TRADISI PESTA SEKOLAH
Semangat Kekeluargaan
Masyarakat Manggarai
Suatu
siang ada seorang mama yang tidak saya kenal datang ke rumah mengantarkan
undangan. Seraya menyerahkan sebuah amplop, mama itu meminta dengan sangat agar
saya bisa hadir dalam pesta yang digelarnya. Setelah mama itu berlalu saya
segera membuka amlop tersebut. Bentuk yang begitu sederhana bagi sebuah
undangan pesta, berupa fotokopian hitam putih, itu pun hanya setengah lembar.
Ada yang menarik mata saya begitu membacanya, sebuah kalimat yang dicetak lebih
besar dari tulisan lain, tegi mohas agu
momang. Tak mengetahui arti kalimat berbahasa Manggarai tersebut, kontan
saja saya menanyakannya kepada mama kos yang sedang tiduran di kamarnya sembari
menunjukkan kertas undangan yang belum lama saya dapatkan itu.
“Artinya
meminta dengan belas kasihan. Ini undangan pesta sekolah, Enu,” jawab mama singkat lalu melanjutkan istirahat siangnya.
Pesta
sekolah? Hmm…. Saya teringat sesuatu.
Salah satu rekan guru saya pernah berkata bahwa masyarakat Manggarai mempunyai
rasa kekeluargaan yang tinggi, salah satunya melalui tradisi pesta sekolah. Sesuai
dengan namanya, pesta sekolah adalah suatu pesta yang diadakan untuk keperluan
sekolah. Dengan mengadakan pesta ini, pihak
penyelenggara berharap dapat mengumpulkan sejumlah uang untuk menambah
biaya sekolah anaknya, terutama ketika akan masuk perguruan tinggi.
Masyarakat
Manggarai yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani sadar benar
bahwa pendidikan merupakan salah satu jalan agar mereka terlepas dari belenggu
kemiskinan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa biaya pendidikan di perguruan tinggi
tidaklah murah, apalagi bagi mereka yang berasal dari kalangan menengah ke
bawah. Dengan mengadakan pesta sekolah inilah, mereka dapat mengatasi kekurangan materi yang mereka alami.
Mereka saling berbagi, bergotong royong meringankan beban satu sama lain.
Penasaran
dengan pesta yang tak biasa ini, saya beserta satu rekan dan ditemani oleh mama
kos menghadiri undangan yang saya terima itu.
Ketika
masuk tenda pesta, kami langsung disambut oleh tuan rumah pemilik hajat. Kami
langsung diiring menuju panggung untuk berjabat tangan dengan anaknya yang akan
mendaftar kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jawa. Selain berjabat tangan,
di panggung itu pula kami memberikan ‘amplop’ kami yang diletakkan di sebuah
piring yang telah disediakan di atas meja. Setelah itu kami dipersilakan duduk.
Pesta
dengan tujuan pengumpulan dana ini sangat terasa bedanya dengan pesta-pesta
lain yang pernah saya ikuti semenjak tinggal di Manggarai. Saya melihat tenda
sederhana dengan deretan kursi-kursi plastik, serta panggung yang dibiarkan apa
adanya tanpa dekorasi apapun. Tak ada keyboard
maupun penyanyi yang menghibur para tamu layaknya pesta lain, yang ada hanya
alunan rekaman musik pop Manggarai yang sedang tenar saat itu. Tak ada kudapan,
yang ada hanya secangkir kopi hitam kental khas Flores yang menjadi suguhan. Menu
makanpun tidak beragam, hanya sayur dan lauk
seadanya.
Betul-betul
sederhana untuk ukuran acara yang disebut pesta. Pesta ini bukan untuk
bergoyang ria, tapi sebagai ajang untuk memberikan dukungan moril maupun
materil bagi anak yang akan melanjutkan pendidikan. Dalam acara ini tampak
nyata betul rasa kekeluargaan yang terjalin di antara masyarakat Manggarai.
Selain
untuk mengumpulkan dana, tradisi pesta sekolah juga dijadikan sebagai ajang
untuk memberikan wejangan bagi anak yang akan melanjutkan pendidikannya. Tentu
saja nilai positif acara ini bertambah lagi. Kucuran nasihat dari orang tua
maupun orang-orang yang dituakan menjadi pemantik semangat bagi anak tersebut
untuk bisa meraih apa yang dicita-citakannya. Ada sebuah peribahasa yang
dipegang teguh oleh masyarakat Manggarai, ‘lalong
bakok du lakon, lalong rombeng du kolen’, yang kurang lebih artinya orang
yang akan pergi awalnya hanya sebagai orang biasa saja, harapannya ketika nanti
kembali pulang ia dapat berguna bagi banyak orang dan menjadi kebanggaan keluarga.
Elis,
seorang mahasiswa yang sedang paraktik mengajar di sekolah saya mengaku bahwa
tradisi pesta sekolah dapat membantu meringankan beban orang tuanya membayar biaya
masuk perguruan tingginya. “Aih…. Mana
mungkin saya punya papa mama mampu bayar saya punya biaya studi kalau tidak ada
acara macam begitu,” jelasnya.
Disadari
atau tidak, tradisi pesta sekolah yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun
ini sangat bermanfaat bagi perkembangan pendidikan di kabupaten Manggarai. Berkat
tradisi ini, banyak anak lulusan sekolah menengah atas yang berhasil melanjutkan
studinya ke jenjang pendidikan tinggi meskipun ia berasal dari keluarga yang
kurang mampu. Andai di Jawa ada tradisi seperti itu, pasti tingginya angka
putus sekolah dapat lebih ditekan.
Berbicara
andai-andai, saya jadi teringat beberapa hal. Pernah suatu petang motor yang
saya kendarai mogok di tengah hutan yang sepi, di mana tak ada penerangan, juga
tak ada sinyal. Tidak tahu harus berbuat apa, saya hanya melihat dan
menerka-nerka apa yang terjadi dengan motor saya karena saya memang tidak begitu
paham tentang dunia permotoran. Beberapa pengendara yang lewat kemudian
berhenti dan menanyakan apa yang terjadi, setelah itu turun tangan memperbaiki
motor saya. Alhasil, meskipun tidak beres seutuhnya, untuk sementara yang
penting saya bisa sampai di rumah. Bayangkan jika kejadian ini tidak
berlangsung di Manggarai. Sebut saja di salah satu ruas utama kota Semarang,
ketika itu saya berteriak-teriak minta bantuan untuk mengangkat motor saya yang
tergelincir di selokan karena hujan deras, pengendara-pengendara kota itu hanya
memandang kemudian berpaling begitu saja.
Kembali
ke Manggarai, pernah juga suatu waktu saya harus mendorong motor saya karena
kehabisan bahan bakar. Kemudian seorang pengendara yang tidak saya kenal,
dengan suka relanya menyedot sebagian isi tangki motornya untuk diisikan di
tangki saya yang benar-benar kering. Bayangkan kembali jika kejadian ini tidak
berlangsung di Manggarai. Mungkin pengguna-pengguna jalan lain hanya berlalu-lalang
melintas dan membiarkan saya mendorong motor sampai menemukan penjual bensin
terdekat.
Ah, jika ingin
membanding-bandingkan, terlalu banyak hal yang bisa dibandingkan. Pada intinya,
meskipun secara garis keturunan saya tidak memiliki keluarga di Manggarai,
tetapi justru di sinilah saya menemukan keluarga yang benar-benar keluarga. Hai
orang-orang kota, masihkah kalian disibukkan dengan urusan kalian
masing-masing?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar