BAB
I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Pada
zaman dahulu, banyak kata-kata yang mempunyai kaitan dengan alat sekitar dan
budaya atau kebiasaan sehari-hari masyarakat pemakainya sehingga lahir istilah
“bahasa adalah jiwa masyarakat”. Hal ini bisa dimaklumi karena dengan mengkaji
bahasa kita dapat memahami sedikit atau banyak budaya masyarakat pemakai bahasa
tersebut. Joyce O. Hertzler (1965) mengatakan bahwa bahasa dapat memancarkan
identitas rasa, penunjuk pangkat, derajat, keturunan, hubungan kekeluargaan,
cara pemikiran, aktivitas harian, kreativitas, ilmu, teknologi, cara/gaya
hidup, adat dan budaya suatu bangsa. Bahkan, sebagian bangsa ada yang
membedakan pemakaian bahasa untuk golongan atau kelompok laki-laki dan
perempuan. Sementara itu, V. Tauli (1974) dalam bukunya The Theory of Language Planning menyatakan bahwa banyak individu
yang dapat menilai bahasa yang dipakainya. Dia mengetahui apakah bahasa yang
dipakainya betul atau tidak, sopan atau tidak. Menurutnya, individu bebas
memilih laras (register) apa yang digunakan, resmi atau tidak, ilmiah atau
tidak, biasa atau tidak, akrab atau tidak, formal atau tidak, baku atau tidak,
halus atau tidak; bahkan ia suka-suka memilih dialek, kreol, slang, bahasa
tulis atau lisan. Jelaslah di sini bahwa individu mempunyai kebebasan yang luas
untuk memilih penggunaan bahasanya. Dijumpai juga individu yang setia
menggunakan bahasa aslinya, mengubah, menukar, atau memindahkan bahasanya. Hal
ini amat bergantung pada penguasaan bahasa. Dia seorang ekabahasa, dwibahasa,
atau multibahasa. Hal inilah yang menyebabkan diperlukan perencanaan bahasa
agar bahasa bisa mengemban fungsinya secara maksimal (dalam Muslich 2007).
2.
RUMUSAN MASALAH
1)
Kebijaksanaan bahasa.
2)
Perencanaan bahasa.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
KEBIJAKSANAAN BAHASA
Mengikuti
rumusan yang disepakati dalam seminar politik bahasa nasional yang diadakan di
Jakarta tahun 1975 maka kebijakan bahasa itu dapat diartikan sebagai pertimbangan
konseptual dan politis yang dimaksudkan untuk dapat memberi perencanaan,
pengarahan dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi
pengelolaan keseluruhan kebahasaan yang dihadapi oleh suatu bangsa secara
nasional.
Masalah-masalah
kebahasaan yang di hadapi setiap bangsa adalah tidak sama, sebab tergantung
terhadap situasi kebahasaan yang ada di dalam negara itu. Negara-negara yang
sudah memiliki sejarah kebahasaan yang cukup, dan di dalam negara itu hanya ada
satu bahasa saja (meskipun dengan sekian dialek dan ragamnya) cenderung tidak
mempunyai masalah kebahasaan yang serius. Negara yang demikian, misalnya, Saudi
Arabia, Jepang, Belanda dan Inggris.
Tetapi negara-negara yang terbentuk
dan memiliki banyak bahasa daerah akan memungkinkan timbulnya persoalan
kebahasaan yang cukup serius serta dapat menimbulkan gejolak sosial dan politik
akibat persoalan bahasa itu. Indonesia sebagai negara yang mempunyai bahasa
daerah tidak kurang dari 400 buah termasuk dalam negara yang mampu
menyelesaikan persoalan multibahasa sejak lama. Peristiwa pengangkatan bahasa
Indonesia yang terjadi pada tanggal 28 oktober 1928 dalam satu ikrar yang
disebut soempah pemoeda itu tidak pernah menimbulkan protes atau reaksi negatif
dari suku-suku lain di Indonesia, meskipun jumlah penuturnya lebih banyak,
berlipat ganda. Kemudian, penetapan bahasa Indonesia menjadi bahasa negara
dalam undang-undang Dasar 1954 pun tidak menimbulkan masalah. Oleh karena
itulah, para pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan bahasa untuk
menetapkan fungsi-fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing
dapat melaksanakan dengan mulus (Chaer 2004).
Tujuan
kebijakan bahasa adalah dapat berlangsungnya komunikasi kenegaraan dan komunikasi
intrabangsa dengan baik, tanpa menimbulkan gejolak sosial dan emosional yang
dapat mengganggu stabilitas bangsa. Oleh karena itu, kebijakan bahasa yang
telah di ambil Indonesia dari perkataan diatas bisa dilihat bahwa kebijaksanaan
bahasa merupakan usaha kenegaraan suatu bangsa untuk menentukan dan menetapkan
dengan tepat fungsi dan status bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di negara
tersebut, agar komunukasi kenegaraan dan kebangsaan dapat berlangsung dengan
baik. Selain memberi keputusan mengenai status, kedudukan, dan fungsi suatu
bahasa, kebijaksanaan bahasa harus pula memberi pengarahan terhadap pengolahan
materi bahasa itu yang biasa disebut sebagai korpus bahasa. Korpus bahasa ini
menyangkut semua komponen bahasa yaitu fonologi, morfologi, sintaksis,
kosakata, serta sistem semantik. Komponen ini juga harus diperhatikan agar
kebijaksanaan kebahasaan itu bersifat menyeluruh dan tuntas. Selanjutnya segala
masalah kebahasaan yang ditemukan dalam menetapkan kebijaksanaan harus segera
dirumuskan dalam bentuk perencanaan bahasa (Chaer 2004).
2. PERENCANAAN
BAHASA
Sebenarnya
banyak ahli bahasa yang pernah membicarakan perencanaan bahasa ini, bahkan ada
pula di antara mereka yang menggunakan istilah yang berlainan untuk maksud yang
sama. R.A. Hall Jr. (1951) telah menggunakan istilah “politik bahasa”
(glottopolitics) yang mengacu kepada penerapan ilmu linguistik oleh suatu
negara untuk menentukan kaidah tertentu yang dipilih untuk mewujudkan keadaan
dwibahasa di dalam daerah jajahan yang mempunyai budaya yang berbeda. G.P
Springer (1956) menggunakan istilah “perekayasaan bahasa” (language
engineering) yang mengacu pada usaha pengabjadan dan pembakuan bahasa yang
belum baku di Uni Soviet. S.T. Alisjahbana (1961) juga menggunakan istilah ini
untuk mengacu pada aktivitas yang dilakukan secara sadar bagi pengembangan
bahasa dalam koteks sosial, budaya, dan perubahan teknologi secara luas.
Istilah
“perencanaan bahasa” (language planning) semula digunakan oleh E. Haugen
(1959) di dalam artikelnya ketika ia melakukan perencanaan bahasa terhadap
bahasa Norwegia. Di dalam usaha tersebut, Haugen telah mendefinisikan
“perencanaan bahasa” sebagai segala usaha yang dilakukan oleh lembaga tertentu
untuk melestarikan atau menumbuh kembangkan bahasa dan melibatkan usaha
pembinaan, pengaturan, dan pembakuan atas bahasa sasaran. Istilah
“perencanaan bahasa” juga digunakan oleh J. Rubin dan B.H. Jernudd (1971) untuk
mengacu kepada usaha suatu lembaga yang bertujuan untuk melaksanakan perubahan
sandi-sandi bahasa atau pertuturan bahasa, atau kedua-duanya. J.A. Fishman
(1968) juga menggunakan istilah “perencanaan bahasa” dan “pembangunan bahasa”
untuk mengacu kepada langkah-langkah yang direncanakan dalam rangka mencari
penyelesaian atas masalah-masalah kebahasaan yang (pada umumnya) dilaksnakan
pada tingkat nasional.
Dalam
praktiknya, perencanaan bahasa Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua aspek,
sebagaimana konsep yang pernah disampaikan oleh J.V. Neustupny (1974), yaitu perencanaan
status dan perencanaan bahan. Perencanaan status adalah perencanaan
yang terkait dengan usaha peningkatan status bahasa Indonesia. Misalnya,
pemberian status bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional,
bahasa negara, dan bahasa resmi. Setelah itu, ditingkatkan lagi statusnya
sebagai bahasa pengantar pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan, bahasa ilmu
pengetahuan, bahkan sebagai bahasa budaya bangsa Indonesia. Perencanaan bahan
adalah perencanaan yang terkait dengan aktivitas penyusunan ejaan, pembakuan
ucapan, pembentukan istilah, penyusunan tatabahasa, penyusunan kamus, dan
sebagainya. Semua langkah ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia (yang
pelaksanaan teknisnya diserahkan kepada Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa) dengan berbagai macam strategi dan kiatnya.
Berbagai Model Perencanaan Bahasa
Berdasarkan
pengertian dan perspektif perencanaan bahasa dari berbagai ahli tersebut,
akhirnya muncul pula berbagai model perencanaan bahasa. Model-model perencanaan
bahasa ini sebagian besar dikembangkan dari pengalaman mereka masing-masing
ketika melaksanakan tugas perencanaan bahasa di suatu negara. Berikut ini
dikemukakan empat model perencanaan bahasa, yaitu model Haugen, Ferguson,
Kloss, dan Karam, yang diharapkan bisa mewakili dari berbagai model yang ada.
a. Model Haugen (1959)
Berdasarkan
pengalamannya di Norwegia, Haugen mengemukakakn empat tahapan dalam perencanaan
bahasa, yaitu pemilihan, penyandian, pelaksanaan, dan peluasan.
1.
Pemilihan. Tahap ini melibatkan pemilihan satu bahasa (atau lebih) atau norma
yang akan dibina untuk tujuan tertentu. Pada umumnya, pembinaan ini bertujuan
agar bahasa sasaran bisa menjalankan tugas sebagai bahasa nasional. Norma
adalah suatu konsep abstrak yang dipilih atau dibentuk sebagai sasaran
perencanaan. Bahasa baku, misalnya, adalah norma yang dijadikan sasaran
perencanaan bahasa.
2.
Penyandian. Tahap ini melibatkan uasaha-uasaha yang terkait dengan pembakuan
bahasa,misalnya penyusunan ejaan, pembentukan istilah, penyusunan tatatabahasa,
penyusunan ungkapan, dan sebagainya. Upaya pembakuan ini pada dasarnya adalah
pengenalan sandi-sandi bahasa yang memiliki banyak ragam dan menentukan
penggunaan masing-masingnya.
3.
Pelaksanaan. Tahap ini melibatkan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh
petugas (baik lembaga maupun individu) yang ditunjuk untuk menyebarkan
informasi dan melakukan pembinaan terkait dengan norma-norma yang telah
ditetapkan dan penyandian yang telah disusun.
4. Peluasan.
Tahap ini berkaitan dengan pembinaan dan pengembangan bahasa sasaran, baik dari
segi bentuk maupun fungsinya. Hal ini melibatkan proses pemodernan bahasa
sasaran secara umum.
b. Model Ferguson (1968)
C.A.
Ferguson mengemukakan bahwa dalam usaha perencanaan bahasa terdapat tiga
komponen yang perlu diperhatikan, yaitu pengabjadan, pembakuan, dan pemodernan.
1. Pengabjadan. Pengabjadan adalah usaha agar bahasa
sasaran mempunyai abjad atau sistem ejaan yang sempurna. Kegiatan ini dilakukan
apabila bahasa sasaran belum mempunyai ejaan, atau pembakuan atau perbaikan
ejaan yang sudah ada.
2. Pembakuan. Pembakuan adalah proses menjadikan satu
dialek atau bahasa sebagai bahasa yang baku dibanding dengan dialek-dialek lain
lewat penggunaannya dalam bidang ilmiah, pemerintahan, atau situasi resmi
lainnya.
3. Pemodernan. Pemodernan adalah usaha-usaha
pengembangan kosakata dan pembinaan bentuk-bentuk wacana tertentu, biasanya
wacana ilmiah. Pembinaan kosakata ini melibatkan penciptaan istilah-istilah dan
ungkapan-ungkapan tertentu unuk menampung keperluan ilmiah atau bidang-bidang
lainnya.
c. Model Kloss (1969)
H. Kloss
mengemukakan bahwa perencanaan bahasa mempunyai dua dimensi, yaitu perencanaan
status dan perencanaan bahan.
1. Perencanaan Status. Perencanaan status adalah usaha
menentukan atau memilih suatu dialek atau bahasa dari berbagai dialek atau
bahasa yang ada untuk dijadikan bahasa yang berstatus tertentu. misalnya
menjadi bahasa nasional, bahasa resmi, dan sebagainya.
2. Perencanaan Bahan. Perencanaan bahan adalah usaha
yang terkait dengan pembentukan istilah, pembakuan ejaan, pembakuan tatabahasa,
dan bagaimana penerapannya dalam praktik berbahasa.
Selain itu,
Kloss juga mengemukakan satu unsur lagi, yaitu pembiayaan, yang melibatkan
aspek ekonomi, dan pengurusan di dalam perencanaan bahasa. Sebagaimana
perencanaan bahasa pada umumnya, unsur pembiayaan dan pengurusan adalah
penting.
d. Model Karam (1974)
F.X. Karam berpendapat
bahwa pelaksanaan perencanaan bahasa dilakukan pada tingkat nasional oleh
lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah. Di Indonesia, misalnya, dilakukan oleh
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Lembaga ini akan melakukan tiga tugas,
yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Komponen penialain, menurut
Karam, sangat penting karena untuk mengetahui apakah langkah-langkah yang telah
dilakukan berhasil atau belum.
Jadi, dapat
dilihat bahwa perencanaan bahasa melibatkan usaha: pengumpulan data lewat
penyelidikan atau penelitian baik menyangkut materi bahasa maupun budaya atau
pemakaian bahasa; penyusunan perencanaan menyeluruh yang mungkin bisa
dilakukan; dan pembuatan perencanaan awal yang diperlukan untuk menentukan
keputusan mengenai pemilihan dan pembentukan norma bahasa. Upaya-upaya ini
dilakukan setelah ada kepastian atau penentuan bahasa tertentu sebagai bahasa
nasional. Pelaksanaan melibatkan penyandian (coding) norma-norma bahasa dan
penyebarluasan hasil penyandian. Penilaian akan melibatkan penafsiran terhadap
hasil (rumusan) perencanaan dan pelaksanaan perencanaannya. Proses ini
merupakan “refleksi diri” terhadap lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah dan
pelaksanan di lapangan, agar pada masa selanjutnya bisa lebih meningkatkan
setiap tahapan kerjanya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai
perancanaan bahasa menurut pendapat ahli:
a. E. Haugen
(1966) mengatakan bahwa perencanaan bahasa memerlukan perwujudan satu kebijakan
bahasa; kodifikasi bahasa untuk pemakaian umum, modern, dan teknik;
perkembangan dan pelaksanaannya.
b. Sjoberg (1966) mengatakan bahwa ketika
merencanakan suatu bahasa harus mengakomodasi pendapat dan pendangan masyarakat
pemakai bahasa tersebut sebab merekalah pendukung utama pelaksanaannya nanti.
Dengan cara ini, perencanaan bahasa bersifat demokratis, menyeluruh, dan
memudahkan pemupukan rasa setia dan rasa taat asas terhadap bahasa.
c. Neustupuy (1970) menambahkan bahwa perencanaan
bahasa juga harus memperhatikan stilistika sebab stilistika menyediakan
kesempatan bagi perkembangan sastra.
d. Rubin (1971) mengatakan bahwa setiap tahap
perencanaan bahasa perlu ada proses penilaian agar dapat diketahui
kadarkeberhasilannya. Lewat penilaian ini pun akan diketahui bagimana kondisi
dan tingkat perkembangan bahasa tersebut.
e. Jernudd dan Das Gupta (1971) berpendapat bahwa
pemerintah yang berkuasa dapat menjadi penggerak dan kunci keberhasilan
perencanaan bahasa. Oleh karena itu, perhatian dan keterlibatan pemerintah
sangat diperlukan agar setiap tingkat perencanaan berjalan dengan baik sehingga
mempercepat terwujudnya sosok bahasa yang ditargetkan.
f. V. Tauli (1973) mengatakan bahwa perencanaan
bahasa mustahil bisa berjalan apabila tidak didukung oleh biaya yang memadai.
Oleh karena itu, komitmen pemegang sumber dana – dalam hal ini pemerintah –
untuk mengalokasikan biaya perencanaan bahasa secara berkala sangat diperlukan.
g. Fishman (1973) menyarankan agar perencanaan
bahas diselaraskan dengan perencanaan bidang-bidang lain agar padu dan/atau
bersinergi dengan perencanaan induk negara. Dengan cara demikian, kepaduan dan
integritas nasional bisa terpupuk dengan baik.
J.A. Fishman
(1971) dalam bukunya Impact of Nationalism on Language Planning menyatakan
bahwa perencanaan bahasa merupakan ciri pembangunan dan pemodernan bangsa dan
negara. Contoh ini banyak berlaku di Eropa, Asia,dan Afrika. Perncanaan bahasa
di Asia dan Afrika berjalan setelah negara dijajah. Ketika dijajah, semangat
kebangsaan dan semangat ingin merdeka mulai lahir karena rakyat terasa tertekan
di negeri sendiri. Tekanan inilah yang menyebabkan mereka bersemangat menantang
penjajah. Kalu dahulu bahasa penjajah yang digunakan sebagai bahasa resmi
pemerintahan, kini mereka mulai mengangkat bahasa sendiri (pribumi) sebagai
bahasa nasional (kebangsaan). Proses penggantian bahasa penjajah ke bahasa
probumi ini memakan waktu yang cukup lama karena golongan tua sudah terbiasa
memakai bahasa penjajah. Karena itu, perencanaan bahasa di sebagian besar
negara Asia memerlukan jangka waktu yang cukup lama (dalam Muslich 2007)
Perencanaan
bahasa juga bertujuan untuk mensinkronkan semua dialek yang terdapat dalam
suatu negara. Dengan cara ini diharapkan suatu negara hanya mempunyai satu
bahasa rujukan untuk semua rakyatnya. Sinkronisasi ini dapat memperkecil
pemakaian dialek kedaerahan yang bermacam-macam, karena diarahkan ke pamakaian
bahasa yang seragam dan satu. Kalau keinginan ini tercapai, maka pembakuan dan
pemodernan bahasa lebih mudah tercapai dan pada akhirnya dapat membentuk satu
masyarakat, satu bahasa, satu budaya, satu bangsa, dan satu negara. Indonesia
telah menggunakan konsep ini lewat ikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928: satu
bangsa, satu megara, satu bahasa; walaupun pelaksanaannya dimulai sejak tahun
1945 bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan. Hal ini dilakukan karena
Indonesia mempunyai banyak bahasa dan banyak dialek. Konsep ini pun dapat
digunakan untuk usaha penyatuan bahasa, budaya, bangsa, dan negara (dalam Muslich 2007).
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
1.
SIMPULAN
Kebijakan
bahasa itu dapat diartikan sebagai pertimbangan konseptual dan politis yang
dimaksudkan untuk dapat memberi perencanaan, pengarahan dan ketentuan-ketentuan
yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengelolaan keseluruhan kebahasaan yang
dihadapi oleh suatu bangsa secara nasional. Kebijaksanaan bahasa merupakan
usaha kenegaraan suatu bangsa untuk menentukan dan menetapkan dengan tepat
fungsi dan status bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di negara tersebut, agar
komunukasi kenegaraan dan kebangsaan dapat berlangsung dengan baik.
Haugen telah
mendefinisikan “perencanaan bahasa” sebagai segala usaha yang dilakukan oleh
lembaga tertentu untuk melestarikan atau menumbuh kembangkan bahasa dan
melibatkan usaha pembinaan, pengaturan, dan pembakuan atas bahasa sasaran. Perencanaan
bahasa juga bertujuan untuk mensinkronkan semua dialek yang terdapat dalam
suatu negara.
2.
SARAN
1. Perencanaan bahasa suatu negara akan berhasil
dengan baik apabila inisiatif tersebut berawal dari pemerinah yang
bersangkutan. Sebab, pemerintah mempunyai kemampuan memasukkan perencanaan
bahasa tersebut dalam perencanaan pembangunan negara. Pemerintah mampu
menyediakan biaya tinggi untuk memulai pelaksanaan perencanaan bahasa ini.
Sejajar dengan pembangunan yang lain, perencanaan bahasa ini dapat memupuk
persatuan dan integrasi nasional. Bahkan, dalam jangka panjang, perencanaan
bahasa ini dapat membantu pembangunan budaya, bangsa, dan negara.
2. Perencanaan bahasa harus dilakukan dengan berkerja
sama semua pihak. Bahasa adalah milik semua orang, maka sangat wajarlah kalau
semua orang turut dalam perencanaannya.
3. Perencanaan bahasa hendaknya dilakukan seiring
dengan perkembangan masyarakat. Dengan demikian, perencanaan bahasa yang baik
akan menjadikan negaranya dikenal oleh bangsa lain (bahkan dikenal dunia)
karena bahasanya mampu memaparkan pertumbuhan pembangnan negaranya dalam bidang
ilmu pengetahuan dan tekonologi.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Chaer,
Abdul dan Leonie Agustin. 2004. Sosiolinguistik perkenalan awal. Jakarta:
Rineka cipta.
2. http://muslich-m.blogspot.com/2007/04/dasar-dasar-perencanaan-bahasa.html
diunduh tanggal 26 maret 2011.
3. http://muslich-m.blogspot.com/2007/05/sejarah-perencanaan-bahasa.html
diunduh tanggal 26 maret 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar