaupun di kala pagi dan malam yang tak asli.
SIMPULAN
Berdasarkan
hasil analisis diperolah: (1) tema topik wacana cerpen tersebut. Tema cerpen
Gerhana Mata adalah Cinta Buta, sedangkan topik wacana tersebut adalah Gerhana
Mata. (2) Kesinambungan Topik dengan berpedoman pada tiga kriteria
kesinambungan topik, yaitu jarak rujuk kembali, kemungkinan gangguan, dan
berterusan. Dari masing-masing kriteria tersebut diperoleh hasil jarak rujuk diperoleh hasil 0,888. Hal ini
berarti jarak rujuk kembali dalam wacana cerpen Gerhana Mata di atas <1,
sehingga kesinambungan topiknya baik. Kemungkinan gangguan wacana cerpen
tersebut memiliki kemungkinan gangguan topik sebanyak 78,45 persen, sehingga
nilai gangguan dari wacana tersebut bernilai 2. Kriteria berterusan pada wacana
cerpen Gerhana Mata di atas, topik disebutkan sebanyak 19 kali, topik
berterusan muncul 4 kali, dengan topik terusan hanya 1, 2, dan bahkan 0 pada
setiap topik yang muncul. Jika dihitung dari jumlah topik terusan, nilai
berterusan wacana cerpen Gerhana Mata adalah 4. Dengan demikian, cerpen
“Gerhana Mata”, karya Djenar Maesa Ayu merupakan wacana cerpen yang memiliki
kesinambungan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Hartono, Bambang. 2000. Kajian Wacana Bahasa Indonesia.
Semarang: Unnes.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama
Widya.
Fransiska, Novi. http://novilycious.blogspot.com/2011/07/analisis-kesinambungan-dalam-wacana.html.
diunduh pada 7 Januari 2012.
LAMPIRAN
Gerhana Mata
Karya:
Djenar Maesa Ayu
Malam selalu memberi ketenangan.
Banyak kenangan yang begitu mudah dikais dalam ruang-ruang kegelapan. Kenangan
yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah mengacung-ngacungkan
telunjuknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam bergulir, di atas
pembaringan tanpa kekasih yang tak akan hadir.
Banyak orang yang begitu takut pada
malam. Pada gelap. Pada sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak
mau harus meraba-raba. Membuat jantung mereka berdegup lebih kencang. Membuat
mereka tak tenang. Membuat mereka rela menukar ketidak-tenangan itu dengan
harga listrik walaupun harganya semakin tinggi menjulang.
Tapi saya selalu merasa malam
memberi ketenangan. Semakin gelap semakin ramai. Hampir menyerupai pasar malam
yang ingar bingar namun tanpa penerangan. Sehingga saya tak pernah merasa
ketakutan. Tak pernah merasa tak tenang. Sepanjang mata memandang, hanyalah
kegelapan. Tubuh kelihatan amat samar. Namun, suara-suara begitu jelas
terdengar. Begitu dekat. Sedemikian dekat sehingga aroma napas si empunya suara
itu di hidung terasa melekat. Mata saya mulai merapat, semakin gelap, semakin semuanya
akhirnya begitu terang terlihat.
Mungkin karena itulah saya begitu
membutuhkan cinta. Seperti malam. Seperti gelap. Cinta pun membutakan. Saya
tidak butuh kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala.
Saya tidak perlu menutup semua tirai dan pintu serta menyumbat sela-sela
terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang saya
inginkan sempurna. Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata
saya.
Saya menamakan kebutaan itu gerhana
mata. Orang-orang menamakannya cinta buta. Apa pun namanya saya tidak peduli.
Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat
apa yang ingin saya lihat. Dan hanya ialah yang saya ingin lihat, sang kekasih
bak lentera benderang dalam kegulitaan pandangan mata saya. Dari sinarnyalah
saya mendapatkan siang yang kami habiskan di ranjang-ranjang pondok penginapan.
Saling menatap seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling
bertatapan. Saling menyentuh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa
saling bersentuhan. Dan melenguh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa
saling mengeluarkan lenguhan.
Di saat-saat seperti itu, di
kebutaan seperti itu, saya tak perlu meraba-raba. Tak pernah ada waktu untuk
berpikir apa yang akan terjadi di hari esok. Apakah benar masih ada hari esok.
Atau apakah masih perlu akan hari esok. Walaupun tidak jarang kebutaan yang
memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia, seperti suara-suara
ponsel yang berdering tak henti-hentinya, namun dengan seketika gerhana mata
bekerja. Suara-suara ponsel yang mengganggu itu berubah menjadi suara lagu.
Lembut mendayu-dayu. Tak saya sadari lagi ketika tubuhnya pelan-pelan memisah
dan menjauh. Tak terdengar suaranya yang sengaja dibuat lirih ketika menjawab panggilan
telepon dan mengatakan kalau ia sedang tidak ingin diganggu dengan alasan
penyakit lambungnya tengah kambuh. Saya tetap merasakan tubuhnya melekat. Saya
tetap mendengar suaranya melantunkan senandung yang membuat saya merasa itulah
saat terindah untuk sekarat. Saya masih melihat matanya sedang menatap. Mata
yang seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini yang berarti
kecuali saya. Tidak ada apa pun di dunia ini yang lebih penting dari saya. Mata
saya pun semakin buta. Dicengkeram gerhana. Semakin kabur. Semakin dalam ke
muara cinta tubuh ini tercebur.
Kami hanya bertemu kala siang. Kala
api rindu sudah semalaman memanggang. Kala segala garis maupun lekukan amat
nyata terlihat dengan mata telanjang. Segala garis maupun lekukan itu selalu
diikuti bayang-bayang. Dan dalam bayang-bayang itulah kami betemu dan bersatu.
Di sanalah kami saling menjamu keinginan antara satu dengan yang satu.
Banyak yang mempertanyakan. Kenapa
saya bertemu hanya kala siang? Kenapa tidak pagi atau malam? Karena buta, saya
bilang. Dalam kebutaan saya bisa mengadakan apa pun yang saya inginkan. Tak
terkecuali pagi. Tak terkecuali malam.
Banyak yang tambah mempertanyakan.
Kenapa harus buta? Kenapa tidak menggunakan mata asli demi melihat pagi asli
atau malam asli. Kenapa harus menciptakan buta yang tak asli? Karena cinta,
saya bilang. Dalam cinta saya bisa merasakan segala sesuatunya asli, walaupun
di kala pagi dan malam yang tak asli.
Terus terang, saya tidak pernah
dapat memastikan apakah pertanyaan-pertanyaan itu asli. Kadang saya merasa
pertanyaan-pertanyaan itu tidak datang dari orang-orang, melainkan datang dari
diri saya sendiri. Sehingga saya pun tak dapat memastikan apakah jawaban saya
asli. Karena tidak mungkin sesuatu yang asli lahir dari yang tak asli.
Namun lagi-lagi perasaan ini terasa
asli. Walaupun kami hanya bertemu kala siang, atau kala pagi dan malam yang tak
asli. Kalimat di bungkus kondom “ASLI, SERATUS PERSEN ANTI BOCOR” yang kami
robek sebelum bercinta pun asli. Hangat kulitnya yang tak berjarak. Gerakan
tubuhnya yang sebentar menarik sebentar menghentak. Bunyi ranjang berderak.
Jantung keras berdetak. Suara yang semakin lama semakin serak, adalah asli.
Membuat saya selalu merasa tak pernah cukup dan ingin mengulanginya kembali.
Saya tahu, saya akan bisa
mengulanginya lagi. Tapi dengan satu konsekuensi. Harus mengerti statusnya
sebagai laki-laki beristri. Bertemu kala siang, bukan kala pagi atau malam
hari. Kala siang dengan durasi waktu yang amat sempit. Bukan kala pagi atau
malam hari yang terasa amat panjang dalam penantian dan rindu yang mengimpit.
Membuat saya kerap merasa terjepit. Antara lelah dan lelah. Antara pasrah dan
pasrah. Saya terjebak dan berputar-putar pada dua pilihan yang sama. Saya jatuh
cinta.
Andai saja saya bisa mendepak cinta
dan menghadirkan logika, mungkin tak akan seperti ini saya tak berdaya. Mungkin
suara-suara yang kerap menghantui dengan pertanyaan dan jawaban akan lain
bunyinya. Mungkin malam akan membuat saya takut. Dan dengan tubuh lain ke dalam
selimut saya akan beringsut. Juga tak akan ada siang di mana saya meradang dan
menggelepar atas tubuh yang menyentuh di atas seprai kusut lantas terhenti oleh
dering panggilan ponsel yang membuat satu-satunya fungsi pada tubuhnya yang
mempersatukan tubuh kami jadi menciut.
Mungkin…
Mungkin satu saat nanti ia akan
mengalami gerhana mata seperti saya. Dan kami bisa tinggal dalam satu dunia
yang sama. Tak bertemu hanya kala siang. Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak
ada pertanyaan mengapa hanya bertemu kala siang. Bukan kala pagi atau malam.
Tak ada jawaban karena cinta membutakan saya. Diganti dengan jawaban, karena
cinta telah membutakan kami berdua.
Mungkin…
Enam tahun sudah waktu bergulir.
Sejak kemarin, di jari manis kanan saya telah melingkar cincin dengan namanya
terukir. Dalam kegelapan malam kedua mata ini menumpahkan air. Di atas
pembaringan tanpa suami yang tetap tak akan hadir.
Sumber: Kumpulan Cerpen Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar