Pendekatan
Pragmatik
Mengajak
Siswa Belajar Berbicara
ABSTRAK
Harus diakui secara jujur,
keterampilan berbicara di kalangan siswa belum seperti yang diharapkan.
Keterampilan berbicara siswa berada pada tingkat yang rendah; diksi (pilihan
kata)-nya payah, kalimatnya tidak efektif, struktur tuturannya rancu, alur tuturannya
pun tidak runtut dan kohesif. Indikator yang digunakan untuk mengukur
keterampilan siswa dalam berbicara, di antaranya kelancaran berbicara,
ketepatan pilihan kata (diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan
kontak mata.
Paling tidak, ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat
keterampilan siswa dalam berbicara, yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
Yang termasuk faktor eksternal, di antaranya pengaruh penggunaan bahasa
Indonesia di lingkungan keluarga dan masyarakat. Dari faktor internal,
pendekatan pembelajaran, metode, media, atau sumber pembelajaran yang digunakan
oleh guru memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap tingkat keterampilan
berbicara bagi siswa.
Dalam konteks demikian, diperlukan pendekatan pembelajaran keterampilan
berbicara yang inovatif dan kreatif, sehingga proses pembelajaran bisa
berlangsung aktif, efektif, dan menyenangkan. Salah satu pendekatan
pembelajaran yang diduga mampu mewujudkan situasi pembelajaran yang kondusif;
aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan adalah pendekatan pragmatik. Melalui
pendekatan pragmatik, siswa diajak untuk berbicara dalam konteks dan situasi
tutur yang nyata dengan menerapkan prinsip pemakaian bahasa secara
komprehensif.
Kata kunci : pendekatan
pragmatik, pembelajaran bahasa indonesia, keterampilan berbicara
PENDAHULUAN
Salah satu
aspek keterampilan berbahasa yang sangat penting peranannya dalam upaya
melahirkan generasi masa depan yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya
adalah keterampilan berbicara. Dengan menguasai keterampilan berbicara, peserta
didik akan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara cerdas sesuai
konteks dan situasi pada saat dia sedang berbicara. Keterampilan berbicara juga
akan mampu membentuk generasi masa depan yang kreatif sehingga mampu melahirkan
tuturan atau ujaran yang komunikatif, jelas, runtut, dan mudah dipahami. Selain
itu, keterampilan berbicara juga akan mampu melahirkan generasi masa depan yang
kritis karena mereka memiliki kemampuan untuk mengekspresikan gagasan, pikiran,
atau perasaan kepada orang lain secara runtut dan sistematis. Bahkan,
keterampilan berbicara juga akan mampu melahirkan generasi masa depan yang
berbudaya karena sudah terbiasa dan terlatih untuk berkomunikasi dengan pihak
lain sesuai dengan konteks dan situasi tutur pada saat dia sedang berbicara.
Namun, harus
diakui secara jujur, keterampilan berbicara di kalangan siswa belum seperti
yang diharapkan. Kondisi ini tidak lepas dari proses pembelajaran bahasa
Indonesia di sekolah yang dinilai telah gagal dalam membantu siswa terampil
berpikir dan berbahasa sekaligus.
Keterampilan
berbicara siswa berada pada tingkat yang rendah; diksi (pilihan kata)-nya
payah, kalimatnya tidak efektif, struktur tuturannya rancu, alur tuturannya pun
tidak runtut dan kohesif. Indikator yang digunakan untuk mengukur keterampilan siswa
dalam berbicara, di antaranya kelancaran berbicara, ketepatan pilihan kata
(diksi), struktur kalimat, kelogisan (penalaran), dan kontak mata.
Paling
tidak, ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat keterampilan siswa
dalam berbicara, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Yang termasuk
faktor eksternal, di antaranya pengaruh penggunaan bahasa Indonesia di
lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam proses komunikasi sehari-hari, banyak
keluarga yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) sebagai bahasa percakapan
di lingkungan keluarga. Demikian juga halnya dengan penggunaan bahasa Indonesia
di tengah-tengah masyarakat. Rata-rata bahasa ibulah yang digunakan sebagai
sarana komunikasi. Akibatnya,
siswa tidak terbiasa untuk berbahasa Indonesia sesuai dengan konteks dan
situasi tutur.
Dari faktor
internal, pendekatan pembelajaran, metode, media, atau sumber pembelajaran yang
digunakan oleh guru memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap tingkat
keterampilan berbicara bagi siswa. Pada umumnya, guru bahasa Indonesia
cenderung menggunakan pendekatan yang konvensional dan miskin inovasi sehingga
kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara berlangsung monoton dan
membosankan. Para peserta tidak diajak untuk belajar berbahasa, tetapi cenderung
diajak belajar tentang bahasa. Artinya, apa yang disajikan oleh guru di kelas
bukan bagaimana siswa berbicara sesuai konteks dan situasi tutur, melainkan
diajak untuk mempelajari teori tentang berbicara. Akibatnya, keterampilan
berbicara hanya sekadar melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang rasional
dan kognitif belaka, belum manunggal secara emosional dan afektif. Ini artinya,
rendahnya keterampilan berbicara bisa menjadi hambatan serius bagi siswa untuk
menjadi siswa yang cerdas, kritis, kreatif, dan berbudaya.
Dalam
beberapa penelitian ditemukan bahwa pengajaran bahasa Indonesia telah
menyimpang jauh dari misi sebenarnya. Guru lebih banyak berbicara tentang
bahasa (talk about the language)
daripada melatih menggunakan bahasa (using
language). Dengan kata lain, yang ditekankan adalah penguasaan tentang
bahasa (form-focus). Guru bahasa
Indonesia lebih banyak berkutat dengan pengajaran tata bahasa, dibandingkan
mengajarkan kemampuan berbahasa Indonesia secara nyata (Nurhadi, 2000).
Jika kondisi
pembelajaran semacam itu dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin
keterampilan berbicara di kalangan siswa akan terus berada pada aras yang
rendah. Para siswa akan terus-menerus mengalami kesulitan dalam mengekspresikan
pikiran dan perasaannya secara lancar, memilih kata (diksi) yang tepat,
menyusun struktur kalimat yang efektif, membangun pola penalaran yang masuk
akal, dan menjalin kontak mata dengan pihak lain secara komunikatif dan
interaktif pada saat berbicara.
Dalam
konteks demikian, diperlukan pendekatan pembelajaran keterampilan berbicara
yang inovatif dan kreatif, sehingga proses pembelajaran bisa berlangsung aktif,
efektif, dan menyenangkan. Siswa tidak hanya diajak untuk belajar tentang
bahasa secara rasional dan kognitif, tetapi juga diajak untuk belajar dan
berlatih dalam konteks dan situasi tutur yang sesungguhnya dalam suasana yang
dialogis, interaktif, menarik, dan menyenangkan. Dengan cara demikian, siswa
tidak akan terpasung dalam suasana pembelajaran yang kaku, monoton, dan
membosankan. Pembelajaran keterampilan berbicara pun menjadi sajian materi yang
selalu dirindukan dan dinantikan oleh siswa.
Salah satu
pendekatan pembelajaran yang diduga mampu mewujudkan situasi pembelajaran yang
kondusif; aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan adalah pendekatan
pragmatik. Melalui pendekatan pragmatik, siswa diajak untuk berbicara dalam
konteks dan situasi tutur yang nyata dengan menerapkan prinsip pemakaian bahasa
secara komprehensif.
Dalam
pendekatan pragmatik, guru berusaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan keterampilan berbahasa di dalam konteks nyata dan situasi yang
kompleks. Guru juga memberikan pengalaman kepada siswa melalui pembelajaran
terpadu dengan menggunakan proses yang saling berkaitan dalam situasi dan
konteks komunikasi alamiah senyatanya.
Prinsip-prinsip
pemakaian bahasa yang diterapkan dalam pendekatan pragmatik, yaitu (1)
penggunaan bahasa dengan memperhatikan aneka aspek situasi ujaran; (2)
penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesantunan; (3)
penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip kerja sama; dan (4)
penggunaan bahasa dengan memperhatikan faktor-faktor penentu tindak
komunikatif.
Melalui
prinsip-prinsip pemakaian bahasa semacam itu, pendekatan pragmatik dalam
pembelajaran keterampilan berbicara diharapkan mampu membawa siswa ke dalam
situasi dan konteks berbahasa yang sesungguhnya sehingga keterampilan berbicara
mampu melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang rasional, kognitif,
emosional, dan afektif.
Melalui
penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran keterampilan berbicara, para
siswa akan mampu menumbuhkembangkan potensi intelektual, sosial, dan emosional
yang ada dalam dirinya, sehingga kelak mereka mampu berkomunikasi dan
berinteraksi sosial secara matang, arif, dan dewasa. Selain itu, mereka juga
akan terlatih untuk mengemukakan gagasan dan perasaan secara cerdas dan
kreatif, serta mampu menemukan dan menggunakan kemampuan analitis dan
imajinatif yang ada dalam dirinya dalam menghadapi berbagai persoalan yang
muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Yang tidak
kalah penting, para siswa juga akan mampu berkomunikasi secara efektif dan
efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, mampu
menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan
bahasa negara, serta mampu memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan
tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.
PEMBAHASAN
Untuk
mengkaji penggunaan pendekatan pragmatik dalam meningkatkan keterampilan
berbicara bagi siswa digunakan teori yang berkaitan dengan keterampilan
berbicara dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dan teori yang berkaitan dengan
pendekatan pragmatik sebagai inovasi tindakan yang dilakukan dalam upaya
meningkatkan keterampilan berbicara bagi siswa.
Keterampilan Berbicara dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Dalam
lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22
tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah,
khususnya tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran Bahasa
Indonesia secara eksplisit dinyatakan bahwa bahasa memiliki peran sentral dalam
perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan
penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran
bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan
budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam
masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan
kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.
Pembelajaran
bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan
maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan
manusia Indonesia. Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan
kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan
pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan
sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik
untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.
Dengan
standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia semacam itu diharapkan: (1) peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan,
kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil
karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri; (2) guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa
peserta didik dengan menyediakan berbagai
kegiatan berbahasa dan sumber belajar; (3) guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan
kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta
didiknya; (4) orang tua dan masyarakat dapat
secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di
sekolah; (5) sekolah dapat menyusun program
pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta
didik dan sumber belajar yang tersedia; dan (6) daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan
sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan
kepentingan nasional.
Adapun
tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah agar peserta didik memiliki
kemampuan: (1) berkomunikasi secara efektif
dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis; (2) menghargai
dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara;
(3) memahami bahasa Indonesia dan
menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; (4) menggunakan bahasa Indonesia untuk
meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial; (5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,
memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa; (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan
intelektual manusia Indonesia.
Sedangkan,
ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakupi komponen- kemampuan
berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek: (1) mendengarkan; (2) berbicara; (3) membaca; dan (4) menulis.
Berdasarkan
pernyataan tersebut dapat ditegaskan bahwa keterampilan berbicara merupakan
salah salah satu aspek kemampuan berbahasa yang wajib dikembangkan.
Keterampilan berbicara memiliki posisi dan kedudukan yang setara dengan aspek
keterampilan mendengarkan, membaca, dan menulis.
Keterampilan
Berbicara
Tarigan (2005:15) dengan menitikberatkan pada kemampuan pembicara menyatakan bahwa
berbicara merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atas kata-kata
untuk mengekspresikan, menyatakan, seta menyampaikan pikiran, gagasan, dan
perasaan. Sedangkan, sebagai bentuk atau wujudnya, berbicara dinyatakan sebagai
suatu alat untuk mengomunikasikan gagasangagasan yang disusun serta
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak.
Hal senada
juga dikemukakan oleh Mulgrave (1954:3-4). Dia menyatakan bahwa berbicara
adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa atau katakata untuk
mengekspresikan pikiran. Selanjutnya, dinyatakan bahwa berbicara merupakan
sistem tanda yang dapat didengar dan dilihat yang memanfaatkan otot-otot dan jaringan otot manusia untuk mengomunikasikan ide-ide. Berbicara
juga dipahami sebagai bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor fisik,
psikis, neurologis, semantik, dan linguistik secara ekstensif sehingga dapat
digunakan sebagai alat yang sangat penting untuk melakukan kontrol sosial.
Merujuk pada
pendapat tersebut, keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan
keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata
untuk menceritakan, mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan,
dan perasaan kepada orang lain.
Pendekatan Pragmatik dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara
Secara jujur harus diakui bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia belum
berlangsung seperti yang diharapkan. Pembelajaran Bahasa Indonesia lebih
cenderung bersifat teoretis dan kognitif daripada mengajak siswa untuk belajar
berbahasa Indonesia dalam konteks dan situasi yang nyata. Akibatnya, apa yang
diperoleh siswa di kelas dalam pembelajaran Bahasa Indonesia tidak bisa
diterapkan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain,
pembelajaran Bahasa Indonesia terlepas dari konteks pengalaman dan lingkungan
siswa. Hal ini bisa menimbulkan dampak yang cukup serius terhadap keterampilan
siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam peristiwa dan konteks
komunikasi.
Apa yang
anak-anak peroleh di sekolah, sebagian hanya hafalan dengan tingkat pemahaman yang
rendah. Siswa hanya tahu bahwa tugasnya adalah mengenal fakta-fakta, sementara
keterkaitan antara fakta-fakta itu dengan pemecahan masalah belum mereka
kuasai.
Dalam
konteks demikian, diperlukan upaya serius melalui penggunaan pendekatan yang
inovatif dan kreatif agar pembelajaran Bahasa Indonesia bisa berlangsung dalam
suasana yang kondusif, interaktif, dinamis, terbuka, menarik, dan menyenangkan.
Melalui proses pembelajaran semacam itu, siswa diharapkan dapat
menumbuhkembangkan kemampuan intelektual, sosial, dan emosional, sehingga mampu
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar sesuai
dengan konteks dan sitiuasinya.
Hal itu
sejalan dengan pernyataan dalam lampiran Peraturan Mendiknas RI Nomor 22 tahun
2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, khususnya
yang berkaitan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran
Bahasa Indonesia. Dalam lampiran tersebut secara eksplisit ditegaskan bahwa
bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan
emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari
semua bidang studi.
Pembelajaran
bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan
budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam
masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan
kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya. Pembelajaran bahasa
Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan
maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan
manusia Indonesia. Salah satu pendekatan pembelajaran yang diduga mampu
menciptakan suasana yang kondusif; interaktif, dinamis, terbuka, inovatif,
kreatif, menarik, dan menyenangkan adalah pendekatan pragmatik.
Pendekatan
pragmatik termasuk salah satu pendekatan komunikatif yang mulai digunakan dalam
pengajaran bahasa sejak munculnya penolakan terhadap paham behaviorisme melalui
metode drill-nya. Pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa dirintis oleh
Michael Halliday dan Dell Hymes. Hymes menciptakan istilah communicative competence, yaitu kompetensi berbahasa yang tidak
hanya menuntut ketepatan gramatikal, tetapi juga ketepatan dalam konteks
sosial.
Pengikutsertaan anak-anak dalam latihan komunikasi itu amat penting pengajaran
bahasa. Anak-anak dengan tingkat
pembangkitan input yang tinggi (high
input generating) memperoleh kemampuan berbahasanya dari bertanya,
menjawab, menyanggah, dan beradu argumen dengan orang lain. Anak-anak yang
lambat belajar, berarti ia juga pasif dalam berlatih berbahasa nyata atau pasif
dalam berkomunikasi menggunakan bahasa.
Inti dari
temuan itu adalah bahwa keaktifan anak-anak di kelas dalam pembelajaran bahasa
perlu dilakukan melalui aktivitas berlatih berujar secara nyata.
Penelitian-penelitian itu pada akhirnya menghasilkan sejumlah hipotesis baru
tentang pembelajaran bahasa. Secara umum ada korelasi antara perilaku aktif ini
dengan perolehan belajar anak. Dengan kata lain, hasil penelitian dalam bidang
pengajaran bahasa menyarankan adanya program pengajaran bahasa yang menekankan
pada pembangkitan input anak-anak (latihan bercakap-cakap, membaca, atau
menulis yang sebenarnya).
Pembelajaran
kompetensi komunikatif yang menjadi muara akhir pencapaian pembelajaran bahasa
Indonesia memiliki ciri-ciri: (1) makna itu penting, mengalahkan struktur dan bentuk; (2) konteks itu penting, bukan item bahasa; (3) belajar bahasa itu belajar berkomunikasi; (4) target penguasaan sistem bahasa itu dicapai melalui proses mengatasi
hambatan berkomunikasi; (5) kompetensi
komunikatif menjadi tujuan utama, bukan kompetensi kebahasaan; (6) kelancaran dan keberterimaan bahasa menjadi tujuan, bukan sekedar ketepatan
bahasa. Siswa didorong untuk selalu berinteraksi dengan siswa lain (Brown, 2001: 45).
Penggunaan
pendekatan pragmatik dalam pengajaran Bahasa Indonesia juga didasari oleh
prinsip bahwa guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai sebuah keterampilan,
antara lain pengintegrasian antara bentuk dan makna, penekanan pada kemampuan
berbahasa praktis, dan interaksi yang produktif antara guru dengan siswa.
Prinsip pertama menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang
diperoleh, berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful). Dengan kata lain,
agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang tidak bermanfaat
dalam komunikasi sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata bahasa bahasa
Indonesia yang sangat linguistis.
Melalui pengajaran bahasa Indonesia, siswa diharapkan mampu menangkap ide
yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis, serta mampu
mengungkapkan gagasan dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun
tertulis. Penilaian hanya sebagai sarana pembelajaran bahasa, bukan sebagai
tujuan. Diharapkan agar di kelas terjadi suasana interaktif sehingga tercipta
masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada peran guru yang
dominan. Guru diharapkan sebagai “pemicu” kegiatan berbahasa lisan dan tulis.
Peran guru sebagai orang yang tahu atau pemberi informasi pengetahuan bahasa
Indonesia agar dihindari.
Ciri lain
yang menandai adanya penggunaan pendekatan pragmatik dalam pembelajaran
keterampilan berbicara adalah penggunaan konteks tuturan. Hal ini dimaksudkan
agar peserta didik memperoleh gambaran penggunaan bahasa Indonesia dalam
konteks dan situasi yang nyata.
Konteks
adalah sesuatu yang menjadi sarana pemerjelas suatu maksud. Sarana itu meliputi
dua macam, yaitu: berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud;
dan berupa situasi yang
berhubungan dengan suatu kejadian. Konteks yang berupa bagian ekspresi yang
dapat mendukung kejelasan maksud disebut koteks (co-text), sedangkan konteks yang berupa situasi yang berhubungan
dengan suatu kejadian disebut konteks (contex)
(Rustono 1999:20).
Berdasarkan
beberapa pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan
pragmatik sebagai inovasi dalam pengajaran keterampilan berbicara siswa dimaksudkan untuk melatih dan membiasakan siswa untuk berbicara sesuai
dengan konteks dan situasi tutur senyatanya sehingga siswa dapat memperoleh
manfaat praktis untuk diterapkan dalam peristiwa komunikasi sehari-hari.
PENUTUP
Teori yang
digunakan adalah teori yang berkaitan dengan aspek keterampilan berbicara dalam
mata pelajaran Bahasa Indonesia dan teori yang berkaitan dengan pendekatan
pragmatik sebagai inovasi tindakan yang dilakukan dalam upaya dalam
meningkatkan keterampilan berbicara siswa.
Melalui alur
penggunaan pendekatan pragmatik tersebut, siswa diharapkan dapat berbicara dengan menggunakan pilihan kata yang tepat dan kalimat yang efektif sesuai
konteks dan situasi tutur. Artinya, pilihan kata dan struktur kalimat yang
digunakan dalam berbicara sangat ditentukan oleh konteks dan situasi tutur yang
telah ditentukan oleh siswa. Pendekatan ini memberikan keleluasaan kepada siswa
untuk memilih dan menentukan pokok pembicaraan yang hendak diceritakan, sedangkan guru hanya memberikan rambu-rambu sebagai
pedoman bagi siswa dalam berbicara.
DAFTAR
PUSTAKA
Brown, Gillian dan Yule.
2001. Analisis Wacana. (Terjemahan I Soetikno). Jakarta: PT Gramedia.
Chaer, Abdul dan
Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta:
Rineka Cipta.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip
- Prinsip Pragmatik. (Terjemahan M.D.D. Oka). Jakarta: Indonesia University
Press.
Permendiknas RI Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi.
Purwo, Bambang
Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Kanisius.
Tarigan, Djago, dkk.
2005. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Wijana, I Dewa Putu.
1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta : Andi Offset.
Yule, George. 1996. Pragmatik.
(Terjemahan Indah Fajar W dan Rombe Mustajab). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar