Deiksis dan Variasi
A. Pengertian Deiksis
Deiksis berasal
dari kata Yunani kuno yang berarti “menunjukkan atau menunjuk”. Dengan kata
lain informasi kontekstual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk pada
hal tertentu baik benda, tempat, ataupun waktu itulah yang disebut dengan
deiksis.
Dalam KBBI
(1991: 217), deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu di
luar bahasa; kata tunjuk pronomina, ketakrifan, dan sebagainya.
Deiksis adalah
kata-kata yang memiliki referen berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana,
1998: 6). Menurut Bambang Yudi Cahyono (1995: 217), deiksis adalah suatu cara
untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat
ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi
pembicaraan.
Deiksis dapat
juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses
atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya
dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau
yang diajak bicara (Lyons, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993: 43).
Menurut Bambang
Kaswanti Purwo (1984: 1) sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila
rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung siapa yang menjadi
pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Dalam bidang linguistik
terdapat pula istilah rujukan atau sering disebut referensi, yaitu kata atau
frase yang menunjuk kata, frase atau ungkapan yang akan diberikan. Rujukan
semacam itu oleh Nababan (1987: 40) disebut deiksis (Setiawan, 1997: 6).
Pengertian
deiksis dibedakan dengan pengertian anafora. Deiksis dapat diartikan sebagai
luar tuturan, dimana yang menjadi pusat orientasi deiksis senantiasa si
pembicara, yang tidak merupakan unsur di dalam bahasa itu sendiri, sedangkan
anafora merujuk dalam tuturan baik yang mengacu kata yang berada di belakang
maupun yang merujuk kata yang berada di depan (Lyons, 1977: 638 via Setiawan,
1997: 6).
Berdasarkan
beberapa pendapat, dapat dinyatakan bahwa deiksis merupakan suatu gejala
semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang acuannya dapat
ditafsirkan sesuai dengan situasi pembicaraan dan menunjuk pada sesuatu di luar
bahasa seperti kata tunjuk, pronomina, dan sebagainya. Perujukan atau
penunjukan dapat ditujukan pada bentuk atau konstituen sebelumnya yang disebut
anafora. Perujukan dapat pula ditujukan pada bentuk yang akan disebut kemudian.
Bentuk rujukan seperti itu disebut dengan katafora.
B.
Jenis-jenis Deiksis
Pembagian
Deiksis menurut Goerge Yule ada tiga diantaranya: deiksis persona, deiksis
tempat dan deiksis waktu, sedangkan menurut (Nababan, 1987:40) ada lima:
deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan deiksis
sosial. Selain itu Kaswanti Purwo (Sumarsono: 2008;60) menyebut beberapa jenis
deiksis, yaitu deiksis persona, tempat, waktu, dan penunjuk. Sehingga jika
digabungkan menjadi enam jenis deiksis. Paparan lebih lengkap sebagai berikut:
a. Deiksis
Persona
Istilah persona berasal dari kata
Latin persona sebagai terjemahan dari kata Yunani prosopon, yang artinya topeng (topeng yang dipakai seorang pemain
sandiwara), berarti juga peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain
sandiwara. Istilah persona dipilih oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan oleh
adanya kemiripan antara peristiwa bahasa dan permainan bahasa (Lyons, 1977: 638
via Djajasudarma, 1993: 44). Deiksis perorangan (person deixis); menunjuk peran dari partisipan dalam peristiwa
percakapan misalnya pembicara, yang dibicarakan, dan entitas yang lain.
Deiksis orang ditentukan menurut
peran peserta dalam peristiwa bahasa. Peran peserta itu dapat dibagi menjadi
tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori rujukan pembicara kepada
dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya, misalnya saya, kita, dan kami.
Kedua ialah orang kedua, yaitu kategori rujukan pembicara kepada seorang
pendengar atau lebih yang hadir bersama orang pertama, misalnya kamu, kalian,
saudara. Ketiga ialah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada orang yang
bukan pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya
dia dan mereka.
Kata ganti persona pertama dan
kedua rujukannya bersifat eksoforis. Hal ini berarti bahwa rujukan pertama dan
kedua pada situasi pembicaraan (Purwo, 1984: 106). Oleh karenanya, untuk
mengetahui siapa pembicara dan lawan bicara kita harus mengetahui situasi waktu
tuturan itu dituturkan. Apabila persona pertama dan kedua akan dijadikan
endofora, maka kalimatnya harus diubah, yaitu dari kalimat langsung menjadi
kalimat tidak langsung. (Setiawan, 1997: 8).
Bentuk pronomina persona pertama
jamak bersifat eksofora. Hal ini dikarenakan bentuk tersebut, baik yang berupa
bentuk kita maupun bentuk kami masih mengandung bentuk persona pertama tunggal
dan persona kedua tunggal.
Berbeda dengan kata ganti persona
pertama dan kedua, kata ganti persona ketiga, baik tunggal, seperti bentuk dia,
ia, -nya maupun bentuk jamak, seperti bentuk sekalian dan kalian, dapat
bersifat endofora dan eksofora. Oleh karena bersifat endofora, maka dapat
berwujud anafora dan katafora (Setiawan, 1997: 9).
Deiksis persona merupakan deiksis
asli, sedangkan deiksis waktu dan deiksis tempat adalah deiksis jabaran.
Menurut pendapat Becker dan Oka dalam Purwo (1984: 21) bahwa deiksis persona
merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruang dan tempat serta waktu.
Jika ditinjau dari segi artinya,
pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu ke nomina lain. Jika dilihat
dari segi fungsinya, dapat dikatakan bahwa pronomina menduduki posisi yang
umumnya diduduki oleh nomina, seperti subjek, objek, dan -dalam macam kalimat
tertentu- juga predikat. Ciri lain yang dimiliki pronomina ialah acuannya dapat
berpindah-pindah karena bergantung pada siapa yang menjadi pembicara/penulis,
yang menjadi pendengar/pembaca, atau siapa/apa yang dibicarakan (Moeliono,
1997: 170).
Pronomina persona adalah pronomina
yang dipakai untuk mengacu ke orang. Pronomina dapat mengacu pada diri sendiri
(persona pertama), mengacu pada orang yang diajak bicara (persona kedua), atau
mengacu pada orang yang dibicarakan (persona ketiga) (Moeliono, 1997: 172).
Ø Pronomina
Persona Pertama
Dalam Bahasa Indonesia, pronomina
persona pertama tunggal adalah saya, aku, dan daku. Bentuk saya, biasanya
digunakan dalam tulisan atau ujaran yang resmi. Bentuk saya, dapat juga dipakai
untuk menyatakan hubungan pemilikan dan diletakkan di belakang nomina yang
dimilikinya, misalnya: rumah saya, paman saya. Pronomina persona pertama aku,
lebih banyak digunakan dalam situasi non formal dan lebih banyak menunjukkan
keakraban antara pembicara/penulis dan pendengar/pembaca. Pronomina persona aku
mempunyai variasi bentuk, yaitu -ku dan ku-. Sedangkan untuk pronomina persona
pertama daku, pada umumnya digunakan dalam karya sastra.
Selain pronomina persona pertama
tunggal, bahasa Indonesia mengenal pronomina persona pertama jamak, yakni kami
dan kita. Kami bersifat eksklusif; artinya, pronomina itu mencakupi pembicara/penulis
dan orang lain dipihaknya, tetapi tidak mencakupi orang lain dipihak
pendengar/pembacanya. Sebaliknya, kita bersifat inklusif; artinya, pronomina
itu mencakupi tidak saja pembicara/penulis, tetapi juga pendengar/pembaca, dan
mungkin pula pihak lain.
Ø Pronomina
Persona Kedua
Pronomina persona kedua tunggal
mempunyai beberapa wujud, yakni engkau, kamu Anda, dikau, kau- dan -mu.
Pronomina persona kedua engkau, kamu, dan -mu, dapat dipakai oleh orang tua
terhadap orang muda yang telah dikenal dengan baik dan lama; orang yang status
sosialnya lebih tinggi; orang yang mempunyai hubungan akrab, tanpa memandang
umur atau status sosial.
Pronomina persona kedua Anda
dimaksudkan untuk menetralkan hubungan. Selain itu, pronomina Anda juga
digunakan dalam hubungan yang tak pribadi, sehingga Anda tidak diarahkan pada
satu orang khusus; dalam hubungan bersemuka, tetapi pembicara tidak ingin
bersikap terlalu formal ataupun terlalu akrab.
Pronomina persona kedua juga
mempunyai bentuk jamak, yaitu bentuk kalian dan bentuk pronomina persona kedua
ditambah sekalian: Anda sekalian, kamu sekalian. Pronomina persona kedua yang
memiliki varisi bentuk hanyalah engkau dan kamu. Bentuk terikat itu
masing-masing adalah kau- dan -mu.
Ø Pronomina
Persona Ketiga
Pronomina persona ketiga tunggal
terdiri atas ia, dia, -nya dan beliau. Dalam posisi sebagai subjek, atau di
depan verba, ia dan dia sama-sama dapat dipakai. Akan tetapi, jika berfungsi
sebagai objek, atau terletak di sebelah kanan dari yang diterangkan, hanya bentuk
dia dan -nya yang dapat muncul. Pronomina persona ketiga tunggal beliau
digunakan untuk menyatakan rasa hormat, yakni dipakai oleh orang yang lebih
muda atau berstatus sosial lebih rendah daripada orang yang dibicarakan. Dari
keempat pronomina tersebut, hanya dia, -nya dan beliau yang dapat digunakan
untuk menyatakan milik.
Pronomina persona ketiga jamak
adalah mereka. Pada umumnya mereka hanya dipakai untuk insan. Benda atau konsep
yang jamak dinyatakan dengan cara yang lain; misalnya dengan mengulang nomina
tersebut atau dengan mengubah sintaksisnya.
Akan tetapi, pada cerita fiksi atau
narasi lain yang menggunakan gaya fiksi, kata mereka kadang-kadang juga dipakai
untuk mengacu pada binatang atau benda yang dianggap bernyawa. Mereka tidak
mempunyai variasi bentuk sehingga dalam posisi mana pun hanya bentuk itulah
yang dipakai, misalnya usul mereka, rumah mereka.
b. Deiksis
Tempat
Deiksis tempat ialah
pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa. Semua
bahasa -termasuk bahasa Indonesia- membedakan antara “yang dekat kepada
pembicara” (di sini) dan “yang bukan dekat kepada pembicara” (termasuk yang
dekat kepada pendengar -di situ) (Nababan, 1987: 41). Sebagai contoh penggunaan
deiksis tempat.
Deiksis tempat
menyatakan pemberian bentuk kepada tempat, dipandang dari lokasi pemeran dalam
peristiwa berbahasa, yang meliputi (a) yang dekat dengan pembicara (di sini);
(b) yang jauh dari pembicara tetapi dekat dengan pendengar (di situ); (c) yang
jauh dari pembicara dan pendengar (di sana). Di bawah ini masing-masing
contohnya:
(a)
Duduklah bersamaku di sini!
(b)
Letakkan piringmu di situ!
(c) Aku akan menemuinya di sana.
c. Deiksis
Waktu
Deiksis waktu ialah
pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam
peristiwa bahasa. Dalam banyak bahasa, deiksis (rujukan) waktu ini diungkapkan
dalam bentuk “kala” (Inggris: tense) (Nababan, 1987: 41).
Contoh: (a) Nanti sore aku akan datang
kerumahmu.
(b) Bulan Juni nanti jumlah pengunjung mungkin lebih meningkat.
Kata nanti apabila dirangkaikan
dengan kata pagi, siang, sore atau malam tidak dapat memiliki jangkauan ke
depan lebih dari satu hari. Dalam rangkaian dengan nama bulan kata nanti, dapat
mempunyai jangkauan ke depan yang lebih jauh.
d. Deiksis
Wacana
Deiksis wacana ialah rujukan pada
bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang
dikembangkan (Nababan, 1987: 42). Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora.
Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya
dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah penunjukan ke
sesuatu yang disebut kemudian. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan
deiksis wacana itu adalah kata/frasa ini, itu, yang terdahulu, yang berikut,
yang pertama disebut, begitulah, dsb. Sebagai contoh:
(11)
a. “Paman datang dari desa kemarin
dengan membawa hasil palawijanya”.
b.
“Karena aromanya yang khas, mangga itu banyak dibeli”.
Dari kedua
contoh di atas dapat kita ketahui bahwa -nya pada contoh (11a) mengacu ke paman
yang sudah disebut sebelumnya, sedangkan pada contoh (11b) mengacu ke mangga
yang disebut kemudian.
e. Deiksis
Sosial
Deiksis sosial ialah rujukan yang
dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran
pembicara dan pendengar. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata.
Dalam beberapa bahasa, perbedaan tingkat sosial antara pembicara dengan
pendengar yang diwujudkan dalam seleksi kata dan/atau sistem morfologi
kata-kata tertentu (Nababan, 1987: 42). Dalam bahasa Jawa umpamanya, memakai
kata nedo dan kata dahar (makan), menunjukkan perbedaan sikap atau kedudukan
sosial antara pembicara, pendengar dan/atau orang yang dibicarakan/bersangkutan.
Secara tradisional perbedaan bahasa (atau variasi bahasa) seperti itu disebut
“tingkatan bahasa”, dalam bahasa Jawa, ngoko dan kromo dalam sistem pembagian
dua, atau ngoko, madyo dan kromo kalau sistem bahasa itu dibagi tiga, dan
ngoko, madyo, kromo dan kromo inggil kalau sistemnya dibagi empat. Aspek
berbahasa seperti ini disebut “kesopanan berbahasa”, “unda-usuk”, atau ”etiket
berbahasa” (Geertz, 1960 via Nababan, 1987: 42-43).
f. Deiksis
Penunjuk
Di dalam bahasa Indonesia kita
menyebut demontratif (kata ganti penunjuk): ini untuk menunjuk sesuatu
yang dekat dengan penutur, dan itu untuk menunjuk sesuatu yang jauh/dekat
dari pembicara. “Sesuatu” itu bukan hanya benda atau barang melainkan juga
keadaan, peristiwa, bahkan waktu. Perhatikan penggunaannya dalam
kalimat-kalimat berikut:
- Masalah ini harus kita selesaikan segera.
- Ketika peristiwa itu terjadi, saya masih kecil.
- Saat ini saya belum bisa ngomong.
Contoh-contoh di
atas menunjukan, penggunaan deiksis ini dan itu tampaknya
bergantung kepada sikap penuturterhadap hal-hal yang ditunjuk; jika dia
“merasa” sesuatu itu dekat dengan dirinya, dia akan memakai ini,
sebaliknya itu digunakan untuk menyatakan sesuatu yang jauh darinya.
Banyak bahasa
mempunyai deiksis jenis ini hanya dua saja, yaitu yang sejajar dengan ini dan
itu tadi. Bahasa jawa mengenal iki untuk sesuatu yang dekat
dengan penutur dan iku dan kuwi untuk sesuatu yang tidak dekat
tetapi tidak terlalu jauh, dan iko dan kae untuk yang sangat
jauh.
Daftar
Pustaka
Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
http://www.saefuzaman.web.id/2011/01/deiksis-dan-variasinya.html
http://suluhpendidikan.blogspot.com/2009/01/deiksis-dalam-kajian-pragmatik.html
http://adrisqueen.wordpress.com/2010/03/19/pragmatik-bab-5/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar