Pemilihan Bahasa
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Sosiolinguistik
Disusun oleh:
Kelompok 1
1.
Siti Farihah (2101408112)
2.
Meina Febriani (2101408106)
3.
Annisa Citra Sparina (2101408034)
4.
Arina Hanani (2101409035)
Rombel: 02
JURUSAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2011
PEMILIHAN
BAHASA
Dalam masyarakat multibahasa tersedia
berbagai kode, baik berupa bahasa, dialek, variasi, dan gaya untuk digunakan
dalam interaksi sosial. Untuk istilah terakhir, Kartomihardjo (1988) lebih suka
mempergunakan istilah ragam sebagai padanan dari style. Dengan tersedianya kode-kode itu, anggota masyarakat akan
memilih kode yang tersedia sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Dalam interaksi sehari-hari, anggota masyarakat secara konstan mengubah variasi
penggunaan bahasanya.
Ada asumsi penting di dalam
sosiolinguistik yang menyatakan bahwa bahasa itu tidak pernah monolitik
keberadaannya (Bell 1975). Bahasa selalu mempunyai ragam atau variasi. Asumsi
itu mengandung pengertian bahwa sosiolinguistik memandang masyarakat yang
dikajinya sebagai masyarakat yang beragam setidak-tidaknya dalam hal penggunaan
bahasa. Adanya fenomena penggunaan variasi bahasa dalam masyarakat tutur
dikontrol oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan situasional (Kartomihardjo
1981; Fasold 1984; Hudson 1996).
Pemilihan bahasa (language choice) dalam
masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji dari
perspektif sosiolingistik. Bahkan Fasold (1984: 180) mengemukakan bahwa
sosiolionguistik dapat menjadi bidang studi karena adanya pilihan bahasa.
Fasold memberikan ilustrasi dengan istilah societal multilingualism yang
mengacu pada kenyataan adanya banyak bahasa dalam masyarakat. Tidaklah ada bab
tentang diglosia apabila tidak ada variasi tinggi dan rendah. Pada kenyataannya
setiap bab dari buku sosiolinguistik karya Fasold (1984) memusatkan pada
paparan tentang kemungkinan adanya pilihan bahasa yang dilakukan masyarakat
terhadap penggunaan variasi bahasa. Statistik sekalipun menurut Fasold tidak
akan diperlukan dalam sosiolinguistik apabila tidak ada variasi penggunaan
bahasa dan pilihan di antara variasi-variasi tersebut.
Howard Giles (1996) dan kawan-kawan
melihat pemilihan bahasa berhubungan dengan keinginan seseorang individu untuk
memperjelas maupun mengaburkan hubungan dirinya dengan kelompok bahasa
tertentu. Ide dasar dari teori akomodasi adalah bahwa secara umum seorang
penutur bahasa akan berupaya masuk dalam suatu pembicaran (convergence) melalui pemilihan bahasa yang sesuai dengan keperluan
peserta yang terlibat dalam komunikasi. Sebaliknya, apabila tidak ingin masuk
dalam suatu pembicaran (divergence),
individu tersebut akan memutuskan penggunaan bahasa tertentu secara sadar
Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984:
180) tidak sesederhana yang kita bayangkan, yakni memilih sebuah bahasa secara
keseluruhan (whole language) dalam
suatu peristiwa komunikasi. Kita membayangkan seseorang yang menguasai dua
bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana yang akan ia gunakan. Misalnya,
seseorang yang menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia harus memilih salah
satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada orang lain dalam
peristiwa komunikasi.
Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga
kategori pilihan. Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra language variation). Apabila
seorang penutur bahasa Jawa berbicara kepada orang lain dengan menggunakan
bahasa Jawa kromo, misalnya, maka ia telah melakukan pilihan bahasa kategori
pertama ini. Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching), artinya menggunakan satu bahasa pada satu
keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain dalam satu
peristiwa komunikasi. Ketiga, dengan melakukan campur kode (code mixing) artinya menggunakan satu
bahasa tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain.
Peristiwa peralihan bahasa atau alih
kode dapat terjadi karena beberapa faktor. Reyfield (1970: 54-58) berdasarkan
studinya terhadap masyarakat dwibahasa Yahudi-Inggris di Amerika mengemukakan
dua faktor utama, yakni respon penutur terhadap situasi tutur dan faktor
retoris. Faktor pertama menyangkut situasi seperti kehadiran orang ketiga dalam
peristiwa tutur yang sedang berlangsung dan perubahan topik pembicaraan. Faktor
kedua menyangkut penekanan kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap
kata-kata yang tabu. Menurut Blom dan Gumperz (1972: 408-409) teradapat dua
macam alih kode, yaitu (1) alih kode situasional (situational switching) dan
(2) alih kode metaforis. Alih kode yang pertama terjadi karena perubahan
situasi dan alih kode yang kedua terjadi karena bahasa atau ragam bahasa yang
dipakai merupakan metofora
yang melambangkan identitas penutur.
Campur kode (code mixing) merupakan peristiwa percampuran dua atau lebih bahasa
atau ragam bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Di dalam masyarakat tutur Jawa
yang diteliti ini juga terdapat gejala ini. Gejala seperti ini cenderung mendekati pengertian
yang dikemukakan oleh Haugen (1972: 79-80) sebagai bahasa campuran (mixture of language), yaitu pemakaian
satu kata, ungkapan, atau frase. Di Filipina menurut Sibayan dan Segovia (1980:
113) disebut mix-mix atau halu-halu atau taglish untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Tagalog dan
bahasa Inggris. Di Indonesia, Nababan (1978: 7) menyebutnya dengan istilah
bahasa gado-gado untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan
bahasa daerah.
Faktor Penanda Pilihan
Bahasa
Pilihan bahasa dalam interaksi sosial
masyarakat dwibahasa/ multibahasa
disebabkan oleh berbagai faktor sosial dan budaya. Evin-Tripp
mengidentifikaskan empat faktor utama sebagai penda pilihan bahasa penutur
dalam interkasi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi; (2)
partisipan dalam interkasi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi.
Faktor pertama dapat berupa hal-hal seperti
makan pagi di lingkungan keluarga, rapat di keluarahan, selamat kelahiran di
sebuah keluarga, kuliah, dan tawar menawar barang di pasar. Faktor kedua mencakup
hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, dan
perannnya dalam hubungan dengan mitra tutur. Hubungan dengan mitra tutur dapat
berupa hubungan akrab dan berjarak. Faktor ketiga dapat berupa topik tentang
pekerjaan, keberhasilan anak, peristiwa-peristiwa aktual, dan topik harga
barang di pasar. Faktor keempat berupa hal-hal seperti penawaran informasi,
permohonan, kebiasaan rutin (salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima
kasih).
Senada dengan Evin-Tripp, Grosjean
(1982: 136) berpendapat tentang faktor-faktor yang berpengaruh dalam pilihan
bahasa. Menurut Grosjean terdapat empat faktor yang mempengaruhi pilihan bahasa
dalam interaksi sosial, yaitu (1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, dan
(4) fungsi interaksi.
Faktor situasi mengacu pada (1) lokasi
atau latar, (2) kehadiran pembicara monolingual, (3) tingkat formalitas, dan
(4) tingkat keakraban. Faktor isi mengisi wacana mengacu pada (1) topik
pembicaraan, dan (2) tipe kosakata. Fatkor fungsi interaksi mencakupi aspek
(1) menaikan status, (2) penciptaan jarak sosial, (3) melarang masuk/
mengeluarkan sesorang dari pembicaraan, dan (4) memerintah atau meminta.
Dari paparan
berbagai faktor di atas, yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak terdapat
faktor tunggal yang dapat mempengaruhi pilihan bahasa sesorang. Yang menjadi
pertanyaan adalah apakah faktor-faktor itu memiliki kedudukan yang sama
pentingnya?. Kajian penelitian pemilihan bahasa yang pernah dilakukan terdahulu
diketahui bahwa umunya beberapa faktor menduduki kedudukan yang lebih penting
daripada faktor lain. Di Obserwart, Gal (1982) menemukan bukti bahwa
karakteristik penutur dan mitra tutur menduduki faktor yang penentu pilihan
bahasa dalam masyarakat tersebut. Sedangkan faktor topik dan latar merupakan
faktor yang kurang penting daripada faktor partisipan.
Berbeda dengan Gal, Rubin (1982)
menemukan faktor penentu yang terpenting adalah lokasi tempat berlangsungya
peristiwa tutur. Dalam penelitiannya tentang pilihan bahasa Guarani dan Spanyol
di Paraguay,
Rubin menyimpulkan bahwa lokasi interaksi yaitu (1) desa, (2) sekolah, dan (3)
tempat umum sangat menentukan pilihan bahasa masyarakat. Di desa pembicara akan
memilih bahasa
Guarani, di sekolah akan memilih bahasa Spanyol, dan di tempat umum memilih
bahasa Spanyol.
Tiga Pendekatan Kajian
Pemilihan Bahasa
Kajian pemilihan bahasa menurut Fasold
(1984: 183) dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan
sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi. Ketiga
pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pendekatan sosiologi berkaitan dengan
analisis ranah. Pendekatan ini pertama dikemukakan oleh Fishman (1964). Ranah menurut
Fishman merupakan konstelasi
faktor lokasi, topik, dan partisipan. Ranah didesfinisikan pula sebagai
konsepsi sosiokultural yang diabstraksikan dari topik komunikasi, hubungan
peran antar-komunikator, dan tempat komunikasi di dalam keselarasan dengan
pranata masyarakat dan merupakan bagian dari aktivitas masyarakat tutur
(Fishman dalam Pride dan Holmes (eds) 1972). Di bagian lain Fishman (dalam Amon
1987) mengemukakakan bahwa ranah adalah konspesi teoretis yang menandai satu
situasi interaksi yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh
tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan
pekerjaan. Sebagai contoh, apabila penutur berbicara di rumah dengan seorang
anggota keluarga mengenai sebuah topik, maka penutur itu dikatakan berada pada
ranah keluarga. Pemilihan ranah ini mengacu pada pendapat Fishman.
Berbeda dengan pendekatan sosiologi,
pendekatan psikologi sosial lebih tertarik pada proses psikologis manusia
daripada kategori dalam masyarakat luas. Pendekatan ini lebih berorientasi pada
individu seperti motivasi individu daripada berorientasi pada masyarakat.
Karya-karya penting kajian pemilihan bahasa dengan pendekatan psikologi sosial
telah dilakukan oleh Simon Herman (1968), Giles et al. (1973) Bourhish dan
Taylor (1977).
Herman (dalam Fasold 1984) mengemukakan
teori situasi tumpang tindih yang mempengaruhi seseorang di dalam memilih bahasa.
Situasi yang dimaksud adalah (1) kebutuhan personal (personal needs), (2) situasi latar belakang (background situation) dan (3) situasi sesaat (immediate situation). Dalam pemilihan bahasa salah satu situasi
lebih dominan daripada situasi lain.
Giles (1977: 321-324) mengajukan teori
akomodasi (accommodation theory).
Menurut Giles terdapat dua arah akomodasi penutur dalam peristiwa tutur.
Pertama, akomodasi ke atas yang terjadi apabila penutur menyesuaikan pilihan
bahasanya dengan pilihan bahasa mitra tutur. Kedua, akomodasi ke bawah, yang
terjadi apabila penutur menginginkan agar mitra tuturnya menyesuaikan dengan
pilihan bahasanya.
Pandangan Herman dan Giles tersebut
mengimplikasikan adanya hubungan yang maknawi antara tingkat kondisi psikologis
peserta tutur dan pemilihan bahasanya. Dengan demikian, untuk mengungkap
permasalahan pemilihan bahasa perlu pula dilakukan tilikan dari segi kondisi
psikologis orang per orang dalam masyarakat tutur ketika mereka melakukan
pemilihan bahasa atau ragam bahasa.
Seperti halnya pendekatan psikologi
sosial, pendekatan antropologi tertarik dengan bagaimana seorang penutur
berhubungan dengan struktur masyarakat. Perbedaannya adalah bahwa apabila
psikologi sosial memandang dari sudut kebutuhan psikologis penutur, pendekatan
antropologi memandangnya dari bagaimana seseorang memilih bahasa untuk
mengungkapkan nilai kebudayaan (Fasold 1984: 193). Dari segi metodologi kajian
terdapat perbedaan antara pendekatan sosiologi, psikologi sosial, dan
antropologi. Dua pendekatan pertama yang disebut lebih mengarahkan kajiannya
pada data kuesioner dan observasi atas subjek yang ditelitinya. Sedangkan
pendekatan yang ketiga menempatkan nilai yang tinggi pada perilaku
takterkontrol yang alamiah.
Daftar Pustaka
Rokhman,
Fathur. 2008. Silabus dan Hand out
Perkuliahan Mahasiswa. Unnes.
Fasold, Ralph. 1990. The Sociolinguistics of Language.
Oxford: Basil Blackwell.
Fasold, Ralp. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell.
Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. New
York: Longman.
Hudson,
R.A. 1992. Sociolinguistics (Second
Edition). Cambridge: Cambridge University Press.
Kartomihardjo,
Soeseno. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan
Masyarakat. Jakarta: Depdikbud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar