Latar Belakang
Kebudayaan merupakan
suatu hasil karya, daya cipta atau pemikiran manusia atau gagasan-gagasan
manusia yang diwujudkan. Secara antropologi-budaya dapat dikatakan bahwa yang
disebut suku bangsa Sunda adalah orang-orang yang secara turun temurun
menggunakan bahasa ibu bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan
sehari-hari, dan berasal dan bertempat tinggal di daerah Jawa barat, daerah
yang juga sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda. (Koentjoron
Ningrat:307)
Kebudayaan Sunda
merupakan salah satu kebudayaan dari beraneka ragam kebudayaan di Indonesia.
Kebudayaan Sunda biasanya dimiliki oleh penduduk yang bertempat tinggal
sebagian besar di wilayah Jawa Barat dan sebagian kecil dari daerah perbatasan
Jawa Barat dan Jawa Tengah. Namun yang memiliki kebudayaan yang khas sekali
dengan kebudayaan Sunda adalah daerah Jawa Barat. Daerah yang lain sudah
mendapat campuran atau sudah terkontaminasi dengan budaya yang lain, misalnya
dengan budaya Jawa Tengah.
Daerah yang berbatasan
langsung dengan daerah Jawa Barat misalnya kecamatan Dayeuhluhur yang
berkabupaten Cilacap, Jawa Tengah adalah daerah Jawa Tengah namun memiliki
bahasa ibu atau bahasa sehari-hari yaitu dengan Bahasa Sunda. Sebagian besar
penduduk Dayeuhluhur bahkan tidak dapat berbahasa Jawa karena bahasa yang
mereka gunakan sehari-hari adalah Bahasa Sunda, sehingga mereka tidak paham
atau bahkan tidak mengerti dengan bahasa Jawa. Namun jika pada anak-anak
sekolah sebagian ada yang mengerti dengan bahasa Jawa karena di sekolah-sekolah
terdapat satu pelajaran yaitu Bahasa Jawa.
Dalam pelajaran bahasa Jawa
di daerah tersebut siswa sedikit kesulitan untuk mendalami atau untuk memahami
bahasa tersebut. Perlu waktu yang cukup lama untuk bisa menguasai Bahasa atau
kebudayaan tersebut. Dalam pelajaran tersebut siswa dituntut untuk bisa membaca
wacana yang menggunakan bahasa Jawa, bahkan siswa juga dituntut untuk dapat
menulis huruf Jawa. Namun karena tidak ada pembiasaan diri menggunakan bahasa
Jawa, maka siswa sangat kesusahan karena mereka terbiasa menggunakan bahasa
sehari-hari yaitu bahasa Sunda. Jika ada seseorang atau beberapa orang di
daerah tersebut berdialek dengan menggunakan bahasa Jawa sering disebut orang
aneh.
Istilah Sunda kemungkinan berasal
dari bahasa Sansekerta yakni sund atau suddha yang berarti bersinar, terang,
atau putih. Dalam bahasa Jawa kuno (Kawi) dan bahasa Bali dikenal juga istilah
Sunda dalam pengertian yang sama yakni bersih, suci, murni, tak
bercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, dan waspada. Dengan adanya pengertian
Sunda yang seperti itulah, maka di daerah Sunda jarang ditemukan orang-orang
yang memiliki sifat buruk, karena hukum alam Sunda masih sangat tinggi. Seperti
halnya di daerah Kecamatan Dayeuhluhur. Hukum alam Dayeuhluhur akan berpihak
pada masyarakat yang memiliki hati yang bersih.
Pada kebudayaan Sunda
yang lebih menonjol terlihat adalah dialek antara daerah. Meskipun dalam satu
suku Sunda, tetapi terdapat logat atau dialek yang sangat beragam. Dalam bahasa
Sunda dialek yang dapat dibilang merupakan dialek paling halus adalah dialek
yang terdapat di daerah Tasikmalaya dan dialek Bandung, Sumedang, dan Cianjur.
Sampai sekarang dialek penduduk Cianjur mesih dianggap dianggap dialek terhalus
dalam Bahasa Sunda. Sementara dialek yang dianggap kasar misalnya dialek pada
penduduk Banten dan Krawang.
Dalam bahasa Sunda tidak
mengenal tingkatan bahasa, lain halnya dengan Bahasa Jawa. Jika pada Bahasa
Jawa mengenal bahasa ngoko, krama, krama inggil, namun dalam Bahasa Sunda tidak
mengenal istilah tersebut. Dalam Bahasa Sunda yang ada adalah bahasa halus dan
kurang halus. Bahasa halus adan kurang halus tersebut tiap daerah berbeda-beda.
Jika menurut penduduk yang bertempat tinggal di daerah Banten bahasa yang
diucapkan tersebut adalah halus, lain halnya menurut penduduk yang bertempat
tinggal di daerah Bandung atau Cianjur, menurut penduduk bandung atau Cianjur
bahasa yang digunakan oleh penduduk Banten adalah Bahasa yang kurang halus atau
bahasa yang Kasar. Perbedaan tersebut bergantung dari kronologis daerah
tersebut.
Bahasa Sunda yang halus
atau Bahasa Priangan memiliki kronologis sejarah karena pengaruh kebudayaan
dari kerajaan Mataram Islam. Dalam sejarah disebutkan bahwa pada abad ke-19
terjalin kekerabatan dan kebudayaan antara bangsawan dari Suku Sunda dengan
kaum Bangsawan dari Solo dan Yogyakarta. Seperti telah kita ketahui bersama
dialek yang terdapat pada penduduk Solo adalah dialek atau bahasa yang cukup
halus atau bahkan dalam kebudayaan Jawa dialek penduduk solo adalah dialek
terhalus. Namun disamping pengaruh kebudayaan dan kekerabatan antara Suku Sunda
dengan Solo dan Yogyakarta, faktor yang sangat mempengaruhi terhadap kehalusan
dalam suatu dialek adalah keadaan wilayah.
Faktor geografis sangat
berpengaruh terhadap suatu kebudayaan. Dalam kebudayaan Sunda wilayah yang
memiliki keadaan geografis berupa daerah dataran tinggi memiliki bahasa yang
cukup halus yang disebut dengan daerah Priangan. Daerah Priangan memiliki bahasa
yang terhalus dalam bahasa Sunda. Lain halnya dengan daerah yang keadaan
geografisnya berada di pesisir utara atau daerah yang dekat dengan pantai utara
seperti daerah Bogor, Banten, dan Cirebon. Di daerah yang wilayah geografisnya
dekat dengan Pantai Utara, bahasa atau dialeknya dianggap kurang halus. Hal
tersebut dimungkinkan karena faktor kebiasaan penduduk dalm bermata
pencaharian. Misalnya di daerah Bogor. Daerah Bogor merupakan daerah puncak
dengan penduduk yang mayoritas bermata pencaharian berkebun yaitu berkebun teh.
Penduduk yang bertempat tinggal di wilayah kebun teh memiliki perilaku atau
sikap-sikap yang kasar atau keras. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya
kekuasaan wilayah atau kesewenang-wenangan dari orang-orang memiliki jabatan
tinggi dibanding dengan penduduk biasa. Misalnya para “mandor” di kebun teh
tersebut memiliki kewenangan yang tinggi terhadap penduduk yang jabatannya
lebih rendah, sehingga kadang-kadang “mandor” tersebut berbuat sekehendak
hatinya. Sedangkan di daerah pesisir pantai Utara misalnya daerah Banten dan
Cirebon, kekurang halusan dalam berbahasa tersebut adalah disebabkan oleh
kebiasaan penduduk yang bertempat tinggal di daerah pantai memiliki kehidupan
yang sangat keras. Hal tersebut juga sangat berpengaruh terhadap halus tidaknya
suatu bahasa yang digunakan.
Dalam perkembangannya, istilah Sunda
digunakan juga dalam konotasi manusia atau sekelompok manusia, yaitu dengan
sebutan urang Sunda (orang Sunda). Di dalam definisi tersebut tercakup kriteria
berdasarkan keturunan (hubungan darah) dan berdasarkan sosial budaya sekaligus.
Menurut kriteria pertama, seseorang bisa disebut orang Sunda, jika orang
tuanya, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu ataupun keduanya, orang
Sunda, di mana pun ia atau mereka berada dan dibesarkan.
Menurut kriteria kedua, orang Sunda
adalah orang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam
hidupnya menghayati serta mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai budaya
Sunda. Dalam hal ini tempat tinggal, kehidupan sosial budaya dan sikap orangnya
yang dianggap penting. Bisa saja seseorang yang orang tuanya atau leluhurnya
orang Sunda, menjadi bukan orang Sunda karena ia atau mereka tidak mengenal,
menghayati, dan mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya Sunda
dalam hidupnya.
Dalam konteks ini, istilah Sunda,
juga dikaitkan secara erat dengan pengertian kebudayaan. Bahwa ada yang
dinamakan Kebudayaan Sunda, yaitu kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang
di kalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomosili di Tanah Sunda. Dalam
tata kehidupan sosial budaya Indonesia digolongkan ke dalam kebudayaan daerah.
Di samping memiliki persamaan-persamaan dengan kebudayaan daerah lain di
Indonesia, kebudayaan Sunda memiliki ciri-ciri khas tersendiri yang
membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan lain.
Budaya Saling Asih, Asuh, dan Asah
Secara umum, masyarakat Jawa Barat
atau Tatar Sunda, sering dikenal dengan masyarakat yang memiliki budaya
religius. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo "silih asih,
silih asah, dan silih asuh" (saling mengasihi, saling mempertajam diri,
dan saling memelihara dan melindungi). Di samping itu, Sunda juga memiliki
sejumlah budaya lain yang khas seperti kesopanan (handap asor), rendah hati
terhadap sesama; penghormatan kepada orang tua atau kepada orang yang lebih
tua, serta menyayangi orang yang lebih kecil (hormat ka nu luhur, nyaah ka nu
leutik); membantu orang lain yang membutuhkan dan yang dalam kesusahan (nulung
ka nu butuh nalang ka nu susah), dsb.
"Silih asih, silih asah, dan
silih asuh" (saling mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling
memelihara dan melindungi), merupakan pameo budaya yang menunjukkan karakter
yang khas dari budaya religius Sunda sebagai konsekuensi dari pandangan hidup
keagamaannya.
Saling asih adalah wujud komunikasi
dan interaksi religius-sosial yang menekankan sapaan cinta kasih Tuhan dan
merespons cinta kasih Tuhan tersebut melalui cinta kasih kepada sesama manusia.
Dengan ungkapan lain, saling asih merupakan kualitas interaksi yang memegang
teguh nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Semangat ketuhanan dan
kemanusiaan inilah yang kemudian melahirkan moralitas egaliter (persamaan)
dalam masyarakat. Dalam tradisi masyarakat saling asih, manusia saling
menghormati, tidak ada manusia yang dipandang superior maupun inperior sebab
menentang semangat ketuhanan dan semangat kemanusiaan. Mendudukan manusia pada
kedudukan superior atau inperior merupakan praktek dari syirik sosial. Ketika
ada manusia yang dianggap superior (tinggi), berarti mendudukkan manusia
sejajar dengan Tuhan dan jika mendudukan manusia pada kedudukan yang inperior
(rendah), berarti mengangkat dirinya sejajar dengan Tuhan. Dalam masyarakat
saling asih manusia didudukkan secara sejajar (egaliter) satu sama lainnya.
Prisip egaliter ini kemudian melahirkan etos musyawarah, ta'awun (kerjasama)
dan sikap untuk senantiasa bertindak adil. Etos dan moralitas inilah yang
menjadikan masyarakat teratur, dinamis dan harmonis.
Tradisi (budaya) saling asih sangat
berperan dalam menyegarkan kembali manusia dari keterasingan dirinya dalam
masyarakat sehingga citra dirinya terangkat dan menemukan ketenangan. Ini
merupakan sumber keteraturan, kedinamisan, dan keharmonisan masyarakat sebab
manusia yang terasing dari masyarakatnya cenderung mengalami kegelisahan yang
sering diikuti dengan kebingungan, penderitaan, dan ketegangan etis serta
mendesak manusia untuk melakukan pelanggaran hak dan tanggung jawab sosial.
Budaya saling asih ini dapat
mengangkat harkat dan martabat seseorang yang dahulunya telah terasing.
Biasanya banyak orang yang bepergian ke luar kota selama beberapa tahun, namun
ketika ia kembali ke kampung halamannya ia merasa seperti orang asing di
kampungnya sendiri. Dengan adanya budaya saling asih tersebut, warga di kampung
asalnya tidak mengasingkannya melainkan menganggap seperti keluarganya sendiri
dan mereka akan langsung menyambutnya dengan baik dengan tidak mengasingkannya.
Selain budaya saling asih, dalam
masyarakat Sunda yang sangat religius kepentingan kolektif maupun pribadi
mendapat perhatian yang serius melalui saling mengontrol dengan adanya
kepedulian antarsesama. Pada masyarakat Sunda, penduduk tidak mementingkan
kepentingan dirinya sendiri, namun lebih mengutamakan kepentingan bersama
sehingga tercipta hubungan yang sangat harmonis antarwarga masyarakat. Semua
hal tersebut dikembangkan dalam tradisi atau budaya saling asuh. Budaya saling
asuh inilah yang kemudian memperkuat ikatan emosional yang telah dikembangkan
dalam tradisi saling asih pada masyarakat yang religius. Oleh karena itu, dalam
masyarakat yang religius ini jarang sekali ditemui adanya konflik dan kericuhan
antarpenduduk, namun ketika ada kelompok lain yang mengusik ketenangannya, maka
mereka akan bangkit melawan secara kompak (simultan). Kepedulian antarsesama
sangatlah tinggi pada masyarakat Sunda yang religius.
Budaya silih asuh inilah yang
merupakan manifestasi akhlak Tuhan yang maha pembimbing dan maha menjaga,
kemudian dilembagakan dalam silih amar makruf nahy munkar. Dalam budaya Sunda,
sistim keagamaan sangatlah kental terutama agama Islam. Agama Islam tersebar
luas di tanah Sunda, sehingga masyarakat Sunda lebih dominan beragama Islam.
Budaya silih asuh merupakan etos
pembebasan masyarakat yang religius dari kebodohan, keterbelakangan,
kegelisahan hidup dan segala bentuk kejahatan. Dengan adanya budaya silih asuh
inilah masyarakat mendapatkan pencerahan untuk hidupnya agar setiap masyarakat
memiliki kehidupan masa depan yang lebih cerah, memiliki masa depan yang
gemilang guna membangun masa depan diri sendiri.
Selain budaya saling asih dan saling
asuh, pada masyarakat Sunda terdapat pula budaya saling asah. Saling asah
adalah semangat interaksi untuk saling
mengembangkan diri ke arah penguasaan dan penciptaan iptek sehingga masyarakat
memiliki tingkat disiplin dan otonomi yang tinggi.
Masyarakat saling asah adalah
masyarakat yang saling mengembangkan diri untuk memperkaya khazanah pengetahuan
dan teknologi. Masyarakat sekitar tidak menutup diri terhadap perkembangan
tekhnologi yang semakin hari semakin berkembang. Masyarakat terus dapat
mengikuti berbagai perkembangan dengan teknologi sehingga masyarakat tidak
tertinggal dengan perubahan zaman. Tradisi seperti itulah yang dapat membuat
masyarakat semakin berkembang dan tidak lagi tertinggal dengan perubahan zaman
yang semakin hari semakin berkembang.
Tradisi saling asah melahirkan etos
dan semangat ilmiah dalam masyarakat. Etos dan semangat ilmiah dalam masyarakat
yang religius merupakan upaya untuk menciptakan otonomi dan kedisiplinan
sehingga tidak memiliki ketergantungan terhadap yang lain sebab tanpa tradisi
iptek dan semangat ilmiah suatu masyarakat akan mengalami ketergantungan
sehingga mudah tereksploitasi, tertindas, dan terjajah.
Tradisi saling asah yang terdapat
dalam masyarakat Sunda memberikan manfaat yang sangat besar. Masyarakat kini
bisa hidup mandiri tanpa harus mengandalkan orang lain atau bergantung terhadap
orang lain. Masyarakat yang masih bergantung dengan orang lain sangatlah mudah
dipengaruhi oleh orang lain sehingga tidak memiliki pendirian yang tetap dan
akan tertindas dengan adana iptek yang semakin berkembang. Pikiran yang masih
bisa goyah karena keterbelakangan iptek menyebabkan berbagai macam pengaruh
dapat masuk ke dalam dirinya dengan sangat mudah. Namun dengan adanya budaya
atau tradisi saling asah semua itu dapat dihindari. Masyarakat memiliki
pendirian yang statis dan tidak mudah digoyahkan ataupun dipengaruhi oleh orang
lain atau tertindas dengan iptek yang semakin maju.
Dalam masyarakat religius yang
saling asah, ilmu pengetahuan, dan teknologi mendapat bimbingan etis sehingga
iptek tidak lagi angkuh, tetapi tampak anggun, bahkan memperkuat ketauhidan.
Integrasi iptek dan etika ini merupakan terobosan baru dalam kedinamisan iptek
dengan membuka dimensi transenden, dimensi harapan, evaluasi kritis, dan
tanggung jawab.
Dalam masyarakat Sunda perkembangan
iptek sangat bersahabat, sehingga masyarakat sangt mudah mengikuti perkembangn
zaman tersebut. Perkembangn iptek pada masyarakat sekitar tampak selaras dengan
keadaan dan kondisi masyarakat Sunda yang sangat religius dan menghormati
perkembangn iptek. Perkembangan iptek dan adanya etika yang sangat dijunjung
tinggi oleh seluruh masyarakat merupakan suatu kesempatan yang baru dalam
perubahan iptek yang semakin hari semakin berubah pesat.
Budaya saling asahlah yang
mengantarkan masyarakat menuju perkembangan dan perubahan zaman yang menjauhkan
masyarakat dari keterbelakangan pengetahuan dan teknologi. Dengan adanya budaya
inilah masyarakat akan semakin maju dan berkembang dan dapat mengikuti
perkembangan zaman dengan mudah.
Dengan demikian, budaya saling asih,
saling asah dan saling asuh tetap akan selalu relevan dalam menghadapi
tantangan modernisasi. Melalui strategi budaya saling asih, saling asah saling
asuh, manusia modern akan dapat dikembalikan citra dirinya sehingga akan
terbatas dari kegelisahan, kebingungan, dan penderitaan serta ketegangan
psikologis dan etis. Adanya budaya tersebut sangat berpengaruh terhadap
masyarakat, terutama pada masyarakat Sunda karena budaya tersebut hanya
terdapat di dalam masyarakat Sunda. Seperti yang telah kita ketahui masyarakat
Sunda sangat menjunjung tinggi budaya tersebut.
Kesusastraan
Sunda
Di dalam tradisi Sunda
atau dalam kebudayaan Sunda juga terdapat sebuah kesusastraan. Kesusastraaan
dalam budaya Sunda hampir sama seperti kebudayaan pada umumnya. Diantaranya
adalah pantun, wiracarita, lagu daerah Sunda dan masih banyak yang lainnya. Pada
kebudayaan Sunda jika seseorang sedang menceritakan sejarah-sejarah yang ada
pada kerajaan Sunda, maka dia biasanya menggunakan alat musik kecapi sebagai
pengiringnya. Cerita-cerita tersebut biasanya dalam bentuk roman yang kemudian
dibuat dalam bentuk cerita.
Cerita-cerita pantun
tersebut biasanya menceritaka tentang raja-raja pada zaman dahulu. Masyarakat
Sunda pada zaman dahulu lebih mengagungkan raja Sunda yang terkenal dengan
Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi merupakan raja terkuat di Sunda. Bagi orang
sunda atau masyarakat Sunda, cerita-cerita pantun itu sudah memiliki khas dalam
hati seluruh masyarakat Sunda. Permainan-permainan pantun yang ada pada
masyarakat Sunda merupakan suatu permainan yang dapat menggugah
perasaan-perasaan masyarakat Sunda pada umumnya yang semakin lama dimainkan
maka akan semakin terkenang. Itulah kelebihan permainan pantun pada masyarakat
Sunda.
Permainan pantun-pantun
tersebut biasanya dimainkan atau dilakukan ketika santai. Ketika mereka sedang
berkumpul dengan sanak saudara atau bahkan dengan tetangga, pada saat itulah
permainan pantun mulai dimainkan. Pada saat-saat itulah merupakan saat yang
menyenangkan bagi masyarakat sunda. Karena pada saat itu mereka bisa
bercengkrama bersama.
Cerita wawacan dalam
bahasa sunda banyak diambil dari cerita-cerita Islam. Wawacan biasanya
menggunakan tulisan pegon. Tulisan pegon merupakan tulisan yang menggunakan
huruf Arab gundul. Wawacan merupakan cerita yang berbentuk puisi dan biasanya
dinyanyikan dalam membacanya. Wawacan yang ahulu biasa dinyanyikan disebut
dengan beluk. Biasanya seorang membacakan saatu kalimat dari wawacan yang
berbentuk puisi tembang dari Jawa, dan yang satu menyanyikannya. Orang yang
membaca puisi dan yang menyanyikannya biasanya duduk di tikar di bawah atau
bahkan sambil tidur-tiduran. Semua itu terlihat anah bagi orang yang belum
mengetahui kebudayaan sunda sebenarnya, namun bagi orang sunda kebiasaan
tersebut sungguh sangat menyenangkan.
Untuk bidang sastra,
wawacan yang lain adalah bercerita tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam.
Misalnya, Wawacan Carios Para Nabi, Wawacan Sajarah Ambiya, Wawacan Keang
Santang, Wawacan Syeh Abdul Kodir Jaelani, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kesenian yang lain adalah
beluk. Lain halnya dengan wawacan. Meskipun sama-sama dinyanyikan, namun
suasana yang dipakai tersebut berbeda. Jika wawacan biasa diperdendangkan untuk
hiburan semata, namun jika beluk dinyanyikan untuk menunggui orang yang baru
melahirkan. Biasanya dinyanyikan hampir semalam suntuk. Namun sayang, sekarang
ini kesenian beluk sudah jarang diperdengarkan atau bahkan mungkin tidak ada
lagi orang yang memperdengarkan beluk. Hal tersebut bisa saja dikarenakan oleh
perkembangan zaman.
Selain pantun, beluk dan
wawacan, dalam kesussastraan Sunda juga terdapat berbagai macam cerita rakyat
seperti Sangkuriang yang menceritakan tentang terjadinya Gunung Tangkubanprahu
dan danau purba di dataran tinggi Bandung. Sangkuriang menceritakan tentang
seorang anak yang mencintai seorang wanita yang ternyata ibu kandungnya
sendiri. Sangkuriang marah karena wanita
tersebut menolak untuk dinikahi. Wanita tersebut memberi persyaratan kepada Sangkuriang
untuk membuat perahu, namun harus selesai sebelum pertanda pagi muncul yaitu
sebelum ayam berkokok yang menandakan pagi telah tiba. Namun dengan kekuatan
wanita itu, pertanda pagi pun datang meskipun sebenarnya pagi belum tiba.
Sangkuriang pun marah kemudian menendang perahu yang telah ia buat sehingga
tertelungkup. Itulah cerita terjadinya Gunung Tangkubanprahu yang ada di daerah
Bandung. Gunung Tangkubanprahu tersebut kini menjadi objek wisata yang ramai dikunjungi. Selain karena
pemandangannya yang indah, tetapi juga Gunung Tangkubanprahu tersebut merupakan
salah satu cerita sejarah dari daerah Sunda.
Satu macam cerita rakyat
dari Sunda yaitu cerita si Kabayan. Si Kabyan merupakan cerita rakyat yang
sangat merakyat di daerah Sunda dan setiap orang di sunda pasti mengetahui
cerita tersebut karena tersebut dikenal oleh semua kalangan. Si Kabayan
merupakan seorang lelaki yang bodoh dan pemalas, namun kadang-kadang di suatu
waktu dia menjadi orang yang cerdik.
Kesusastraan-kesusastraan
Sunda itu bukan suatu unsur kebudayaan yang hanya dikenal di lingkungan kecil
saja, akan tetapi dikenal secara luas oleh semua kalangan dalam masyarakat.
Seperti dalam permainan reog,
permainan tersebut selalu menyesuaikan dirinya dengan setiap zaman. Sehingga
permainan reog dapat dinikmati oleh setiap generasi dan dapat dengan mudah
diterima masyarakat. Hal itu merupakan suatu ciri bahwasannya bahasa dan Sastra
Sunda merupakan bagian yang sangat diperlukan dari kehidupan sehari-hari pada
masyarakat Sunda.
Disamping bahasa sunda
yang menjadi identitas paling menonjol pada masyarakat sunda, ciri kepribadian
yang lain adalah bahwa orang sunda sangat mencintai dan menghayati keseninnya.
Masyarakat Sunda sangat menjunjung tinggi kesenian dan bahasa daerahnya. Dari
bahasa dan keseniannya dan dari cara masyarakat Sunda bersikap dalam
kesehariannya, dapat digambarkan bahwa masyarakat Sunda adalah manusia yang
optimis, suka dan mudah gembira namun mudah sedih atau mudah marah juga karena
orang Sunda merupakan orang yang sangat perasa sehingga kadang-kadang orang
menyebutnya bahwa orang Sunda merupakan orang yang pundungan, artinya mudah
marah. Memiliki watak yang terbuka juga merupakan salah satu sifat dari
orang-orang Sunda.
Setiap kebudayaan dan
kesenian pada daerah Sunda selalu dihormati oleh seluruh warga masyarakat. Di
daerah Sunda, jika ada orang yang tidak dapat menghargai bahkan tidak dapat
menghayati kesenian dan kebudayaannya, biasanya mendapatkan hukuman dari
masyarakat yang secara tidak langsung yaitu dikuciklan dari daerahnya.
Masyarakat Sunda menganggap kebudayaan tersebut merupakan warisan dari para
leluhur yang harus tetap dicintai dan dihormati keberadaannya. Masyarakat Sunda
tetap menjunjung tinggi kebudayaan tersebut meskipun dengan berbagai perubahan
namun tetap mementingkan kebudayaan semula dengan tanpa menghilangkan
kebudayaan yang asli.
Budaya Sunda dikenal
sebagai budaya yang sangat menjunjung tinggi sopan santun. Pada umumnya
karakter masyarakat Sunda adalah ramah tamah yang dalam bahasa Sundanya disebut
dengan someah, murah senyum, lemah lembut dan sangat menghormati orang tua.
Itulah cermin budaya dan kultur dari masyarakat Sunda. Di dalam bahasa Sunda
diajarkan bagaimana cara menggunakan bahasa halus untuk orang tua.
Karakter manusia Sunda
yang ramah tamah dan sopan santun sampai saat ini masih melekat pada diri
masyarakat Sunda. Meskipun kita tidak mengetahui perbedaan masyarakat Sunda dan
masyatakat yang lainnya, namun dengan melihat sikap dan perilaku orang Sunda
yang ramah tamah dalam berbahasa maka kita sudah dapat menebak bahwa ia adalah
masyarakat Sunda. Masyarakat Sunda pada umumnya murah pada senyumnya. Jika
orang Sunda bertemu dengan orang lain, baik itu masyarakat Sunda iti sendiri
ataupun masyarakat yang lain meskipun tidak saling kenal, maka ia akan
memberikan senyuman yang sangat lembut terhadap orang ia jumpai, apalagi jika
sebelumnya ia saling bertatap muka maka senyumanlah yang akan ia berikan.
Itulah sebabnya mengapa orang Sunda dikatakan dengan masyarakat yang murah
senyum.
Kebudayaan Sunda masa
kini sudah mengalami banyak perubahan. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan
oleh pertambahan penduduk dan perkembangan zaman. Perubahan-perubahan tersebut
menimbulkan perubahan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat dan aspek
kebudayaan. Yang tadinya setiap ibukota kecamatan masih memperlihatkan suasana
ketenangan dan kedamaian, kini berubah menjadi pemusatan-pemusatan penduduk
yang ramai dan penuh dinamik. Hal tersebut terjadi setelah terjadinya perang
dunia ke-II yang telah mengakibatkan banyak perubahan khususnya pada
kebudayaan.
Kesenian
Sunda
Wayang
Golek
Setelah zaman pantun
berakhir, yang merupakan pertanda bahwa Pajajaran telah jatuh, maka dikenal
dengan adanya zaman wayang. Zaman wayang merupakan zaman yang mendapat pengaruh
dari Mataram Islam. Cerita-cerita wayang yang muncul pada daerah tersebut merupakan
cerita-cerita wayang yang berasal dari epos Ramayana dan Mahabarata. Namun pada
zaman sekarang ini, kesenian atau cerita-cerita wayang yang diperankan atau
ketika dimainkan sudah mendapat variasi-variasi karangan khusus dari dalang
yang memainkan kesenian wayang tersebut. Dalang merupakan motor atau penggerak
setiap tokoh pada wayang, jadi dalang harus menguasai watak tokoh pada wayang.
Kesenian wayang pada
daerah Sunda merupakan suatu hiburan. Pertunjukan wayang di Sunda biasanya
diadakan atau dielenggarakan jika ada orang yang hajatan kemudian mengadakan
hiburan wayang, kemudian jika memperingati hari-hari besar atau bahkan jika
menyambut tamu agung. Pertunjukan atau kesenian wayang menjadi suatu kesenian
andalan di daerah Sunda. Kesenian wayang yang menjadi hiburan bagi orang Sunda
tersebut bagi yang menyaksikannya tokoh pada wayang tidak begitu diperhatikan
atau bagi penonton tidak begitu menarik. Yang menarik perhatian penonton atau
yang lebih menghibur penonton adalah kepiawaian atau ketrampilan sang dalang
ketika memainkan setiap tokoh wayang tersebut, atau bahkan penonton lebih
tertarik kepada sinden-sinden yang menyanyikan lagu Sunda ketika wayang
dimainkan.
Di daerah Sunda wayang
yang dimaksud adalah wayang golek, bukanlah wayang kulit. Meskipun kebanyakan
orang Sunda beragama Islam, namun orang Sunda memberikan tempat tertentu untuk
wayang sebagai kebudayaan. Orang Sunda menganggap wayang sebagai kebudayaan
karena di dalam wayang tersebut terdapat unsur kesenian yaitu seni sastra, seni
tembang dan gamelan. Kesenian wayang masih banyak dimainkan di daerah pedesaan
ataupun di perkotaan.
Wayang
golek adalah sebuah boneka kayu yang dimainkan berdasarkan karakter tertentu
dalam suatu cerita pewayangan. Dimainkan oleh seorang Dalang, yang menguasai berbagai
karakter maupun suara tokoh yang dimainkan. Wayang golek sangat digemari
oleh masyarakat Sunda khususnya. Lazimnya wayang golek dipergelarkan pada malam
hari sampai dini hari. Biasanya kesenian wayang golek dimainkan selama semalam
suntuk dengan seorang dalang, sinden, dan penabuh gamelan yang tanpa mengenal
lelah. Jika mereka sudah mencintai terhadap kesenian tersebut, maka perasaan
lelah, suntuk atau pun capek tidak lagi mereka rasakan.
Dalam pertunjukan wayang
golek biasanya memiliki lakon-lakon baik galur maupun carangan yang bersumber
dari cerita Mahabarata dan Ramayana dengan menggunakan bahasa Sunda sebagai
bahasa dialog yang diiringi dengan gamelan Sunda yang biasa disebut dengan
salendro, yang terdiri atas dua buah saron, sebuah peking, sebuah selenten,
satu perangkat boning, satu perangkat boning ricik, satu perangkat kenong,
sepasang gong (kempul dan goong) ditambah dengan seperangkat kendang (sebuah kendang
indung dan tiga buah kulanter), gambang dan rebab.
Pementasan wayang golek pada masa
kini lebih dominan sebagai seni pertunjukan rakyat, yang memiliki fungsi
relevan dengan kebutuhan masyarakat pada lingkungannya. Wayang golek biasanya
digunakan sebagai keperluan spiritual maupun keperluan material. Wayang golek
kadangkala digunakan dalam kegiatan di masyarakat, misalnya ketika ada suatu
perayaan, baik hajatan dalam rangka khitanan, ataupun dalam kegiatan
pernikahan, biasanya masyarakat Sunda lebih memilih kesenian wayang golek.
Jaipongan
Selain wayang golek, kebudayaan Sunda
yang lain adalah tari jaipongan. Jaipongan merupakan suatu jenis seni tari yang lahir melalui kreativitas seorang
seniman asal Bandung yakni Gugum Gumbira. Ia mendapatkan inspirasi
gerakan-gerakan tarian dari kesenian rakyat yaitu Ketuk Tilu. Dari
gerakan-gerakan ketuk tilu itulah ia dapat mengembangkan gerakan menjadi tari
jaipongan.
Tari jaipongan biasanya dipentaskan
jika ada acara-acara tertentu, misalnya acara pernikahan. Di daerah Sunda
khususnya di daerah pedesaan, tari jaipongan merupakan acara yang sangat
menyenangkan. Selain para penari yang menari di atas panggung, kadangkalanya
ada juga warga sekitar atau tamu undangan yang ikut menari pula. Dengan seperti
itulah tarian jaipongan akan semakin ramai.
Gerakan tubuh yang sangat indah dari
para penari, biasanya mengundang kemeriahan dari acara tersebut. Meriah
tidaknya acara jaipongan tersebut bergantung dari para penari dan pengiring
musik, begitu pula dengan sinden yag menyanyikan tembang Sunda dengan sangat
merdu, maka akan menambah semaraknya suasana acara tersebut. Gerakan-gerakan
penari yang begitu luwes atau tidak kaku dengan balutan busana yang sangat
sederhana menandakan bahwa masyarakat Sunda memang masyarakat yang sangat
merakyat.
Kehadiran tari jaipongan memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif
lagi dalam menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya tarian rakyat tersebut
kurang mendapat perhatian dari masyarakat. Terkadang masyarakat Sunda yang
tinggal di kota sering mengesampingkan
kebudayannya sendiri dan lebih mengutamakan kebudayaan yang lainnya. Mereka
menganggap tarian rakyat tersebut sebagai tarian yang ‘ndeso’.
Namun lain halnya dengan masyarakat kota yang masih sangat
mencintai budayanya, mereka menganggap bahwa Tari Jaipongan merupakan salah
satu kebanggan tarian dari Jawa Barat. Hal ini nampak pada acara-acara penting
yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat kemudian
mereka menyambutnya dengan dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian halnya
dengan misi-misi kesenian ke manca negara yang senantiasa dilengkapi dengan
kesenian tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian
lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang,
degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat
maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi
kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang telah diplopori oleh Mr. Nur & Leni.
Angklung
Kesenian terkenal pada masyarakat Sunda yang selanjutnya
adalah angklung. Angklung merupakan alat musik tradisional yang berasal dari
Jawa Barat. Angklung terbuat dari bambu yang dibunyikan dengan cara
digoyangkan. Bunyi yang dihasilkan oleh angklung tersebut kerena adanya
benturan pada pipa bambu, sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam
susunan nada 2, 3, sampai 4 dalam setiap ukuran. Ukuran angklung bermacam macam,
ada yang berukuran kecil adapula yang berukuran besar. Ukuran-ukuran tersebut
memiliki nada yang berbeda-beda.
Kemunculan angklung berawal dari ritual padi. Angklung
diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi
rakyat tumbuh dengan subur. Pada masyarakat Sunda, Dewi Sri merupakan dewi
padi. Fungsi angklung selain untuk memenggil Dewi Sri, angklung berfungsi pula
sebagai penyemangat dalam pertempuran.
Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun
dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang
berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang
sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi
iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan
sebagainya.
Sisingaan
Selain wayang golek, jaipong, dan angklung kesenian Sunda
yang lain adalah sisingaan. Sisingaan merupakan suatu khas masyarakat Sunda
yang menampilkan 2-4 boneka singa yang diusung oleh para pemainnya sambil
menari. Sisingaan tersebut biasanya di pentaskan jika ada seorang anak
laki-laki akan disunat atau seorang tokoh masyrakat. Anak laki-laki yang akan
disunat atau seorang tokoh masyarakat tersebut dinaikkan ke atas sisingaan yang
di atasnya telah disiapkan tempat duduk.
Para pemain sisingaan pada umumnya adalah lelaki dewasa yang
tergabung dalam sebuah kelompok yang terdiri atas 8 orang penggotong singa (1
boneka singa digotong oleh 4 orang), seorang pemimpin kelompok, beberapa orang
pemain waditra, dan satu atau dua orang menjadi jajangkungan. Laki-laki yang
bertugas menjadi jajangkungan berjalan menggunakan bambu yang panjang yang
biasanya disebut dengan egrang. Dalam melakukan permainan ini dibutuhkan
ketrampilan yang khusus dari setiap pemain, karena dalam melakukan permainan
ini dibutuhkan tim yang kompak. Dalam permainan ini tidak bisa dilakukan dengan
sendiri-sendiri. Tim yang kompak akan membuat permainan berjalan secara
sempurna, baik dari yang memainkan atau yang memegang boneka singa, ataupun
yang memainkan musik. Semuanya harus berlangsung selaras agar tidak terjadi
ketidaktepatan antara pemain dengan yang memainkan musik. Pemain musik dalam
sisingaan dinamakan dengan nayaga.
Itulah mitos berdirinya
sebuah kesenian Sunda yang bernama sisingaan. Meskipun kesenian sisingaan tidak
terlalu merakyat di kalangan masyarakat Sunda, tetapi masyarakat Sunda sangat
menghargai kebudayan tersebut karena sisingaan merupakan kebudayaan asli dari
Jawa Barat. Kemungkinan besar yang sering mengadakan kesenian sisingaan adalah
orang-orang tertentu saja (kalangan atas) karena untuk mengadakan kesenian
tersebut membutuhkan biaya yang cukup banyak. Sehingga tidak semua kalangan dapat
mengadakan kesenian tersebut.
Dalam permainan sisingaan
banyak sekali nilai positif yang bisa kita ambil, diantaranya adalah kerjasama,
kekompakan, kerajinan, dan ketekunan. Nilai kerjasama diperlihatkan dari adanya
kebersamaan melestarikan budaya leluhur yang semakin hari semakin berkurang,
namun mereka tetap melestarikannya. Nilai kekompakan dan ketertiban tercermin
dalam suatu pementasan yang dapat berjalan dengan lancar. Semua itu karena
adanya kekompakan antarpemain. Lancar tidaknya permainan tersebut bergantung
dari kekompakan antarpemain. Nilai kerja keras dan ketekunan terlihad dari
penguasaan gerakan-gerakan tarian. Gerakan-gerakan tersebut tidaklah mudah
karena pemain harus menari sambil membawa boneka singa. Karena itulah ketekunan
dan kerja keras sangan diperlukan demi kalancaran permainan tersebut.
Sumber
Pustaka
Koentjaraningrat. 1987. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Jakarta: Djambatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar