STB: Sebagai Tonggak
Sejarah Teater Klangenan
Studiklub Teater Bandung (STB) adalah salah satu kelompok teater
(modern) di Indonesia (Bandung) yang berdiri pada 30 Oktober 1958 (dimotori
oleh dua tokoh penting; Jim Adhilimas dan Suyatna Anirun). Kepeloporan STB
dimulai justru pada saat ‘demam teater’ tahun 1950-an begitu membahana di
berbagai kota besar di Indonesia. Sayangnya, ledakan seni teater pada waktu itu
terlampau banyak melahirkan produksi-produksi teater yang asal menghibur,
permukaan (tidak mendalam), dan sangat amatiran, karena rata-rata senimannya
tidak hendak menggeluti dunia teater dengan sungguh-sungguh.
Ada suatu anggapan bahwa Studiklub Teater Bandung (STB) adalah
kelompok teater (modern) tertua di Indonesia. Jika anggapan itu memang penting
dalam wacana teater Indonesia, tentu harus diperlukan parameter tersendiri
untuk dijadikan ukuran atau patokan: dalam konteks seperti apa STB layak
dinilai sebagai kelompok teater tertua di Indonesia. Sehubungan dengan hal di
atas, ada dua sudut pandang yang cukup berhraga untuk dilihat yang ditawarkan
dua tokoh sejarawan teater dan budayawan di kota Bandung. Kedua tokoh itu
adalah Jakob Sumardjo dan Saini KM.
Jakob Sumardjo dalam magnum opus-nya, Perkembangan
Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia (1992), menyebutkan bahwa ‘ayah
kandung’ atau pelopor utama teater modern di Indonesia adalah kelompok
Sandiwara Penggemar Maya yang didirikan di jaman Jepang, pada 27 Mei 1944, oleh
Usmar Ismail beserta adiknya Dr. Abu Hanifah (Taufik El-Hakim), Rosihan Anwar,
dan beberapa tokoh lain. Kelompok ini, dalam amatan Sumardjo, tampil ke depan
memelopori seni teater ketika dunia seni saat itu tengah ditandai oleh
kencangnya persaingan antara generasi tua (Pujangga Baru) dan generasi muda
yang menuntut pembaharuan konsepsi (ber)kesenian. Gagasan-gagasan dan gairah
baru yang dilontarkan generasi muda saat itu merebak baik di lingkungan sastra
(Chairil Anwar), teater (Usmar Ismail), musik (Cornel Simanjuntak) maupun seni
rupa (Affandi, Resobowo).
Mengapa
kelompok Sandiwara Penggemar Maya?
Menurut Sumardjo, kelompok-kelompok teater amatir sebelumnya, yang
muncul dari lingkungan kaum terpelajar, bersifat musiman belaka dan berpentas
hanya dalam rangka mencari dana organisasi. Sedangkan Maya adalah kelompok
pertama yang terus mementaskan lakon-lakon drama, baik karangan sendiri maupun
karya terjemahan atau saduran lakon-lakon Barat terkemuka. Dan
pementasan-pementasan dengan cara dan gaya semacam itu terus bertahan sampai
dasawarsa-dasawarsa berikutnya.
Sumardjo melihat bahwa meskipun saat itu Maya bersifat amatir namun
telah dapat mengupayakan pementasan secara tetap, dengan mekanisme pengelolaan
produksi yang dilakukan oleh orang-orang yang mempelajari seluk-beluk
pementasan teater modern dari literatur Barat, sehingga profesionalisme dan
kualitas kerja manajemen produksi telah menjadi pegangan utama. Dan cara kerja
Maya rupanya sangat berpengaruh serta dijadikan orientasi oleh
kelompok-kelompok teater tahun 1950-an. Terlebih lagi setelah Usmar Ismail
membentuk Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada tahun 1955, yang
dampaknya—seperti dilaporkan dalam catatan Sumardjo—sangat besar bagi
petumbuhan minat kaum terpelajar/mahasiswa dalam mengembangkan teater modern di
berbagai kota. Termasuk di Bandung, dengan berdirinya STB sebagai kelompok
teater (modern) yang dianggap tertua di Indonesia.
Lain halnya menurut pandangan Saini KM menyebutkan STB sebagai
kelompok teater modern yang mula-mula menghasilkan pencapaian-pencapaian
artistik teater yang mumpuni dengan segenap idealisme dan profesionalisme kerja
teater mereka, dan terus berkesinambungan. Hal ini adalah sebuah fakta yang
mendorong penilaian masyarakat (Bandung) yang menganggap STB sebagai kelompok
teater tertua. Semua pencapaian itu diraih dalam konteks penikmatan teater
sebagai ajang klangenan (pemuas rasa batin untuk kesenangan/pemuliaan
kebutuhan rohaniah semata-mata) para pelaku dan anggota-anggotanya.
Sejak awal berdirinya, menurut Saini, STB adalah murni pengabdi
estetika teater yang tak pernah tergoda untuk melacurkan keseniannya menjadi
alat pemuas kebutuhan fisik (jasmaniah) dan mengubah orientasi keseniannya ke
arah yang dipenuhi pernak-pernik materi. Bagi Saini, STB adalah organisasi
teater pertama yang dikelola oleh orang-orang yang menguasai dan benar-benar
fasih tentang tata drama, sastra, filsafat, dan prinsip-prinsip pemanggungan
teater modern sebagaimana sumber-sumber aslinya, untuk kemudian diterjemahkan
ke atas pentas dengan pola-pola kajian dan pendekatan dramaturgi yang total,
juga karena mereka menguasai benar aspek-aspek praktiknya.
“Langka sekali
pada zaman itu ada sebuah kelompok teater yang jika mau memanggungkan karya
Chekov, atau Ibsen, atau Shakespeare, misalnya, mereka kaji betul secara cerdas
dan mendalam siapa itu Chekov, Ibsen, atau Shakespeare, berikut
pendekatan-pendekatan teaterikalnya. STB adalah kelompok teater awal yang tahu
persis bedanya realisme Ibsen dengan Chekov. Atau bagaimana semestinya
memainkan Shakespeare di atas pentas. Bahkan mereka sangat mendalami dua metode
terpenting dari seni peran, yakni inner-action dari Stanislavsky dan
efek-pengasingan-nya Brecht. Dua metode paling mendasar dan paling berpengaruh
dalam seni akting,” cetus Saini.
Atas kesungguhan dan idealisme mereka dalam menyelami seni drama,
seni akting, dan seni teater (pertunjukan) secara mendalam itulah, dalam
pandangan Saini, mereka benar-benar bisa dianggap telah menciptakan tradisi
teater modern yang baru pada jamannya, tanpa terpengaruh oleh kondisi maupun
pendekatan-pendekatan kerja kreatif kelompok-kelompok teater saat itu.
Meskipun, karena spiritnya adalah klangenan, mereka kerap kali harus
merogoh kocek sendiri demi mengongkosi idealisme yang memang bukan murahan itu.
STB sangat meyakini teater sebagai sesuatu yang not for sale,
karena hakikat teater bukan barang dagangan. Teater adalah sesuatu yang harus
diberi dan dihidupi terus-menerus oleh para pendukungnya, bukan sesuatu yang
bisa dituntut agar mampu menghidupi, begitu menurut keyakinan orang-orang STB.
Untuk bisa menghidupi teater tentu orang harus punya penghidupan. Maka anggota
STB dipersilahkan bertebaran di muka bumi untuk mencari penghidupan di lapangan
apa pun, begitu istilahnya. Bahkan dipersilahkan untuk menggunakan ‘jurus’
teater jika itu memungkinkan dan dibutuhkan. Tetapi saat datang ke teater,
bawalah sesuatu untuk diberikan kepada teater. Orang akan segera kecewa jika
masuk ke STB dengan memendam banyak pengharapan duniawi. Karena STB penyuguh
‘makanan rohani’ sebagaimana mestinya fungsi-fungsi seni yang lain. Jadi,
terlepas dari apakah STB merupakan kelompok teater modern tertua di Indonesia
atau bukan, orang tentu punya sudut pandang dan parameternya masing-masing
untuk menilainya.
**(Yanuaris Fernanda, 2101408032, Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia 2008, Universitas Negeri Semarang)**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar