Selasa, 21 Februari 2012

PARAMETER PRAGMATIK


  
PARAMETER PRAGMATIK


Tugas Mata Kuliah Pragmatik
Dosen Pengampu:   - Prof. Dr. Rustono, M.Hum.
-  Ahmad Syaifudin, S.S.







Oleh:
ü Annisa Citra Sparina        2101408034
ü Arini Mega Silviana         2101408108
ü Dewi Istiqomah               2101408109 
ü Ihsanni Devi Aryati          2101408114 
Rombel          : 4



PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011




PARAMETER PRAGMATIK


Semakin panjang bentuk tuturan semakin besar pula keinginan penutur untuk berlaku sopan kepada lawan tuturnya. Hal-hal yang yang mengatur strategi pemilihan bentuk-bentuk yang memiliki tingkat kesopanan yang berbeda ini disebut parameter pragmatik.
Parameter ialah garis-garis yang menentukan atau menandakan keluasan atau batasan sesuatu, keluasan yang ada batasan-batasannya. Contoh kalau ditinjau secara objektif, parameter kesetiaan seseorang berkisar dalam ruang bulatan yang berlegar dan bertindih; watak-watak didalamnya bertingkah laku secara konkrit dalam lingkungan.
Kesopanan adalah amalan tingkah laku yang mematuhi peraturan-peraturan sosial yang terdapat dalam sesebuah masyarakat. Seseorang yang tidak mematuhi peraturan-peraturan soaial ini dianggap tidak sopan. Perilaku yang menonjolkan ketidaksopanan lebih merujuk kepada perilaku seseorang yang ditonjolkan secara personal yang boleh menimbulkan suasana konflik dan ketegangan yang lebih besar. Dengan kata lain setiap orang harus bertindak dengan penuh kesopanan antara satu dengan lainnya berdasarkan norma kesopanan dalam sesebuah masyarakat.
Parameter pragmatik harus diamati secara cermat agar lawan tutur tidak merasa kehilangan muka (face).  Menurut Goffman (Wardaugh, 1986, 284; Allan, 1986, 10) dalam percakapan yang kooperatif para peserta percakapan menerima ‘muka’ yang ditawarkan oleh lawan bicaranya. Adapun yang dimaksud dengan ‘muka’ dalam hal ini adalah citra diri yang harus diperhatikan oleh lawan tutur. ‘Muka’ yang ditawarkan itu berbeda-beda bergantung pada situasi pembicaraan. Muka yang ditawarkan penutur memiliki dua kemungkinan, yakni muka positif dan muka negatif. Muka positif terwujud bila ide-ide, atribut, milik, prestasi, tujuan, dsb. Yang dimiliki oleh seseorang dihargai oleh lawan tuturnya. Muka negatif adalah keinginan seseorang untuk tidak diserang, diejek, atau dihinakan oleh lawan tuturnya. Dalam konteks pemakaian bahasa dua aspek ini dapat menimbulkan sesuatu yang tidak mengenakkan bila pemuasan salah satu aspek mengandung pelanggaran terhadap yang lain.
            Terdapat tiga skala pengukur peringkat kesantunan berbahasa yang sampai kini masih banyak digunakan sebagai dasar acuan penelitian kesantunan berbahasa dengan kerangka linguistik pragmatik. Skala kesantuan tersebut adalah:

1.  Skala Kesantunan Leech
Dalam model kesantunan Geoffrey N. Leech (1993), dijelaskan bahwa setiap maksim interpersonal di dalam kerangka pragmatik dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan dari sebuah tuturan.
a.    Cost-benefit scale atau skala kerugian-keuntungan. Skala kesantutan berbahasa ini menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur di dalam peristiwa pertuturan tertentu. Semakin dampak dari sebuah tuturan tersebut merugikan bagi diri si penuturnya sendiri, maka cenderung akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan tersebut menguntungkan bagi diri penuturnya sendiri dan merugikan bagi sang mitra tuturnya, akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu.
b.    Optionality scale atau skala pilihan. Skala kesantunan ini menunjuk kepada banyak atau sedikitnya alternative pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada mitra tutur dalam praktik bertutur yang sebenarnya. Semakin pertuturan memungkinkan si penutur atau mitra tutur itu menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan semakin dianggap santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan untuk menentukan pilihan bagi penutur dan mitra tutur,  tuturan tersebut akan dianggap sangat tidak santun.
c.    Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan. Skala kesantunan berbahasa ini menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud dari sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung,  to the point, apa adanya, tidak berbelit-belit, tidak banyak basa-basi, akan cenderung dianggap semakin tidak santunlah tuturan yang demikian itu. Demikian juga sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan, semakin banyak sasmita, sanepo, samudana dan isyarat yang dikandung di dalamnya, akan dianggap semakin santunlah tuturan tersebut.
d.   Authority scale atau skala keotoritasan atau skala kekuasaan. Skala kesantunan berbahasa ini menunjuk kepada hubungan status sosial antara si penutur dan si mitra tutur yang terlibat di dalam proses pertuturan tertentu. Ditegaskan dalam skala kesantunan berbahasa ini, bahwa semakin jauh distansi atau jarak peringkat sosial (rank rating) antara si penutur dengan si mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin sopan dan kian santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial diantara kedua belah pihak tersebut dalam bertutur, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan itu dalam keseluruhan aktivitas bertutur itu.
e.    Social distance scale atau skala jarak sosial. Skala kesantunan ini menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara si penutur dan mitra tutur yang terlibat di dalam pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial diantara keduanya, akan menjadi semakin berkurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan orang-orang yang belum benar-benar dekat dan akrab, orang sudah sangat sering menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang cenderung informal dan cenderung akrab. Maka lalu yang muncul adalah tuturan-tuturan yang dipandang tidak sopan dan kurang santun, penuturnya juga akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun sama sekali.

2.  Skala Kesantunan Brown Dan Levinson
Model kesantunan berbahasa dari Brown dan Levinson (1987) terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan berbahasa yang muncul di dalam sebuah pertuturan sebenarnya. Ketiga skala tersebut adalah :
a.    Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and hearer) skala ini banyak ditentukan oleh parameter perbedaan di dalam hal umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural seseorang. Berkenaan dengan perbedaan umur antara si penutur dan mitra tutur itu, lazimnya didapatkan kenyataan bahwa semakin tua umur seseorang peringkat kesantunan dalam bertuturnya akan menjadi semakin tinggi. Begitu pula sebaliknya. Orang yang berjenis kelamin wanita, lazimnya juga memiliki peringkat kesantunan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin pria atau laki-laki. Latar belakang sosiokultural seseorang memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan peringkat kesantunan yang dimilikinya. Orang yang memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan orang.
b.    Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur (the speaker and hearer relative power) atau sering kali disebut juga dengan peringkat kekuatan atau kekuasaan (power rating). Skala pengukuran kesantunan ini didasarkan pada kedudukan asimetrik antara si penutur dan si mitra tutur.
c.    Skala peringkat tindak tutur atau tindak ujar, atau sering pula disebut dengan rank rating. Skala kesantunan berbahasa itu lengkapnya berbunyi, the degree of imposition associated with the required expenditure of goods or services didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lainnya di dalam sebuah praktik pertuturan yang sesungguhnya. Sebagai contohnya, di dalam situasi yang sangat khusus, bertamu di rumah seorang wanita dengan melewati batas waktu bertamu yang wajar, akan dikatakan sebagai orang yang tidak tahu sopan santun dan bahkan melanggar norma kesantunan yang berlaku pada masyarakat tutur tertentu. Namun demikian, hal yang sesungguhnya persis sama akan dapat dianggap sangat wajar terjadi di dalam situasi yang tidak sama. Misalnya saja, pada saat di suatu kota terjadi kerusuhan dan pembakaran gedung-gedung dan kompleks perumahan, bisa saja orang berada di rumah orang lain atau rumah tetangganya bahkan sampai pada waktu yang tidak ditentukan, dia tetap akan dianggap sopan, bahkan ketika dia menjerit-jerit karena ketakutan sekalipun.

3.  Skala Kesantunan Robin Lakoff
Robin Lakoff (1973) menyatakan adanya tiga ketentuan pokok untuk dapat dipenuhinya skala kesantuan di dalam kegiatan bertutur di dalam masyarakat. Ketiga ketentuan itu secara berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut : (1) skala formalitas (formality scale), (2) skala ketidaktegasan (besitancy scale), dan (3) skala kesamaan atau kesekawanan (equality scale). Berikut uraian dari setiap skala kesantunan tersebut satu demi satu.
a.    Skala formalitas (formality scale), dinyatakan bahwa agar para peserta tutur dapat merasa benar-benar nyaman dan sungguh kerasan di dalam keseluruhan proses kegiatan bertutur, tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan tidak boleh berkesan angkuh atau congkak terhadap pihak lainnya. Di dalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan mampu menjaga jarak yang sewajarnya dan senatural-naturalnya antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Tanpa memperhatikan hal tersebut, tuturan yang muncul dipastikan tidak akan memenuhi standar kesantunan berbahasa yang berlaku di dalam masyarakat tuturnya.
b.    Skala kesantunan Robin Lakoff yang kedua, yakni skala ketidaktegasan atau keraguan (besitancy scale) atau sering kali disebut juga dengan pilihan (optionality scale), menunjukan bahwa agar si penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dan tetap kerasan di dalam aktivitas bertutur sapa, pilihan-pilihan dalam bertutur itu harus selalu diberikan oleh kedua belah pihak secara benar-benar memadai dan proporsional. Dalam hal ini, orang tidak diperbolehkan untuk bersikap terlalu tegang dan teramat kaku di dalam aktivitas bertutur yang sesungguhnya, karena akan dianggap sebagai orang yang tidak santun di dalam masyarakat bahasanya.
c.    Skala kesantunan dari Robin Lakoff yang ketiga, yakni peringkat kesekawanan atau kesamaan, menunjukan bahwa agar dapat berciri sopan santun, orang harus senantiasa ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Agar dapat tercapai maksud yang demikian itu, penutur harus dapat menganggap sang mitra tutur benar-benar sebagai teman atau sahabat bagi dirinya. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi dirinya. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi piak lainnya, rasa kesekawanan, rasa solider, dan rasa kesejajaran sebagai salah satu prasyarat hadirnya kesopanan atau kesantunan akan dapat tercapai dengan benar-benar baik. Sayang bahwa yang umumnya terjadi pada masyarakat, rasa kesejajaran atau kesederajadan ini telah banyak melemah atau bahkan meluntur. Denga begitu pula, kesantunan yang ada di dalam masyarakat itu juga semakin rendah peringkat atau kadarnya. Inilah keprihatinan, yang barangkali perlu segera, mendapat tanggapan dari setiap warga masyarakat Indonesia, agar kita-kita ini tidak tercerabut dari budaya kita sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Rohmadi, Muhammad. 2004. Pragmatik: Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar