PARAMETER
PRAGMATIK
Tugas Mata Kuliah Pragmatik
Dosen Pengampu: - Prof. Dr. Rustono, M.Hum.
-
Ahmad
Syaifudin, S.S.
Oleh:
ü Annisa Citra Sparina 2101408034
ü Arini Mega Silviana 2101408108
ü Dewi Istiqomah 2101408109
ü Ihsanni Devi Aryati 2101408114
Rombel : 4
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
PARAMETER PRAGMATIK
Semakin panjang bentuk tuturan semakin besar pula keinginan
penutur untuk berlaku sopan kepada lawan tuturnya. Hal-hal yang yang mengatur
strategi pemilihan bentuk-bentuk yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda
ini disebut parameter pragmatik.
Parameter ialah
garis-garis yang menentukan atau menandakan keluasan atau batasan sesuatu,
keluasan yang ada batasan-batasannya. Contoh kalau ditinjau secara objektif,
parameter kesetiaan seseorang berkisar dalam ruang bulatan yang berlegar dan
bertindih; watak-watak didalamnya bertingkah laku secara konkrit dalam
lingkungan.
Kesopanan adalah
amalan tingkah laku yang mematuhi peraturan-peraturan sosial yang terdapat
dalam sesebuah masyarakat. Seseorang yang tidak mematuhi peraturan-peraturan
soaial ini dianggap tidak sopan. Perilaku yang menonjolkan ketidaksopanan lebih
merujuk kepada perilaku seseorang yang ditonjolkan secara personal yang boleh
menimbulkan suasana konflik dan ketegangan yang lebih besar. Dengan kata lain
setiap orang harus bertindak dengan penuh kesopanan antara satu dengan lainnya
berdasarkan norma kesopanan dalam sesebuah masyarakat.
Parameter
pragmatik harus diamati secara cermat agar lawan tutur tidak merasa kehilangan
muka (face). Menurut
Goffman (Wardaugh, 1986, 284; Allan, 1986, 10) dalam percakapan yang kooperatif
para peserta percakapan menerima ‘muka’ yang ditawarkan oleh lawan bicaranya.
Adapun yang dimaksud dengan ‘muka’ dalam hal ini adalah citra diri yang harus
diperhatikan oleh lawan tutur. ‘Muka’ yang ditawarkan itu berbeda-beda
bergantung pada situasi pembicaraan. Muka yang ditawarkan penutur memiliki dua
kemungkinan, yakni muka positif dan muka negatif. Muka positif terwujud bila
ide-ide, atribut, milik, prestasi, tujuan, dsb. Yang dimiliki oleh seseorang
dihargai oleh lawan tuturnya. Muka negatif adalah keinginan seseorang untuk
tidak diserang, diejek, atau dihinakan oleh lawan tuturnya. Dalam konteks pemakaian bahasa dua aspek ini dapat
menimbulkan sesuatu yang tidak mengenakkan bila pemuasan salah satu aspek
mengandung pelanggaran terhadap yang lain.
Terdapat
tiga skala pengukur peringkat kesantunan berbahasa yang sampai kini masih
banyak digunakan sebagai dasar acuan penelitian kesantunan berbahasa dengan
kerangka linguistik pragmatik. Skala kesantuan tersebut adalah:
1. Skala Kesantunan Leech
Dalam model kesantunan Geoffrey N. Leech (1993),
dijelaskan bahwa setiap maksim interpersonal di dalam kerangka pragmatik dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat
kesantunan dari sebuah tuturan.
a.
Cost-benefit scale atau skala kerugian-keuntungan. Skala kesantutan
berbahasa ini menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang
diakibatkan oleh sebuah tindak tutur di dalam peristiwa pertuturan tertentu.
Semakin dampak dari sebuah tuturan tersebut merugikan bagi diri si penuturnya
sendiri, maka cenderung akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian
sebaliknya, semakin tuturan tersebut menguntungkan bagi diri penuturnya sendiri
dan merugikan bagi sang mitra tuturnya, akan semakin dianggap tidak santunlah
tuturan itu.
b.
Optionality scale atau skala pilihan. Skala kesantunan ini menunjuk
kepada banyak atau sedikitnya alternative pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur dalam
praktik bertutur yang sebenarnya. Semakin pertuturan memungkinkan si penutur
atau mitra tutur itu menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan semakin
dianggap santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya apabila pertuturan itu sama
sekali tidak memberikan kemungkinan untuk menentukan pilihan bagi penutur dan
mitra tutur, tuturan tersebut akan
dianggap sangat tidak santun.
c.
Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan. Skala kesantunan
berbahasa ini menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud
dari sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung, to
the point, apa adanya, tidak berbelit-belit, tidak banyak basa-basi, akan
cenderung dianggap semakin tidak santunlah tuturan yang demikian itu. Demikian
juga sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan, semakin banyak
sasmita, sanepo, samudana dan isyarat yang dikandung di dalamnya, akan dianggap
semakin santunlah tuturan tersebut.
d.
Authority scale atau skala keotoritasan atau skala kekuasaan. Skala
kesantunan berbahasa ini menunjuk kepada hubungan status sosial antara si
penutur dan si mitra tutur yang terlibat di dalam proses pertuturan tertentu.
Ditegaskan dalam skala kesantunan berbahasa ini, bahwa semakin jauh distansi
atau jarak peringkat sosial (rank rating)
antara si penutur dengan si mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung
menjadi semakin sopan dan kian santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak
peringkat status sosial diantara kedua belah pihak tersebut dalam bertutur,
akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan itu
dalam keseluruhan aktivitas bertutur itu.
e.
Social distance scale atau skala jarak sosial. Skala kesantunan ini menunjuk
kepada peringkat hubungan sosial antara si penutur dan mitra tutur yang
terlibat di dalam pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak
peringkat sosial diantara keduanya, akan menjadi semakin berkurang santunlah
tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara
penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan
orang-orang yang belum benar-benar dekat dan akrab, orang sudah sangat sering
menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang cenderung informal dan cenderung
akrab. Maka lalu yang muncul adalah tuturan-tuturan yang dipandang tidak sopan
dan kurang santun, penuturnya juga akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu
sopan santun sama sekali.
2. Skala Kesantunan Brown Dan Levinson
Model kesantunan berbahasa dari Brown dan Levinson
(1987) terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan
berbahasa yang muncul di dalam sebuah pertuturan sebenarnya. Ketiga skala
tersebut adalah :
a. Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra
tutur (social distance between speaker
and hearer) skala ini banyak ditentukan oleh parameter perbedaan di dalam
hal umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural seseorang. Berkenaan
dengan perbedaan umur antara si penutur dan mitra tutur itu, lazimnya
didapatkan kenyataan bahwa semakin tua umur seseorang peringkat kesantunan
dalam bertuturnya akan menjadi semakin tinggi. Begitu pula sebaliknya. Orang
yang berjenis kelamin wanita, lazimnya juga memiliki peringkat kesantunan yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin pria atau
laki-laki. Latar belakang sosiokultural seseorang memiliki peran yang sangat
besar dalam menentukan peringkat kesantunan yang dimilikinya. Orang yang
memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat cenderung memiliki peringkat
kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan orang.
b. Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra
tutur (the speaker and hearer relative
power) atau sering kali disebut juga dengan peringkat kekuatan atau
kekuasaan (power rating). Skala
pengukuran kesantunan ini didasarkan pada kedudukan asimetrik antara si penutur
dan si mitra tutur.
c. Skala
peringkat
tindak tutur atau tindak ujar, atau sering pula disebut dengan rank rating. Skala kesantunan berbahasa
itu lengkapnya berbunyi, the degree of
imposition associated with the required expenditure of goods or services
didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur
yang lainnya di dalam sebuah praktik pertuturan yang sesungguhnya. Sebagai
contohnya, di dalam situasi yang sangat khusus, bertamu di rumah seorang wanita
dengan melewati batas waktu bertamu yang wajar, akan dikatakan sebagai orang
yang tidak tahu sopan santun dan bahkan melanggar norma kesantunan yang berlaku
pada masyarakat tutur tertentu. Namun demikian, hal yang sesungguhnya persis
sama akan dapat dianggap sangat wajar terjadi di dalam situasi yang tidak sama.
Misalnya saja, pada saat di suatu kota terjadi kerusuhan dan pembakaran
gedung-gedung dan kompleks perumahan, bisa saja orang berada di rumah orang
lain atau rumah tetangganya bahkan sampai pada waktu yang tidak ditentukan, dia
tetap akan dianggap sopan, bahkan ketika dia menjerit-jerit karena ketakutan
sekalipun.
3.
Skala Kesantunan Robin Lakoff
Robin Lakoff (1973)
menyatakan adanya tiga ketentuan pokok untuk dapat dipenuhinya skala kesantuan
di dalam kegiatan bertutur di dalam masyarakat. Ketiga ketentuan itu secara
berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut : (1) skala formalitas (formality scale), (2) skala
ketidaktegasan (besitancy scale), dan
(3) skala kesamaan atau kesekawanan (equality
scale). Berikut uraian dari setiap skala kesantunan tersebut satu demi
satu.
a. Skala formalitas (formality scale), dinyatakan bahwa agar
para peserta tutur dapat merasa benar-benar nyaman dan sungguh kerasan di dalam
keseluruhan proses kegiatan bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh
bernada memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh atau congkak terhadap pihak
lainnya. Di dalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat
menjaga keformalitasan dan mampu menjaga jarak yang sewajarnya dan
senatural-naturalnya antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Tanpa
memperhatikan hal tersebut, tuturan yang muncul dipastikan tidak akan memenuhi
standar kesantunan berbahasa yang berlaku di dalam masyarakat tuturnya.
b. Skala
kesantunan Robin Lakoff yang kedua, yakni skala ketidaktegasan atau keraguan (besitancy scale) atau sering kali
disebut juga dengan pilihan (optionality
scale), menunjukan bahwa agar si penutur dan mitra tutur dapat saling
merasa nyaman dan tetap kerasan di dalam aktivitas bertutur sapa,
pilihan-pilihan dalam bertutur itu harus selalu diberikan oleh kedua belah
pihak secara benar-benar memadai dan proporsional. Dalam hal ini, orang tidak
diperbolehkan untuk bersikap terlalu tegang dan teramat kaku di dalam aktivitas
bertutur yang sesungguhnya, karena akan dianggap sebagai orang yang tidak
santun di dalam masyarakat bahasanya.
c. Skala
kesantunan dari Robin Lakoff yang ketiga, yakni peringkat kesekawanan atau
kesamaan, menunjukan bahwa agar dapat berciri sopan santun, orang harus
senantiasa ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu
dengan pihak yang lainnya. Agar dapat tercapai maksud yang demikian itu,
penutur harus dapat menganggap sang mitra tutur benar-benar sebagai teman atau
sahabat bagi dirinya. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi
dirinya. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi piak lainnya,
rasa kesekawanan, rasa solider, dan rasa kesejajaran sebagai salah satu
prasyarat hadirnya kesopanan atau kesantunan akan dapat tercapai dengan
benar-benar baik. Sayang bahwa yang umumnya terjadi pada masyarakat, rasa
kesejajaran atau kesederajadan ini telah banyak melemah atau bahkan meluntur.
Denga begitu pula, kesantunan yang ada di dalam masyarakat itu juga semakin
rendah peringkat atau kadarnya. Inilah keprihatinan, yang barangkali perlu
segera, mendapat tanggapan dari setiap warga masyarakat Indonesia, agar
kita-kita ini tidak tercerabut dari budaya kita sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Rohmadi,
Muhammad. 2004. Pragmatik: Teori dan
Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media.
Wijana,
I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik.
Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar