Sabtu, 07 September 2013

TRADISI PESTA SEKOLAH




TRADISI PESTA SEKOLAH 
Semangat Kekeluargaan Masyarakat Manggarai



Suatu siang ada seorang mama yang tidak saya kenal datang ke rumah mengantarkan undangan. Seraya menyerahkan sebuah amplop, mama itu meminta dengan sangat agar saya bisa hadir dalam pesta yang digelarnya. Setelah mama itu berlalu saya segera membuka amlop tersebut. Bentuk yang begitu sederhana bagi sebuah undangan pesta, berupa fotokopian hitam putih, itu pun hanya setengah lembar. Ada yang menarik mata saya begitu membacanya, sebuah kalimat yang dicetak lebih besar dari tulisan lain, tegi mohas agu momang. Tak mengetahui arti kalimat berbahasa Manggarai tersebut, kontan saja saya menanyakannya kepada mama kos yang sedang tiduran di kamarnya sembari menunjukkan kertas undangan yang belum lama saya dapatkan itu.
“Artinya meminta dengan belas kasihan. Ini undangan pesta sekolah, Enu,” jawab mama singkat lalu melanjutkan istirahat siangnya.
Pesta sekolah? Hmm…. Saya teringat sesuatu. Salah satu rekan guru saya pernah berkata bahwa masyarakat Manggarai mempunyai rasa kekeluargaan yang tinggi, salah satunya melalui tradisi pesta sekolah. Sesuai dengan namanya, pesta sekolah adalah suatu pesta yang diadakan untuk keperluan sekolah. Dengan mengadakan pesta ini, pihak  penyelenggara berharap dapat mengumpulkan sejumlah uang untuk menambah biaya sekolah anaknya, terutama ketika akan masuk perguruan tinggi.
Masyarakat Manggarai yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani sadar benar bahwa pendidikan merupakan salah satu jalan agar mereka terlepas dari belenggu kemiskinan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa biaya pendidikan di perguruan tinggi tidaklah murah, apalagi bagi mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Dengan mengadakan pesta sekolah inilah, mereka dapat  mengatasi kekurangan materi yang mereka alami. Mereka saling berbagi, bergotong royong meringankan beban satu sama lain.
Penasaran dengan pesta yang tak biasa ini, saya beserta satu rekan dan ditemani oleh mama kos menghadiri undangan yang saya terima itu.
Ketika masuk tenda pesta, kami langsung disambut oleh tuan rumah pemilik hajat. Kami langsung diiring menuju panggung untuk berjabat tangan dengan anaknya yang akan mendaftar kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jawa. Selain berjabat tangan, di panggung itu pula kami memberikan ‘amplop’ kami yang diletakkan di sebuah piring yang telah disediakan di atas meja. Setelah itu kami dipersilakan duduk.
Pesta dengan tujuan pengumpulan dana ini sangat terasa bedanya dengan pesta-pesta lain yang pernah saya ikuti semenjak tinggal di Manggarai. Saya melihat tenda sederhana dengan deretan kursi-kursi plastik, serta panggung yang dibiarkan apa adanya tanpa dekorasi apapun. Tak ada keyboard maupun penyanyi yang menghibur para tamu layaknya pesta lain, yang ada hanya alunan rekaman musik pop Manggarai yang sedang tenar saat itu. Tak ada kudapan, yang ada hanya secangkir kopi hitam kental khas Flores yang menjadi suguhan. Menu makanpun tidak beragam, hanya sayur dan  lauk seadanya.
Betul-betul sederhana untuk ukuran acara yang disebut pesta. Pesta ini bukan untuk bergoyang ria, tapi sebagai ajang untuk memberikan dukungan moril maupun materil bagi anak yang akan melanjutkan pendidikan. Dalam acara ini tampak nyata betul rasa kekeluargaan yang terjalin di antara masyarakat Manggarai.
Selain untuk mengumpulkan dana, tradisi pesta sekolah juga dijadikan sebagai ajang untuk memberikan wejangan bagi anak yang akan melanjutkan pendidikannya. Tentu saja nilai positif acara ini bertambah lagi. Kucuran nasihat dari orang tua maupun orang-orang yang dituakan menjadi pemantik semangat bagi anak tersebut untuk bisa meraih apa yang dicita-citakannya. Ada sebuah peribahasa yang dipegang teguh oleh masyarakat Manggarai, ‘lalong bakok du lakon, lalong rombeng du kolen’, yang kurang lebih artinya orang yang akan pergi awalnya hanya sebagai orang biasa saja, harapannya ketika nanti kembali pulang ia dapat berguna bagi banyak orang dan menjadi kebanggaan keluarga.
Elis, seorang mahasiswa yang sedang paraktik mengajar di sekolah saya mengaku bahwa tradisi pesta sekolah dapat membantu meringankan beban orang tuanya membayar biaya masuk perguruan tingginya. “Aih…. Mana mungkin saya punya papa mama mampu bayar saya punya biaya studi kalau tidak ada acara macam begitu,” jelasnya.
Disadari atau tidak, tradisi pesta sekolah yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun ini sangat bermanfaat bagi perkembangan pendidikan di kabupaten Manggarai. Berkat tradisi ini, banyak anak lulusan sekolah menengah atas yang berhasil melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan tinggi meskipun ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Andai di Jawa ada tradisi seperti itu, pasti tingginya angka putus sekolah dapat lebih ditekan.
Berbicara andai-andai, saya jadi teringat beberapa hal. Pernah suatu petang motor yang saya kendarai mogok di tengah hutan yang sepi, di mana tak ada penerangan, juga tak ada sinyal. Tidak tahu harus berbuat apa, saya hanya melihat dan menerka-nerka apa yang terjadi dengan motor saya karena saya memang tidak begitu paham tentang dunia permotoran. Beberapa pengendara yang lewat kemudian berhenti dan menanyakan apa yang terjadi, setelah itu turun tangan memperbaiki motor saya. Alhasil, meskipun tidak beres seutuhnya, untuk sementara yang penting saya bisa sampai di rumah. Bayangkan jika kejadian ini tidak berlangsung di Manggarai. Sebut saja di salah satu ruas utama kota Semarang, ketika itu saya berteriak-teriak minta bantuan untuk mengangkat motor saya yang tergelincir di selokan karena hujan deras, pengendara-pengendara kota itu hanya memandang kemudian berpaling begitu saja.
Kembali ke Manggarai, pernah juga suatu waktu saya harus mendorong motor saya karena kehabisan bahan bakar. Kemudian seorang pengendara yang tidak saya kenal, dengan suka relanya menyedot sebagian isi tangki motornya untuk diisikan di tangki saya yang benar-benar kering. Bayangkan kembali jika kejadian ini tidak berlangsung di Manggarai. Mungkin pengguna-pengguna jalan lain hanya berlalu-lalang melintas dan membiarkan saya mendorong motor sampai menemukan penjual bensin terdekat.
Ah, jika ingin membanding-bandingkan, terlalu banyak hal yang bisa dibandingkan. Pada intinya, meskipun secara garis keturunan saya tidak memiliki keluarga di Manggarai, tetapi justru di sinilah saya menemukan keluarga yang benar-benar keluarga. Hai orang-orang kota, masihkah kalian disibukkan dengan urusan kalian masing-masing?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar